Siapa yang baca sampai bab ini? Hayoo...
Ansel menutup laptop Mona dengan perlahan. Lalu dia memperbaiki posisi tidur istrinya itu dengan sangat lembut. Lagi pula, sofa yang Mona tiduri merupakan sofa dengan kualitas terbaik dengan harga yang tidak main-main. Jadi Mona tidak akan merasa sakit jika tidur di sana. Sebelum mengisi kamar ini, Ansel sudah mempertimbangkan semuanya. Dia ingin Mona merasa nyaman, bahkan saat dia sedang ingin bersantai di sofa sembari menonton film. Setelah memastikan semuanya aman, Ansel berjalan menuju kamar mandi. Sebelumnya dia mengambil handuk terlebih dahulu di dalam walking closet. Ansel memandang dirinya sendiri di depan cermin. Semua bekas luka di tubuhnya akan membuat Ansel selalu mengingat, bagaimana kerasnya kehidupan yang Ansel lalui untuk bisa sampai di titik sekarang. Ansel memusatkan energi tubuhnya sembari mengosongkan pikiran. Sesaat dia merasa tubuhnya sudah sangat baik. Sepertinya cideranya sudah mulai pulih sepenuhnya. Ansel menyelesaikan mandinya dengan cepat. Dia p
Ansel tak melihat adanya pergerakan. Dia berjalan mendekati Oman dan berjongkok di depan pria itu. Bau tak sedap langsung menyeruak di indera penciuman Ansel. "Bangun!" Ansel menendang kaki Oman, hingga pria itu terbangun karena kesakitan. Dengan mata sayu, Oman melihat ke arah Ansel. "K-kau?!" Oman bahkan tak punya tenaga untuk sekadar mengangkat tangannya menunjuk ke arah Ansel. "Kamu suka tempat ini?" Ansel bertanya, sembari melihat-lihat luka di tubuh Oman. Luka tembak itu membusuk dan juga bernanah. Tampak sangat mengerikan. "K-kau si-sialan!" Oman meludah ke samping. Dia sangat membenci Ansel sampai ke tulang. "Owen p-pasti tidak a-akan melepaskanmu!" Oman memejamkan mata menahan sakit. Ini lebih menyakitkan daripada mendapat luka tembak saat di medan perang. Itu karena lukanya dibiarkan infeksi dan membusuk. Terlebih Ansel tidak menembak organ vital Oman, sehingga tak membuatnya langsung mati. Ansel menyeringai. "Dia bahkan tidak bisa masuk ke negara ini. Bagaimana mung
Telinga Ansel berdengung saat mendengar cemoohan yang ditujukan padanya. Tapi dia tidak merasa tersinggung sedikitpun. Lagi pula, Ansel bukanlah pria miskin seperti yang mereka sebutkan. Bahkan tempat ini saja merupakan miliknya.Melihat Ansel mengabaikannya, pria berjas biru dongker itu semakin kesal. "Sialan, benar-benar tidak tahu malu!" Saat pria itu seperti sudah mulai kehilangan kendali, dan berniat untuk memukul Ansel, beberapa orang menahan tangannya."Jangan buat keributan sebelum acara. Nanti saja saat akan pulang, kita permalukan dia!" Seorang wanita bergaun V neck berbisik di telinga pria itu. Dia sudah memikirkan rencana untuk mempermalukan Ansel.Kening pria yang ternyata bernama Rehan itu berkerut. Setelah mendengar garis besar dari rencana wanita tersebut, akhirnya dia tersenyum. "Sudahlah! Buang-buang waktu saja jika aku meladenimu!" Rehan berjalan meninggalkan Ansel. Mereka menikmati acara itu tanpa memperdulikan Ansel yang duduk di pojok ruangan.Ansel tahu kena
Rehan sangat ingin mempermalukan Ansel. Dia harus membalaskan rasa sakit hatinya selama ini. Dan kini lah kesempatannya."Cepat panggil manager hotel ini! Dia harus mengganti rugi anggur yang terbuang itu!" Rehan menyuruh salah seorang dari peserta reuni untuk pergi keluar, melaporkan pada penjaga agar segera memanggil manager hotel.Ansel tidak takut sedikitpun. Lagipula ini bukan salahnya. Dia pasti akan membuat Intan mendapatkan akibat dari perbuatannya. Jadi, Ansel perlu bermain sedikit dalam drama ini.Rehan memandang Ansel dengan remeh. Dia sangat yakin kalau Ansel akan dipermalukan lagi malam ini. Dalam pikiran Rehan, sepertinya hidup Ansel memang untuk dipermalukan terus.Ansel mengeluarkan ponselnya, dan mengirimkan pesan singkat pada Richard. Isinya tak banyak kata, hanya bertuliskan: Tampilkan rekaman video CCTV ballroom hotel ini di layar proyektor. Richard yang memandang dari pintu masuk langsung mengerti maksud tujuan Ansel. Tadi dia bersiaga saat penjaga depan pintu di
Kali ini, mata Intan benar-benar membulat dengan sempurna. Ansel berjongkok di depannya, seperti sedang mengejek dirinya. Dan Intan sangat jengkel karena itu. Terlebih, saat ini jantungnya masih berdebar dengan keras saat mengetahui harga botol berisi anggur yang kini sudah pecah tersebut. Ansel berdiri tegak setelah melihat wajah pias Intan. Dia tak merasa iba sedikitpun. Lagi pula, bukan dirinya yang memulai kekacauan ini, jadi Ansel tak akan bersimpati pada orang yang berniat mempermalukannya. Tubuh Intan berkeringat dingin. Dia menggigit bibirnya, berusaha memikirkan jalan keluar terbaik dari masalahnya. Tapi Intan tidak mendapatkan solusi apapun. Bahkan saat dia ingin meminta tolong Rehan saja, pria itu malah memalingkan wajahnya. "Jadi bagaimana? Apa Anda akan langsung melakukan ganti rugi sekarang?" Manager hotel itu bertanya saat dia tidak melihat tanda-tanda pergerakan dari Intan. Dia tidak bisa menunggu lama, karena ada banyak hal yang harus diurusnya karena masa
Ansel menatap Intan dengan serius. Tak ada lagi seringaian di wajahnya. Hanya ada pandangan lurus dengan aura yang penuh otoritas dan sangat dominan. "Bagaimana kamu akan mengganti anggurku?" Suara Ansel terdengar sangat berwibawa. Hawa dalam ruangan itu semakin terasa dingin. Bahkan mereka yang berdiri tak jauh dari Ansel merasa merinding dengan sekujur tubuh berkeringat dingin. Jika sebelumnya Intan masih punya sedikit keberanian untuk menantang Ansel, tapi sekarang, dia bahkan lupa bagaimana caranya bernapas. Tatapan dan aura Ansel yang mendominasi membuat Intan tak sanggup untuk menghirup udara. Saat tubuh Intan kehabisan oksigen, barulah dia menghirup udara dengan rakus hingga terbatuk-batuk. "Aku sedang bertanya padamu! Bagaimana kamu akan mengganti minuman anggurku?" Kali ini, aura Ansel berkali-kali lipat lebih mendominasi dari sebelumnya. "A-aku ... aku tidak tahu!" Intan menjawab dengan terbata-bata. Kemudian dia menunjuk ke arah Rehan yang tampak sedang berusaha u
Ansel tidak memikirkan alasan apapun yang perlu dia katakan pada pamannya. Lagi pula, dia tidak mengenal keluarga ibunya tersebut, karena memang tidak pernah diceritakan padanya tentang mereka. Ansel terus memandangi ponselnya dan melihat Mona yang sudah kembali tidur setelah terbangun karena mimpi buruk. Ansel benar-benar ingin menghabisi Oman sekarang juga. Trauma karena insiden waktu itu membuat Mona jadi sulit tidur sekarang. Mobil yang Ansel tumpangi berhenti tepat di depan tangga menuju pintu utama. Dia lalu keluar dengan tergesa-gesa. Tak ada pelayan yang menunggu Ansel karena sekarang hari sudah larut, dan dia sudah menyuruh Richard untuk mempersilakan mereka istirahat. Richard pergi ke paviliun samping tempat dimana kamarnya berada. Jika hari sudah terlalu larut, maka Ansel akan menyuruhnya untuk tidur di sana. Lagipula, rumah ini memiliki puluhan kamar. Yang tersebar dari beberapa bangunan. Ansel membuka pintu kamar setelah menekan beberapa angka untuk memasukkan kod
Ansel menatap Oman yang terbaring kaku. Luka-luka di tubuh Oman menjadi saksi, bagaimana kejamnya Ansel membalaskan dendamnya. Bahkan Ansel tak merasa takut sedikitpun saat memikirkan tentang Owen yang memiliki status kekuasaan di negeri seberang. Ansel berjalan keluar dari ruangan itu tanpa beban. Dendamnya terbalas. Dan dia tidak merasa menyesal sedikitpun. Sama seperti Oman yang tidak merasa menyesal karena sudah mencelakai istrinya. "Dia sudah mati!" Ansel berkata pada Richard yang terlihat bertanya-tanya. Semua orang yang mendengar perkataan Ansel langsung saling tatap satu sama lain. "Je-jenderal?" Baru kali ini Richard merasa gugup dengan tindakan Ansel. Dia memikirkan status Oman dan juga Owen kakaknya. Terlebih lagi mereka berdua sepertinya berhubungan baik dengan salah seorang orang penting di kota ini. "Jangan risaukan apapun! Cukup bersihkan dia dan kirim kepada kakaknya! Dari awal, mereka sudah menabuh genderang perang, jadi dari pada tanggung-tanggung basah, le