Yang mau aku update banyak, ayo tinggalkan komentar ataupun dukungan kalian! Supaya aku tahu kalau ada yang membaca sampai bab ini. Yuk, beri aku semangat!!
"Aku akan datang untuk menemui nenek, tapi bersama dengan istriku!" Ansel menghubungi Salim saat dia memikirkan tentang keselamatan Mona. Bahkan jika dia tidak melakukan apapun pada Oman, tapi tetap saja Owen akan mencari masalah dengannya. Maka sekalian saja mencari perlindungan dari pamannya yang kekayaannya bahkan tak terhitung oleh kalkulator sekalipun. "Baiklah!" Salim menjawab singkat perkataan Ansel. "Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara!" Ansel dan pamannya, Salim, masih membicarakan tentang rencana keberangkatan Ansel ke rumah keluarga ibunya. Mereka juga membahas tentang orang yang akan menghandle perusahaan selama Ansel pergi ke sana.Dan setelah selesai membahas semuanya, akhirnya panggilan telepon itu dimatikan. Salim juga sudah mengirimkan data tentang anggota keluarga ke email Ansel. Yang jelas, data tersebut sangat rahasia. Selesai menelepon, Ansel mendatangi Mona."Aku akan mandi sebentar, kamu bersiaplah, kita akan makan malam bersama di bawah!"Setelah menden
Ansel berjalan mendekati ranjang besar itu. Dalam kepalanya berputar-putar pertanyaan tentang hubungan ibunya dengan keluarga ini. Apa alasan terbesar Shintia meninggalkan keluarganya?"Kamu putra Shintia?" Wanita tua yang bersandar di tepi ranjang itu memerhatikan Ansel dengan mata menyipit. Penyakit rabun yang dialaminya, membuat dia kesulitan dalam mengenali orang."Ya ... nama ibuku Shintia!" Ansel merasa canggung saat diperhatikan sedemikan rupa. Hingga akhirnya nenek tua tersebut bersorak gembira."Kamu ... kamu benar-benar mirip dengannya!" Nenek tua itu berusaha untuk menggapai tangan Ansel. Ketika Ansel melihat hal itu, dengan gerakan perlahan dia mendekati neneknya.Ansel sebenarnya ingin menanyakan banyak hal, tapi ketika dia melihat kondisi neneknya yang sepertinya tidak terlalu baik, maka dia mengurungkan niatnya.Lebih baik membahas ini nanti saja, bersama pamannya.Setelah membahas beberapa hal, Salim membawa Ansel menuju kamar yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Da
"Mustahil! Apa-apaan ini? Paman sudah gila? Kalian semua sudah gila?" Ansel berteriak marah. Dia tidak mengira kalau pamannya akan mengatakan omong kosong seperti itu. "Tapi kamu hanya bisa memilih salah satunya!" "Paman gila? Apa Paman buta? Aku membawa istriku kemari, jadi untuk apa membuat pilihan seperti ini?" Rasanya Ansel ingin sekali membalikkan meja sekarang. Menghancurkan isi ruangan itu, andai saja dia tidak memiliki sedikit rasa hormat pada pamannya, seseorang yang sudah menolongnya lima tahun lalu. Ketika Ansel teringat tentang kejadian lima tahun lalu, rasanya mustahil kalau Pamannya tersebut hanya sekadar lewat saja di jalan itu. Dan kemudian berinisiatif menolongnya, padahal mereka tidak saling mengenal. Ansel menebak, kalau sebenarnya pamannya itu mengetahui tentang dia sebelumnya. "Kamu bisa memiliki satu orang istri lagi!" Perkataan Tuan Salim memecahkan lamunan Ansel yang sedang memikirkan masa lalu. "Jangan bicara omong kosong lagi paman! Kamu be
Ansel kembali membawa Mona ke dalam pelukannya. Mengusap pelan rambut istrinya itu, menuangkan semua rasa sayangnya.Mona merasa sangat tersentuh saat mendengar perkataan Ansel. Sangat jarang suaminya itu mengatakan hal seperti tadi. Terasa sangat manis dan juga menenangkan. Mona sangat bahagia sekarang.Ansel melepaskan pelukannya dan menuntun Mona menuju ranjang."Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Ansel menatap mata Mona dengan sangat dalam. "Aku akan mendengarkan!"Mona memperhatikan setiap pergantian ekspresi Ansel. Dia tahu, kalau suaminya itu memiliki banyak hal yang harus dipikirkannya."Tadi, Paman Salim memanggilku untuk datang menemuinya. Dia mengatakan sesuatu padaku."Mona menjadi pendengar yang baik untuk Ansel. Dia tidak menyela untuk sekadar bertanya. Dia tetap diam dengan wajah yang terus menantikan kata-kata Ansel selanjutnya."Dia memintaku untuk menjadi pemimpin perusahaan keluarga!" Dalam pandangan Ansel, dia melihat kening Mona yang berkerut. Tapi istrinya i
Sudah beberapa hari berlalu, sejak Ansel mendengar alasan yang dijelaskan oleh Paman Salim padanya tentang perusahaan.Dan di sinilah Ansel sekarang, duduk diam di kamarnya sembari menunggu Mona keluar dari dalam kamar mandi. Istrinya itu sedang membersihkan diri.Saat itu juga, ponsel Ansel berdering, dan itu adalah panggilan telepon dari Richard. "Ada apa?" Ansel langsung bertanya saat panggilan teleponnya tersambung. "Jenderal, gawat jenderal!" Di seberang sana, Richard berteriak panik pada Ansel. Dan itu terdengar jelas dari nada suaranya. Ansel tahu, kalau sudah terjadi masalah besar."Ada? Katakan padaku dengan jelas!" "Pasukan Owen! Pasukan Owen sedang bergerak menuju perbatasan! Dia membawa sepuluh ribu pasukan untuk menyerang perbatasan!""Apa?!!"Ansel sangat terkejut saat mendengar berita ini. Dia tidak menduga kalau Owen akan membawa pasukan yang cukup banyak untuk menyerangnya. Jika Ansel berada dalam situasi berbeda seperti sebelumnya, maka tanpa pikir panjang, dia
Ansel menatap lama ke arah Mona yang memandanginya sembari menangis. Ansel tak sampai hati untuk melihat kondisi istrinya yang terlihat buruk. "Jenderal?" Richard mengingatkan Ansel sekali lagi. Waktu mereka tidak banyak, dan keduanya harus segera tiba di perbatasan secepatnya. Ansel menghela napas berat. Untuk terakhir kalinya, dia memandang istrinya yang mengantar kepergiannya di depan pintu rumah. Dengan tangisan yang membuat Ansel goyah. Setelah memantapkan hati, Ansel kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka harus sampai di bandara secepatnya. Perjalanan panjang Ansel sudah dimulai. Tapi, baru setengah perjalanan, dia sudah merindukan istri dan calon anaknya. Ansel ingin segera menyelesaikan urusannya secepat mungkin. Jangan sampai dia terjebak di perbatasan hingga berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun seperti sebelumnya. Kini, Ansel memiliki seseorang yang menunggu kepulangannya. Pesawat jet khusus yang Ansel naiki perlahan meninggalkan bandara. Mereka melakukannya dengan c
Dengan menunggangi kuda hitam miliknya, Ansel memacu kuda tersebut ke lokasi perang. Tanah tandus itu tampak berkabut di kejauhan. Hanya ada beberapa rumpun pohon yang hidup di sana. Semakin dekat, Ansel bisa mendengar bunyi pedang yang beradu. Dia semakin memacu kudanya agar segera sampai di sana. Dan kini, di depan matanya, Ansel melihat ada ribuan orang yang sedang bertarung untuk sebuah kemenangan. Tak terhitung jumlah prajurit yang terluka. Luka kecil tak membuat mereka menyerah. Mereka semakin bergerak maju, untuk menentukan siapa yang berhak pulang sebagai pemenang. Bunyi tapal kuda yang datang dari kejauhan membuat orang-orang itu menoleh dalam sekejap. Mereka ingin tahu, siapa yang datang ke tanah penuh darah ini. Ketika mereka melihat seekor kuda hitam yang terlihat sangat gagah dan berani, mendekat dengan membawa seorang pria yang paling ditakuti di dunia kemiliteran, semuanya langsung merasa gemetar. Semangat Prajurit yang melihat kedatangan Ansel langsung menyala. R
Bunyi dentingan besi dan juga patahan kayu terdengar nyaring. Ansel meratakan semua anak panah yang tertuju ke arahnya dengan menggunakan pedangnya. Namun, jumlah itu terlalu banyak, dia sedikit kewalahan. Dan secara tak sengaja, salah satu anak panah menggores tipis wajah Ansel.Desingan anak panah itu berakhir. Ada beberapa prajurit Ansel yang terluka karena panah tersebut. Juga, sepertinya Richard mendapatkan luka gores di lengannya.Ansel mengangkat kepalanya, mengusap pelan pipinya yang mengeluarkan darah. Setelahnya, pandangan Ansel tertuju lurus ke arah Owen yang kini sudah memacu kudanya untuk berlari jauh di tengah-tengah pasukannya.Owen tak peduli jika kuda itu bahkan menginjak prajuritnya sendiri. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, dia harus pergi secepatnya dari medan perang tersebut.Tapi semakin keras Owen melecut kudanya, semakin ketakutan dia. Sebab Ansel kini berlari mengejar dengan kuda hitamnya.Lagipula, pandangan Owen terbatas karena hari yang sudah meng
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ponsel mahal yang berharga belasan juta itu langsung jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Bahkan layarnya sampai pecah dan kini ponsel tersebut mati total. Ansel diam menikmati reaksi wanita itu. Sedikit pelajaran padanya sudah cukup. Tapi yang sebenarnya terjadi, hal yang Ansel sebut sebagai sedikit itu nyatanya sangat besar bagi orang lain. Tidak hanya membuat para investor menarik dana dari proyek yang sudah dibicarakan sebelumnya, Ansel juga memasukkan perusahaan keluarga Sudrawan ke daftar hitam perusahaannya."Ba-bagaimana mungkin?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada bingung dan penuh keraguan. Tubuhnya terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh, kalau saja anaknya yang tengah hamil tak menangkapnya segera. "Ada apa, Ma?" Si perempuan hamil bertanya penasaran saat melihat wajah ibunya yang tampak sangat pucat. "Terjadi sesuatu! Pasti terjadi kekeliruan!" Saat si wanita paruh baya berteriak karena keterkejutannya, ponsel anaknya berdering. Dan itu adalah pang
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be