Tebasan pedang diayunkan. Ada banyak nyawa yang melayang karena perang ini. Tak sedikit darah yang tumpah membasahi bumi. Dan ... akhir dari perang yang melelahkan itu akan tiba. Dengan keadaan yang menyedihkan, Owen memacu langkahnya untuk berlari semakin jauh. Owen saat ini sedang menjadi target Ansel. Tepat saat dia semakin mempercepat langkahnya, sebuah timah panas bersarang di dadanya. Ya ... Ansel menembak Owen dengan senjata yang disiapkan waktu itu. Owen tumbang menghantam tanah. Darah segar mengalir membasahi tanah gersang tersebut. Dengan perlahan, Owen membuka mata. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Ansel datang dengan langkah arogan, menodongkan ujung senjata api itu ke arah kepalanya. Kemarahan itu terlihat jelas. Setelah perang yang berlarut-larut selama beberapa lama, hari ini adalah puncak kemarahan Ansel. Dengan matanya sendiri, Ansel melihat Richard tumbang tepat di depannya. Dan itu semua karena senjata api yang Owen gunakan untuk menembaknya. Ansel t
Ansel mempercepat langkahnya, saat dia hampir tiba di dalam sebuah ruangan yang ada di ruang tahanan perbatasan. Dibelakangnya, ada kapten Beni yang mengikuti Ansel dengan langkah bergetar. Pria itu ... pria yang disebut sebagai Dewa Perang tersebut, kini sedang berada di puncak amarahnya.Sipir penjara membukakan pintu besi saat melihat kedatangan Ansel. Tak ada suara apapun selain suara langkah kaki yang beradu dengan tanah. "Ansel ...."Ketua Beni memanggil Ansel saat dia tiba di pintu terakhir. Dengan pandangan tajam, Ansel berbalik untuk melihat ketua Beni. "Katakan!" Ansel tahu, ketua Beni ingin mengatakan sesuatu. Pasti itu tentang orang yang ada di dalam."Kamu tahu, dia petinggi negara, kan?" Ansel menyeringai saat mendengar perkataan kapten Beni. Ya ... dia tahu!"Jangan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesali ini, Ansel!"Manik mata Ansel yang gelap menatap kapten Beni dengan pandangan berani. Tak ada rasa gentar dalam hatinya, meski pria yang ada di dalam itu a
Pukulan-pukulan itu terus Ansel tahan dengan sekuat tenaga. Salahnya karena tidak mempertimbangkan soal ini, tapi Ansel yakin, kalau dia bisa mengalahkan mereka semua. Orang-orang berpakaian serba hitam mulai mengeluarkan senjata api dari balik tubuh mereka. Kali ini tak terlihat main-main, karena semuanya menodongkan senjata itu ke arah Ansel. Dan pria itu memandang Ansel dengan remeh. Dia tahu, di tempat yang sempit dan juga apek ini, akan menjadi tempat Ansel menghembuskan napas terakhirnya.Ansel menyeringai saat orang-orang itu mulai menyerangnya lagi. Tapi semuanya terpental jatuh ke tanah. Dan di saat yang sama, Ansel juga merebut senjata api yang ada disalah satu pria berbaju hitam. Dan dalam sekejap, Ansel sudah berada tepat di samping si penghianat negara. Semua orang menahan napas ketika Ansel menodongkan senjata tepat di samping kepala pria itu. Keringat dingin menetes di dahi mereka semua, dengan napas yang memburu."K-kau?" "Sudah kubilang, jangan main-main denganku!
Ansel menoleh ke arah orang yang kini berdiri tegak sembari mengarahkan senjata kearah pria yang kini sudah tak bernyawa itu."A-anda ...." "Dia pantas mendapatkannya karena sudah berani menyinggung Anda, Jenderal!" Pria itu kemudian membungkuk di depan Ansel. Badannya yang kekar serta segaris bekas luka di wajahnya, membuat pria itu terlihat sangar.Ansel menghela napas berat, dia tidak menyangka kalau tugasnya dirampas begitu saja. Kenapa pria itu menembak sebelum dirinya? Padahal tadi Ansel sudah bersiap untuk menarik pelatuk senjatanya."Bereskan semuanya!" Pria itu memberikan perintah pada beberapa petugas yang dibawanya. Dan orang-orang yang sebelumnya bertarung dengan Ansel juga sudah diangkut pergi. Hanya tersisa hening setelah keributan itu. Kapten Beni juga sudah mendapatkan pertolongan pertama. Ansel melangkah keluar dari sana setelah dipersilakan. Dia memandang nanar kearah pria yang digotong pergi dalam keadaan yang mengenaskan.Tapi ... Ansel tahu, kalau pria itu pant
Ansel menutup pintu kamar dengan perlahan. Dia menatap lurus ke arah istrinya yang tengah duduk di ranjang. Dengan tatapan teduh, Ansel melangkah sembari membawa senyuman di sudut bibirnya. "Ada apa?" Mona bertanya dengan heran, sebab tingkah suaminya itu tidak seperti biasanya. "Aku hanya merasa bahagia, karena bisa melihat senyum indahmu lagi," ujar Ansel, sembari mengambil posisi di samping Mona. Kini, dia membawa istrinya itu kedalam pelukannya. Ansel memeluk Mona dengan perasaan penuh rindu. Tangannya juga mengusap perut istrinya yang sudah membuncit. Tinggal beberapa bulan lagi, anaknya akan lahir. "Terima kasih karena sudah menungguku! Terima kasih karena tidak pernah menyerah!" Ansel mencium kening Mona, perlahan hingga kemudian ciuman itu pindah ke tengkuknya. Di dalam pelukan Ansel, Mona hanya tersenyum sembari menikmati sentuhan suaminya. Dia rindu saat-saat menghabiskan waktu bersama Ansel.Ansel dan juga Mona menghabiskan waktu bersama di dalam kamar. Sembari memba
"Bibi ... kamu terlalu banyak bicara! Sudah bosan hidup, ya? Mau menyusul suamimu ke Neraka?" Ansel bertanya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi dengan auranya saja, bisa membuat semua orang merinding ketakutan. Ansel tak suka saat orangtuanya disebut-sebut! Apalagi itu hinaan yang keluar dari mulut wanita tua ini!Wanita paruh baya yang Ansel panggil dengan sebutan bibi itu, langsung terdiam kaku saat mendengar perkataan Ansel. Terlebih aura yang Ansel pancarkan membuatnya gemetar tanpa bisa dikendalikan. Dia menggeleng dengan kuat. Tidak! Dia masih ingin hidup! Dia masih memiliki banyak rencana dalam hidupnya.Ansel mendecih sinis. Dia benci wanita ini. Gara-gara keserakahan dan juga hasutannya, Danu berkhianat pada keluarganya sendiri. Dan disaat suaminya berada di dalam penjara, tak sekalipun dia datang menjenguk. Ansel mengetahuinya karena dia memiliki banyak sekali mata-mata di tempat itu."Bibi ... Sudah berbulan-bulan Paman ada di penjara, tapi aku dengar, bibi tidak pernah
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia