Share

Bab 84

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2024-08-27 23:40:49

Bunyi dentingan besi dan juga patahan kayu terdengar nyaring. Ansel meratakan semua anak panah yang tertuju ke arahnya dengan menggunakan pedangnya.

Namun, jumlah itu terlalu banyak, dia sedikit kewalahan. Dan secara tak sengaja, salah satu anak panah menggores tipis wajah Ansel.

Desingan anak panah itu berakhir. Ada beberapa prajurit Ansel yang terluka karena panah tersebut. Juga, sepertinya Richard mendapatkan luka gores di lengannya.

Ansel mengangkat kepalanya, mengusap pelan pipinya yang mengeluarkan darah. Setelahnya, pandangan Ansel tertuju lurus ke arah Owen yang kini sudah memacu kudanya untuk berlari jauh di tengah-tengah pasukannya.

Owen tak peduli jika kuda itu bahkan menginjak prajuritnya sendiri. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, dia harus pergi secepatnya dari medan perang tersebut.

Tapi semakin keras Owen melecut kudanya, semakin ketakutan dia. Sebab Ansel kini berlari mengejar dengan kuda hitamnya.

Lagipula, pandangan Owen terbatas karena hari yang sudah meng
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 85

    Tebasan pedang diayunkan. Ada banyak nyawa yang melayang karena perang ini. Tak sedikit darah yang tumpah membasahi bumi. Dan ... akhir dari perang yang melelahkan itu akan tiba. Dengan keadaan yang menyedihkan, Owen memacu langkahnya untuk berlari semakin jauh. Owen saat ini sedang menjadi target Ansel. Tepat saat dia semakin mempercepat langkahnya, sebuah timah panas bersarang di dadanya. Ya ... Ansel menembak Owen dengan senjata yang disiapkan waktu itu. Owen tumbang menghantam tanah. Darah segar mengalir membasahi tanah gersang tersebut. Dengan perlahan, Owen membuka mata. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Ansel datang dengan langkah arogan, menodongkan ujung senjata api itu ke arah kepalanya. Kemarahan itu terlihat jelas. Setelah perang yang berlarut-larut selama beberapa lama, hari ini adalah puncak kemarahan Ansel. Dengan matanya sendiri, Ansel melihat Richard tumbang tepat di depannya. Dan itu semua karena senjata api yang Owen gunakan untuk menembaknya. Ansel t

    Last Updated : 2024-08-28
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 86

    Ansel mempercepat langkahnya, saat dia hampir tiba di dalam sebuah ruangan yang ada di ruang tahanan perbatasan. Dibelakangnya, ada kapten Beni yang mengikuti Ansel dengan langkah bergetar. Pria itu ... pria yang disebut sebagai Dewa Perang tersebut, kini sedang berada di puncak amarahnya.Sipir penjara membukakan pintu besi saat melihat kedatangan Ansel. Tak ada suara apapun selain suara langkah kaki yang beradu dengan tanah. "Ansel ...."Ketua Beni memanggil Ansel saat dia tiba di pintu terakhir. Dengan pandangan tajam, Ansel berbalik untuk melihat ketua Beni. "Katakan!" Ansel tahu, ketua Beni ingin mengatakan sesuatu. Pasti itu tentang orang yang ada di dalam."Kamu tahu, dia petinggi negara, kan?" Ansel menyeringai saat mendengar perkataan kapten Beni. Ya ... dia tahu!"Jangan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesali ini, Ansel!"Manik mata Ansel yang gelap menatap kapten Beni dengan pandangan berani. Tak ada rasa gentar dalam hatinya, meski pria yang ada di dalam itu a

    Last Updated : 2024-08-30
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 87

    Pukulan-pukulan itu terus Ansel tahan dengan sekuat tenaga. Salahnya karena tidak mempertimbangkan soal ini, tapi Ansel yakin, kalau dia bisa mengalahkan mereka semua. Orang-orang berpakaian serba hitam mulai mengeluarkan senjata api dari balik tubuh mereka. Kali ini tak terlihat main-main, karena semuanya menodongkan senjata itu ke arah Ansel. Dan pria itu memandang Ansel dengan remeh. Dia tahu, di tempat yang sempit dan juga apek ini, akan menjadi tempat Ansel menghembuskan napas terakhirnya.Ansel menyeringai saat orang-orang itu mulai menyerangnya lagi. Tapi semuanya terpental jatuh ke tanah. Dan di saat yang sama, Ansel juga merebut senjata api yang ada disalah satu pria berbaju hitam. Dan dalam sekejap, Ansel sudah berada tepat di samping si penghianat negara. Semua orang menahan napas ketika Ansel menodongkan senjata tepat di samping kepala pria itu. Keringat dingin menetes di dahi mereka semua, dengan napas yang memburu."K-kau?" "Sudah kubilang, jangan main-main denganku!

    Last Updated : 2024-09-01
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 88

    Ansel menoleh ke arah orang yang kini berdiri tegak sembari mengarahkan senjata kearah pria yang kini sudah tak bernyawa itu."A-anda ...." "Dia pantas mendapatkannya karena sudah berani menyinggung Anda, Jenderal!" Pria itu kemudian membungkuk di depan Ansel. Badannya yang kekar serta segaris bekas luka di wajahnya, membuat pria itu terlihat sangar.Ansel menghela napas berat, dia tidak menyangka kalau tugasnya dirampas begitu saja. Kenapa pria itu menembak sebelum dirinya? Padahal tadi Ansel sudah bersiap untuk menarik pelatuk senjatanya."Bereskan semuanya!" Pria itu memberikan perintah pada beberapa petugas yang dibawanya. Dan orang-orang yang sebelumnya bertarung dengan Ansel juga sudah diangkut pergi. Hanya tersisa hening setelah keributan itu. Kapten Beni juga sudah mendapatkan pertolongan pertama. Ansel melangkah keluar dari sana setelah dipersilakan. Dia memandang nanar kearah pria yang digotong pergi dalam keadaan yang mengenaskan.Tapi ... Ansel tahu, kalau pria itu pant

    Last Updated : 2024-09-02
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 89

    Ansel menutup pintu kamar dengan perlahan. Dia menatap lurus ke arah istrinya yang tengah duduk di ranjang. Dengan tatapan teduh, Ansel melangkah sembari membawa senyuman di sudut bibirnya. "Ada apa?" Mona bertanya dengan heran, sebab tingkah suaminya itu tidak seperti biasanya. "Aku hanya merasa bahagia, karena bisa melihat senyum indahmu lagi," ujar Ansel, sembari mengambil posisi di samping Mona. Kini, dia membawa istrinya itu kedalam pelukannya. Ansel memeluk Mona dengan perasaan penuh rindu. Tangannya juga mengusap perut istrinya yang sudah membuncit. Tinggal beberapa bulan lagi, anaknya akan lahir. "Terima kasih karena sudah menungguku! Terima kasih karena tidak pernah menyerah!" Ansel mencium kening Mona, perlahan hingga kemudian ciuman itu pindah ke tengkuknya. Di dalam pelukan Ansel, Mona hanya tersenyum sembari menikmati sentuhan suaminya. Dia rindu saat-saat menghabiskan waktu bersama Ansel.Ansel dan juga Mona menghabiskan waktu bersama di dalam kamar. Sembari memba

    Last Updated : 2024-09-05
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 90

    "Bibi ... kamu terlalu banyak bicara! Sudah bosan hidup, ya? Mau menyusul suamimu ke Neraka?" Ansel bertanya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi dengan auranya saja, bisa membuat semua orang merinding ketakutan. Ansel tak suka saat orangtuanya disebut-sebut! Apalagi itu hinaan yang keluar dari mulut wanita tua ini!Wanita paruh baya yang Ansel panggil dengan sebutan bibi itu, langsung terdiam kaku saat mendengar perkataan Ansel. Terlebih aura yang Ansel pancarkan membuatnya gemetar tanpa bisa dikendalikan. Dia menggeleng dengan kuat. Tidak! Dia masih ingin hidup! Dia masih memiliki banyak rencana dalam hidupnya.Ansel mendecih sinis. Dia benci wanita ini. Gara-gara keserakahan dan juga hasutannya, Danu berkhianat pada keluarganya sendiri. Dan disaat suaminya berada di dalam penjara, tak sekalipun dia datang menjenguk. Ansel mengetahuinya karena dia memiliki banyak sekali mata-mata di tempat itu."Bibi ... Sudah berbulan-bulan Paman ada di penjara, tapi aku dengar, bibi tidak pernah

    Last Updated : 2024-09-06
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 91

    Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be

    Last Updated : 2024-09-07
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 92

    Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia

    Last Updated : 2024-09-08

Latest chapter

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 100

    Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 99

    Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 98

    Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status