Ansel menoleh ke arah orang yang kini berdiri tegak sembari mengarahkan senjata kearah pria yang kini sudah tak bernyawa itu."A-anda ...." "Dia pantas mendapatkannya karena sudah berani menyinggung Anda, Jenderal!" Pria itu kemudian membungkuk di depan Ansel. Badannya yang kekar serta segaris bekas luka di wajahnya, membuat pria itu terlihat sangar.Ansel menghela napas berat, dia tidak menyangka kalau tugasnya dirampas begitu saja. Kenapa pria itu menembak sebelum dirinya? Padahal tadi Ansel sudah bersiap untuk menarik pelatuk senjatanya."Bereskan semuanya!" Pria itu memberikan perintah pada beberapa petugas yang dibawanya. Dan orang-orang yang sebelumnya bertarung dengan Ansel juga sudah diangkut pergi. Hanya tersisa hening setelah keributan itu. Kapten Beni juga sudah mendapatkan pertolongan pertama. Ansel melangkah keluar dari sana setelah dipersilakan. Dia memandang nanar kearah pria yang digotong pergi dalam keadaan yang mengenaskan.Tapi ... Ansel tahu, kalau pria itu pant
Ansel menutup pintu kamar dengan perlahan. Dia menatap lurus ke arah istrinya yang tengah duduk di ranjang. Dengan tatapan teduh, Ansel melangkah sembari membawa senyuman di sudut bibirnya. "Ada apa?" Mona bertanya dengan heran, sebab tingkah suaminya itu tidak seperti biasanya. "Aku hanya merasa bahagia, karena bisa melihat senyum indahmu lagi," ujar Ansel, sembari mengambil posisi di samping Mona. Kini, dia membawa istrinya itu kedalam pelukannya. Ansel memeluk Mona dengan perasaan penuh rindu. Tangannya juga mengusap perut istrinya yang sudah membuncit. Tinggal beberapa bulan lagi, anaknya akan lahir. "Terima kasih karena sudah menungguku! Terima kasih karena tidak pernah menyerah!" Ansel mencium kening Mona, perlahan hingga kemudian ciuman itu pindah ke tengkuknya. Di dalam pelukan Ansel, Mona hanya tersenyum sembari menikmati sentuhan suaminya. Dia rindu saat-saat menghabiskan waktu bersama Ansel.Ansel dan juga Mona menghabiskan waktu bersama di dalam kamar. Sembari memba
"Bibi ... kamu terlalu banyak bicara! Sudah bosan hidup, ya? Mau menyusul suamimu ke Neraka?" Ansel bertanya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi dengan auranya saja, bisa membuat semua orang merinding ketakutan. Ansel tak suka saat orangtuanya disebut-sebut! Apalagi itu hinaan yang keluar dari mulut wanita tua ini!Wanita paruh baya yang Ansel panggil dengan sebutan bibi itu, langsung terdiam kaku saat mendengar perkataan Ansel. Terlebih aura yang Ansel pancarkan membuatnya gemetar tanpa bisa dikendalikan. Dia menggeleng dengan kuat. Tidak! Dia masih ingin hidup! Dia masih memiliki banyak rencana dalam hidupnya.Ansel mendecih sinis. Dia benci wanita ini. Gara-gara keserakahan dan juga hasutannya, Danu berkhianat pada keluarganya sendiri. Dan disaat suaminya berada di dalam penjara, tak sekalipun dia datang menjenguk. Ansel mengetahuinya karena dia memiliki banyak sekali mata-mata di tempat itu."Bibi ... Sudah berbulan-bulan Paman ada di penjara, tapi aku dengar, bibi tidak pernah
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke