"Mustahil! Apa-apaan ini? Paman sudah gila? Kalian semua sudah gila?" Ansel berteriak marah. Dia tidak mengira kalau pamannya akan mengatakan omong kosong seperti itu. "Tapi kamu hanya bisa memilih salah satunya!" "Paman gila? Apa Paman buta? Aku membawa istriku kemari, jadi untuk apa membuat pilihan seperti ini?" Rasanya Ansel ingin sekali membalikkan meja sekarang. Menghancurkan isi ruangan itu, andai saja dia tidak memiliki sedikit rasa hormat pada pamannya, seseorang yang sudah menolongnya lima tahun lalu. Ketika Ansel teringat tentang kejadian lima tahun lalu, rasanya mustahil kalau Pamannya tersebut hanya sekadar lewat saja di jalan itu. Dan kemudian berinisiatif menolongnya, padahal mereka tidak saling mengenal. Ansel menebak, kalau sebenarnya pamannya itu mengetahui tentang dia sebelumnya. "Kamu bisa memiliki satu orang istri lagi!" Perkataan Tuan Salim memecahkan lamunan Ansel yang sedang memikirkan masa lalu. "Jangan bicara omong kosong lagi paman! Kamu be
Ansel kembali membawa Mona ke dalam pelukannya. Mengusap pelan rambut istrinya itu, menuangkan semua rasa sayangnya.Mona merasa sangat tersentuh saat mendengar perkataan Ansel. Sangat jarang suaminya itu mengatakan hal seperti tadi. Terasa sangat manis dan juga menenangkan. Mona sangat bahagia sekarang.Ansel melepaskan pelukannya dan menuntun Mona menuju ranjang."Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Ansel menatap mata Mona dengan sangat dalam. "Aku akan mendengarkan!"Mona memperhatikan setiap pergantian ekspresi Ansel. Dia tahu, kalau suaminya itu memiliki banyak hal yang harus dipikirkannya."Tadi, Paman Salim memanggilku untuk datang menemuinya. Dia mengatakan sesuatu padaku."Mona menjadi pendengar yang baik untuk Ansel. Dia tidak menyela untuk sekadar bertanya. Dia tetap diam dengan wajah yang terus menantikan kata-kata Ansel selanjutnya."Dia memintaku untuk menjadi pemimpin perusahaan keluarga!" Dalam pandangan Ansel, dia melihat kening Mona yang berkerut. Tapi istrinya i
Sudah beberapa hari berlalu, sejak Ansel mendengar alasan yang dijelaskan oleh Paman Salim padanya tentang perusahaan.Dan di sinilah Ansel sekarang, duduk diam di kamarnya sembari menunggu Mona keluar dari dalam kamar mandi. Istrinya itu sedang membersihkan diri.Saat itu juga, ponsel Ansel berdering, dan itu adalah panggilan telepon dari Richard. "Ada apa?" Ansel langsung bertanya saat panggilan teleponnya tersambung. "Jenderal, gawat jenderal!" Di seberang sana, Richard berteriak panik pada Ansel. Dan itu terdengar jelas dari nada suaranya. Ansel tahu, kalau sudah terjadi masalah besar."Ada? Katakan padaku dengan jelas!" "Pasukan Owen! Pasukan Owen sedang bergerak menuju perbatasan! Dia membawa sepuluh ribu pasukan untuk menyerang perbatasan!""Apa?!!"Ansel sangat terkejut saat mendengar berita ini. Dia tidak menduga kalau Owen akan membawa pasukan yang cukup banyak untuk menyerangnya. Jika Ansel berada dalam situasi berbeda seperti sebelumnya, maka tanpa pikir panjang, dia
Ansel menatap lama ke arah Mona yang memandanginya sembari menangis. Ansel tak sampai hati untuk melihat kondisi istrinya yang terlihat buruk. "Jenderal?" Richard mengingatkan Ansel sekali lagi. Waktu mereka tidak banyak, dan keduanya harus segera tiba di perbatasan secepatnya. Ansel menghela napas berat. Untuk terakhir kalinya, dia memandang istrinya yang mengantar kepergiannya di depan pintu rumah. Dengan tangisan yang membuat Ansel goyah. Setelah memantapkan hati, Ansel kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka harus sampai di bandara secepatnya. Perjalanan panjang Ansel sudah dimulai. Tapi, baru setengah perjalanan, dia sudah merindukan istri dan calon anaknya. Ansel ingin segera menyelesaikan urusannya secepat mungkin. Jangan sampai dia terjebak di perbatasan hingga berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun seperti sebelumnya. Kini, Ansel memiliki seseorang yang menunggu kepulangannya. Pesawat jet khusus yang Ansel naiki perlahan meninggalkan bandara. Mereka melakukannya dengan c
Dengan menunggangi kuda hitam miliknya, Ansel memacu kuda tersebut ke lokasi perang. Tanah tandus itu tampak berkabut di kejauhan. Hanya ada beberapa rumpun pohon yang hidup di sana. Semakin dekat, Ansel bisa mendengar bunyi pedang yang beradu. Dia semakin memacu kudanya agar segera sampai di sana. Dan kini, di depan matanya, Ansel melihat ada ribuan orang yang sedang bertarung untuk sebuah kemenangan. Tak terhitung jumlah prajurit yang terluka. Luka kecil tak membuat mereka menyerah. Mereka semakin bergerak maju, untuk menentukan siapa yang berhak pulang sebagai pemenang. Bunyi tapal kuda yang datang dari kejauhan membuat orang-orang itu menoleh dalam sekejap. Mereka ingin tahu, siapa yang datang ke tanah penuh darah ini. Ketika mereka melihat seekor kuda hitam yang terlihat sangat gagah dan berani, mendekat dengan membawa seorang pria yang paling ditakuti di dunia kemiliteran, semuanya langsung merasa gemetar. Semangat Prajurit yang melihat kedatangan Ansel langsung menyala. R
Bunyi dentingan besi dan juga patahan kayu terdengar nyaring. Ansel meratakan semua anak panah yang tertuju ke arahnya dengan menggunakan pedangnya. Namun, jumlah itu terlalu banyak, dia sedikit kewalahan. Dan secara tak sengaja, salah satu anak panah menggores tipis wajah Ansel.Desingan anak panah itu berakhir. Ada beberapa prajurit Ansel yang terluka karena panah tersebut. Juga, sepertinya Richard mendapatkan luka gores di lengannya.Ansel mengangkat kepalanya, mengusap pelan pipinya yang mengeluarkan darah. Setelahnya, pandangan Ansel tertuju lurus ke arah Owen yang kini sudah memacu kudanya untuk berlari jauh di tengah-tengah pasukannya.Owen tak peduli jika kuda itu bahkan menginjak prajuritnya sendiri. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, dia harus pergi secepatnya dari medan perang tersebut.Tapi semakin keras Owen melecut kudanya, semakin ketakutan dia. Sebab Ansel kini berlari mengejar dengan kuda hitamnya.Lagipula, pandangan Owen terbatas karena hari yang sudah meng
Tebasan pedang diayunkan. Ada banyak nyawa yang melayang karena perang ini. Tak sedikit darah yang tumpah membasahi bumi. Dan ... akhir dari perang yang melelahkan itu akan tiba. Dengan keadaan yang menyedihkan, Owen memacu langkahnya untuk berlari semakin jauh. Owen saat ini sedang menjadi target Ansel. Tepat saat dia semakin mempercepat langkahnya, sebuah timah panas bersarang di dadanya. Ya ... Ansel menembak Owen dengan senjata yang disiapkan waktu itu. Owen tumbang menghantam tanah. Darah segar mengalir membasahi tanah gersang tersebut. Dengan perlahan, Owen membuka mata. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Ansel datang dengan langkah arogan, menodongkan ujung senjata api itu ke arah kepalanya. Kemarahan itu terlihat jelas. Setelah perang yang berlarut-larut selama beberapa lama, hari ini adalah puncak kemarahan Ansel. Dengan matanya sendiri, Ansel melihat Richard tumbang tepat di depannya. Dan itu semua karena senjata api yang Owen gunakan untuk menembaknya. Ansel t
Ansel mempercepat langkahnya, saat dia hampir tiba di dalam sebuah ruangan yang ada di ruang tahanan perbatasan. Dibelakangnya, ada kapten Beni yang mengikuti Ansel dengan langkah bergetar. Pria itu ... pria yang disebut sebagai Dewa Perang tersebut, kini sedang berada di puncak amarahnya.Sipir penjara membukakan pintu besi saat melihat kedatangan Ansel. Tak ada suara apapun selain suara langkah kaki yang beradu dengan tanah. "Ansel ...."Ketua Beni memanggil Ansel saat dia tiba di pintu terakhir. Dengan pandangan tajam, Ansel berbalik untuk melihat ketua Beni. "Katakan!" Ansel tahu, ketua Beni ingin mengatakan sesuatu. Pasti itu tentang orang yang ada di dalam."Kamu tahu, dia petinggi negara, kan?" Ansel menyeringai saat mendengar perkataan kapten Beni. Ya ... dia tahu!"Jangan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesali ini, Ansel!"Manik mata Ansel yang gelap menatap kapten Beni dengan pandangan berani. Tak ada rasa gentar dalam hatinya, meski pria yang ada di dalam itu a
Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa
Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar
Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon
Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat
Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A
Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d
Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,