Ansel menatap Oman yang terbaring kaku. Luka-luka di tubuh Oman menjadi saksi, bagaimana kejamnya Ansel membalaskan dendamnya. Bahkan Ansel tak merasa takut sedikitpun saat memikirkan tentang Owen yang memiliki status kekuasaan di negeri seberang. Ansel berjalan keluar dari ruangan itu tanpa beban. Dendamnya terbalas. Dan dia tidak merasa menyesal sedikitpun. Sama seperti Oman yang tidak merasa menyesal karena sudah mencelakai istrinya. "Dia sudah mati!" Ansel berkata pada Richard yang terlihat bertanya-tanya. Semua orang yang mendengar perkataan Ansel langsung saling tatap satu sama lain. "Je-jenderal?" Baru kali ini Richard merasa gugup dengan tindakan Ansel. Dia memikirkan status Oman dan juga Owen kakaknya. Terlebih lagi mereka berdua sepertinya berhubungan baik dengan salah seorang orang penting di kota ini. "Jangan risaukan apapun! Cukup bersihkan dia dan kirim kepada kakaknya! Dari awal, mereka sudah menabuh genderang perang, jadi dari pada tanggung-tanggung basah, le
"Aku akan datang untuk menemui nenek, tapi bersama dengan istriku!" Ansel menghubungi Salim saat dia memikirkan tentang keselamatan Mona. Bahkan jika dia tidak melakukan apapun pada Oman, tapi tetap saja Owen akan mencari masalah dengannya. Maka sekalian saja mencari perlindungan dari pamannya yang kekayaannya bahkan tak terhitung oleh kalkulator sekalipun. "Baiklah!" Salim menjawab singkat perkataan Ansel. "Tunggu dulu! Aku belum selesai bicara!" Ansel dan pamannya, Salim, masih membicarakan tentang rencana keberangkatan Ansel ke rumah keluarga ibunya. Mereka juga membahas tentang orang yang akan menghandle perusahaan selama Ansel pergi ke sana.Dan setelah selesai membahas semuanya, akhirnya panggilan telepon itu dimatikan. Salim juga sudah mengirimkan data tentang anggota keluarga ke email Ansel. Yang jelas, data tersebut sangat rahasia. Selesai menelepon, Ansel mendatangi Mona."Aku akan mandi sebentar, kamu bersiaplah, kita akan makan malam bersama di bawah!"Setelah menden
Ansel berjalan mendekati ranjang besar itu. Dalam kepalanya berputar-putar pertanyaan tentang hubungan ibunya dengan keluarga ini. Apa alasan terbesar Shintia meninggalkan keluarganya?"Kamu putra Shintia?" Wanita tua yang bersandar di tepi ranjang itu memerhatikan Ansel dengan mata menyipit. Penyakit rabun yang dialaminya, membuat dia kesulitan dalam mengenali orang."Ya ... nama ibuku Shintia!" Ansel merasa canggung saat diperhatikan sedemikan rupa. Hingga akhirnya nenek tua tersebut bersorak gembira."Kamu ... kamu benar-benar mirip dengannya!" Nenek tua itu berusaha untuk menggapai tangan Ansel. Ketika Ansel melihat hal itu, dengan gerakan perlahan dia mendekati neneknya.Ansel sebenarnya ingin menanyakan banyak hal, tapi ketika dia melihat kondisi neneknya yang sepertinya tidak terlalu baik, maka dia mengurungkan niatnya.Lebih baik membahas ini nanti saja, bersama pamannya.Setelah membahas beberapa hal, Salim membawa Ansel menuju kamar yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Da
"Mustahil! Apa-apaan ini? Paman sudah gila? Kalian semua sudah gila?" Ansel berteriak marah. Dia tidak mengira kalau pamannya akan mengatakan omong kosong seperti itu. "Tapi kamu hanya bisa memilih salah satunya!" "Paman gila? Apa Paman buta? Aku membawa istriku kemari, jadi untuk apa membuat pilihan seperti ini?" Rasanya Ansel ingin sekali membalikkan meja sekarang. Menghancurkan isi ruangan itu, andai saja dia tidak memiliki sedikit rasa hormat pada pamannya, seseorang yang sudah menolongnya lima tahun lalu. Ketika Ansel teringat tentang kejadian lima tahun lalu, rasanya mustahil kalau Pamannya tersebut hanya sekadar lewat saja di jalan itu. Dan kemudian berinisiatif menolongnya, padahal mereka tidak saling mengenal. Ansel menebak, kalau sebenarnya pamannya itu mengetahui tentang dia sebelumnya. "Kamu bisa memiliki satu orang istri lagi!" Perkataan Tuan Salim memecahkan lamunan Ansel yang sedang memikirkan masa lalu. "Jangan bicara omong kosong lagi paman! Kamu be
Ansel kembali membawa Mona ke dalam pelukannya. Mengusap pelan rambut istrinya itu, menuangkan semua rasa sayangnya.Mona merasa sangat tersentuh saat mendengar perkataan Ansel. Sangat jarang suaminya itu mengatakan hal seperti tadi. Terasa sangat manis dan juga menenangkan. Mona sangat bahagia sekarang.Ansel melepaskan pelukannya dan menuntun Mona menuju ranjang."Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Ansel menatap mata Mona dengan sangat dalam. "Aku akan mendengarkan!"Mona memperhatikan setiap pergantian ekspresi Ansel. Dia tahu, kalau suaminya itu memiliki banyak hal yang harus dipikirkannya."Tadi, Paman Salim memanggilku untuk datang menemuinya. Dia mengatakan sesuatu padaku."Mona menjadi pendengar yang baik untuk Ansel. Dia tidak menyela untuk sekadar bertanya. Dia tetap diam dengan wajah yang terus menantikan kata-kata Ansel selanjutnya."Dia memintaku untuk menjadi pemimpin perusahaan keluarga!" Dalam pandangan Ansel, dia melihat kening Mona yang berkerut. Tapi istrinya i
Sudah beberapa hari berlalu, sejak Ansel mendengar alasan yang dijelaskan oleh Paman Salim padanya tentang perusahaan.Dan di sinilah Ansel sekarang, duduk diam di kamarnya sembari menunggu Mona keluar dari dalam kamar mandi. Istrinya itu sedang membersihkan diri.Saat itu juga, ponsel Ansel berdering, dan itu adalah panggilan telepon dari Richard. "Ada apa?" Ansel langsung bertanya saat panggilan teleponnya tersambung. "Jenderal, gawat jenderal!" Di seberang sana, Richard berteriak panik pada Ansel. Dan itu terdengar jelas dari nada suaranya. Ansel tahu, kalau sudah terjadi masalah besar."Ada? Katakan padaku dengan jelas!" "Pasukan Owen! Pasukan Owen sedang bergerak menuju perbatasan! Dia membawa sepuluh ribu pasukan untuk menyerang perbatasan!""Apa?!!"Ansel sangat terkejut saat mendengar berita ini. Dia tidak menduga kalau Owen akan membawa pasukan yang cukup banyak untuk menyerangnya. Jika Ansel berada dalam situasi berbeda seperti sebelumnya, maka tanpa pikir panjang, dia
Ansel menatap lama ke arah Mona yang memandanginya sembari menangis. Ansel tak sampai hati untuk melihat kondisi istrinya yang terlihat buruk. "Jenderal?" Richard mengingatkan Ansel sekali lagi. Waktu mereka tidak banyak, dan keduanya harus segera tiba di perbatasan secepatnya. Ansel menghela napas berat. Untuk terakhir kalinya, dia memandang istrinya yang mengantar kepergiannya di depan pintu rumah. Dengan tangisan yang membuat Ansel goyah. Setelah memantapkan hati, Ansel kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka harus sampai di bandara secepatnya. Perjalanan panjang Ansel sudah dimulai. Tapi, baru setengah perjalanan, dia sudah merindukan istri dan calon anaknya. Ansel ingin segera menyelesaikan urusannya secepat mungkin. Jangan sampai dia terjebak di perbatasan hingga berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun seperti sebelumnya. Kini, Ansel memiliki seseorang yang menunggu kepulangannya. Pesawat jet khusus yang Ansel naiki perlahan meninggalkan bandara. Mereka melakukannya dengan c
Dengan menunggangi kuda hitam miliknya, Ansel memacu kuda tersebut ke lokasi perang. Tanah tandus itu tampak berkabut di kejauhan. Hanya ada beberapa rumpun pohon yang hidup di sana. Semakin dekat, Ansel bisa mendengar bunyi pedang yang beradu. Dia semakin memacu kudanya agar segera sampai di sana. Dan kini, di depan matanya, Ansel melihat ada ribuan orang yang sedang bertarung untuk sebuah kemenangan. Tak terhitung jumlah prajurit yang terluka. Luka kecil tak membuat mereka menyerah. Mereka semakin bergerak maju, untuk menentukan siapa yang berhak pulang sebagai pemenang. Bunyi tapal kuda yang datang dari kejauhan membuat orang-orang itu menoleh dalam sekejap. Mereka ingin tahu, siapa yang datang ke tanah penuh darah ini. Ketika mereka melihat seekor kuda hitam yang terlihat sangat gagah dan berani, mendekat dengan membawa seorang pria yang paling ditakuti di dunia kemiliteran, semuanya langsung merasa gemetar. Semangat Prajurit yang melihat kedatangan Ansel langsung menyala. R