Share

Bab 64

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2024-08-10 20:24:20
Ansel berdiam diri menunggu di luar ruang rawat VVIP itu. Sejak mengungkapkan tentang dirinya di depan Mona, Ansel diusir keluar dari ruangan tersebut.

"Kamu keluar dulu, beri aku waktu untuk berpikir!"

Kata-kata Mona masih terbayang-bayang oleh Ansel dibenaknya. Dia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu. Menatap pintu yang tertutup rapat. Bahkan dokter yang memeriksa Mona pun sudah keluar dari tadi, tanpa mengatakan apapun padanya.

"Jenderal?" Richard menahan Ansel yang akan menarik kenop pintu. Dia tahu diri untuk tidak memperbolehkan bossnya itu masuk ke dalam.

"Tapi ini sudah terlalu lama!" Ansel memijit keningnya yang terasa pening. Bahkan sekarang sudah hampir petang, tapi Mona masih mendiamkannya.

Richard kemudian berjalan menuju ruangan perawat yang berjaga tidak jauh dari sana. Setelah berbincang beberapa saat, Richard kembali dengan seorang perawat yang memimpin jalan.

"Tunggu sebentar, ya." Perawat itu masuk ke dalam ruangan rawat Mona. Tak lama setelah itu dia
Cutegurl

Terima kasih sudah membaca! Menerima kritik dan saran, hehe.

| 18
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muliadi
tambah bab nya dong
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 65

    Penjagaan terhadap Mona dan calon bayinya dilakukan dengan ketat. Jika saja anggota Ansel yang lainnya berjaga di depan pintu rumah sakit, maka orang-orang yang datang berobat akan berpikir kalau keluarga presiden sedang dirawat di rumah sakit ini. Pria-pria berbadan gagah itu siap sedia memperhatikan sekitar, dengan sebuah alat komunikasi di telinga mereka. "Kamu yakin bisa jalan sendiri?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka kini berjalan keluar dari rumah sakit. Mona memandang Ansel dengan kesal. Semenjak dia mengetahui tentang identitas suaminya, Mona merasa kalau Ansel semakin menunjukkan sisi berbeda dari Ansel yang Mona kenal sebelumnya. "Aku tidak lumpuh! Jangan berlebihan!" Mona melangkah dengan kesal. Selain merasa risih karena perlakukan Ansel, Mona tidak mengeluhkan hal apapun lagi. Sebuah mobil Alphard sudah terparkir indah didepan pintu keluar rumah sakit. Kalau bukan karena Mona adalah pasien VVIP, tak mungkin pihak rumah sakit mengizinkan mobil itu menunggu di

    Last Updated : 2024-08-11
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 66

    Langkah Ansel membawanya masuk ke ruang kunjungan rutan Sambadi. Dan di dalam ruangan tersebut, ada Danu yang duduk di kursi sembari dipantau ketat oleh salah seorang sipir yang bertugas. Danu menegakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki mendekat. Tubuhnya langsung bereaksi saat melihat kalau ternyata orang itu adalah Ansel, keponakan sendiri. "K-kamu!" Danu menunjuk-nunjuk Ansel sembari berusaha kabur dari sana. Tapi dia tidak bisa bergerak banyak karena tubuhnya ditahan kuat oleh sipir yang merupakan orang suruhan Ansel. "Lepaskan aku! Lepaskan! Aku tidak mau bertemu dengannya! Lepaskan aku sekarang!" Danu memberontak dengan semua tenaganya yang tersisa. Dia benar-benar ketakutan. Siksaan yang Danu dapatkan saat berada dalam rutan menimbulkan trauma yang dalam. Dia tidak tahu apakah itu karena Ansel atau kehidupan di penjara memang keras seperti ini. Tapi kenapa terlalu kejam? Ansel mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Danu. Dia bersidekap tangan denga

    Last Updated : 2024-08-12
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 67

    Dengan langkah ringan, Ansel berjalan keluar dari ruangan itu meninggalkan Danu yang terdiam kaku. Pamannya itu lalu memegangi dadanya yang terasa sakit. Tanpa berbalik kebelakang untuk sekadar melihat Danu yang meraung-raung kesakitan, Ansel meneruskan langkahnya menuju ruangan lain. Ruangan tempat dimana Adrian sudah menunggunya. Richard sudah menunggu Ansel dan kemudian membukakan pintu ruangan itu. Setelahnya dia menutup pintu tersebut dan berdiri berjaga di sana. Sama seperti sebelumnya, saat dia berjaga di depan pintu tempat Ansel bertemu Danu. Tapi kali ini sipir yang bertugas tidak masuk, dan ikut berdiri di samping Richard. Tubuh Adrian menegang saat dia melihat Ansel masuk ke dalam ruangan itu dan kini sedang melangkah ke arahnya. Awalnya Adrian kira, kalau yang datang berkunjung adalah Clara, kekasihnya yang juga merupakan mantan tunangan Ansel. "Kau ... apa yang kau lakukan disini?" Tubuh Adrian langsung menunjukkan reaksi jujur. Dia ketakutan setengah mati. Ingatan A

    Last Updated : 2024-08-12
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 68

    Ansel berbalik untuk melihat orang yang memanggilnya. Keningnya berkerut saat melihat orang itu, kenapa dia bisa ada di sini. Tapi akhirnya Ansel mengerti. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Orang itu berjalan mendekat ke arah Ansel. Dia melihat mobil yang akan Ansel naiki. Lalu alisnya terangkat sebelah seakan sedang menilai. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu!" Ansel tak ingin memperdulikan orang itu. Ia membuka pintu mobil, tapi tangannya langsung ditahan. Dan pintu mobil ditutup dengan kasar. "Ini mobilmu?" Orang yang tak lain adalah Clara itu bertanya heran. Tentu saja Clara heran, sebab kali ini Ansel tak membawa mobil rongsok yang diberikan Mona untuknya. Dia datang dengan membawa BMW seri terbaru yang didesain khusus dan juga anti peluru. "Tentu saja. Tidak mungkin aku meminjam punya orang lain!" Ansel mendengus. "Menyingkirlah!" Bukannya menyingkir, Clara malah menantang Ansel dan berdiri di depan pintu mobil. Dia bersidekap tangan menilai Ansel dari atas sampai ba

    Last Updated : 2024-08-13
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 69

    Ansel menutup laptop Mona dengan perlahan. Lalu dia memperbaiki posisi tidur istrinya itu dengan sangat lembut. Lagi pula, sofa yang Mona tiduri merupakan sofa dengan kualitas terbaik dengan harga yang tidak main-main. Jadi Mona tidak akan merasa sakit jika tidur di sana. Sebelum mengisi kamar ini, Ansel sudah mempertimbangkan semuanya. Dia ingin Mona merasa nyaman, bahkan saat dia sedang ingin bersantai di sofa sembari menonton film. Setelah memastikan semuanya aman, Ansel berjalan menuju kamar mandi. Sebelumnya dia mengambil handuk terlebih dahulu di dalam walking closet. Ansel memandang dirinya sendiri di depan cermin. Semua bekas luka di tubuhnya akan membuat Ansel selalu mengingat, bagaimana kerasnya kehidupan yang Ansel lalui untuk bisa sampai di titik sekarang. Ansel memusatkan energi tubuhnya sembari mengosongkan pikiran. Sesaat dia merasa tubuhnya sudah sangat baik. Sepertinya cideranya sudah mulai pulih sepenuhnya. Ansel menyelesaikan mandinya dengan cepat. Dia p

    Last Updated : 2024-08-13
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 70

    Ansel tak melihat adanya pergerakan. Dia berjalan mendekati Oman dan berjongkok di depan pria itu. Bau tak sedap langsung menyeruak di indera penciuman Ansel. "Bangun!" Ansel menendang kaki Oman, hingga pria itu terbangun karena kesakitan. Dengan mata sayu, Oman melihat ke arah Ansel. "K-kau?!" Oman bahkan tak punya tenaga untuk sekadar mengangkat tangannya menunjuk ke arah Ansel. "Kamu suka tempat ini?" Ansel bertanya, sembari melihat-lihat luka di tubuh Oman. Luka tembak itu membusuk dan juga bernanah. Tampak sangat mengerikan. "K-kau si-sialan!" Oman meludah ke samping. Dia sangat membenci Ansel sampai ke tulang. "Owen p-pasti tidak a-akan melepaskanmu!" Oman memejamkan mata menahan sakit. Ini lebih menyakitkan daripada mendapat luka tembak saat di medan perang. Itu karena lukanya dibiarkan infeksi dan membusuk. Terlebih Ansel tidak menembak organ vital Oman, sehingga tak membuatnya langsung mati. Ansel menyeringai. "Dia bahkan tidak bisa masuk ke negara ini. Bagaimana mung

    Last Updated : 2024-08-14
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 71

    Telinga Ansel berdengung saat mendengar cemoohan yang ditujukan padanya. Tapi dia tidak merasa tersinggung sedikitpun. Lagi pula, Ansel bukanlah pria miskin seperti yang mereka sebutkan. Bahkan tempat ini saja merupakan miliknya.Melihat Ansel mengabaikannya, pria berjas biru dongker itu semakin kesal. "Sialan, benar-benar tidak tahu malu!" Saat pria itu seperti sudah mulai kehilangan kendali, dan berniat untuk memukul Ansel, beberapa orang menahan tangannya."Jangan buat keributan sebelum acara. Nanti saja saat akan pulang, kita permalukan dia!" Seorang wanita bergaun V neck berbisik di telinga pria itu. Dia sudah memikirkan rencana untuk mempermalukan Ansel.Kening pria yang ternyata bernama Rehan itu berkerut. Setelah mendengar garis besar dari rencana wanita tersebut, akhirnya dia tersenyum. "Sudahlah! Buang-buang waktu saja jika aku meladenimu!" Rehan berjalan meninggalkan Ansel. Mereka menikmati acara itu tanpa memperdulikan Ansel yang duduk di pojok ruangan.Ansel tahu kena

    Last Updated : 2024-08-14
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 72

    Rehan sangat ingin mempermalukan Ansel. Dia harus membalaskan rasa sakit hatinya selama ini. Dan kini lah kesempatannya. "Cepat panggil manager hotel ini! Dia harus mengganti rugi anggur yang terbuang itu!" Rehan menyuruh salah seorang dari peserta reuni untuk pergi keluar, melaporkan pada penjaga agar segera memanggil manager hotel. Ansel tidak takut sedikitpun. Lagipula ini bukan salahnya. Dia pasti akan membuat Intan mendapatkan akibat dari perbuatannya. Jadi, Ansel perlu bermain sedikit dalam drama ini. Rehan memandang Ansel dengan remeh. Dia sangat yakin kalau Ansel akan dipermalukan lagi malam ini. Dalam pikiran Rehan, sepertinya hidup Ansel memang untuk dipermalukan terus. Ansel mengeluarkan ponselnya, dan mengirimkan pesan singkat pada Richard. Isinya tak banyak kata, hanya bertuliskan: Tampilkan rekaman video CCTV ballroom hotel ini di layar proyektor. Richard yang memandang dari pintu masuk langsung mengerti maksud tujuan Ansel. Tadi dia bersiaga saat penjaga depan

    Last Updated : 2024-08-15

Latest chapter

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 100

    Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 99

    Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 98

    Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status