Hari-hari Ansel berjalan dengan sangat baik beberapa waktu terakhir. Dia terus memantau pergerakan Danu dan juga Adrian. Keluarga mereka mengupayakan yang terbaik agar keduanya bisa dibebaskan. Tapi sayangnya tak ada seorangpun pengacara yang mau mengurus kasus ini. Orang-orang itu tidak mau mengambil resiko apapun. Menjadi musuh masyarakat saja sudah sulit, apalagi menjadi lawan seseorang yang sangat berpengaruh di dunia. Mendengar namanya saja, mereka sudah gemetar parah hingga mengalami halusinasi saat memikirkannya. Ansel juga sudah berhasil mengakuisisi Sadewa Group. Dia melakukannya dengan sangat mudah. Tak terlalu menghabiskan uang, tapi cukup banyak jika angka nolnya dijabarkan. Lagipula, di penjara Danu dan Adrian juga sudah diurus oleh anak buah Ansel. Mereka tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak selama di dalam sana. Memikirkan tentang bahaya yang mengintai bahkan saat mereka sudah di dalam penjara, membuat mereka tak akan bisa memejamkan mata walau sekejap saja.
"Kamu suka tempatnya?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka baru sampai di kamar hotel. Jenis kamar presiden suit ini terlihat sangat mengagumkan. Kamarnya benar-benar luas dengan tempat tidur King size. Ada televisi besar yang lebarnya hampir menyerupai layar bioskop. Ada mini bar serta ruang makan dan dapur juga di sana. Dan berbagai fasilitas mewah lainnya. "Apa mereka tidak terlalu berlebihan memberikan ini?" Mona memperhatikan sekitarnya. Kamar ini terasa sangat sempurna dan juga luas. "Ada apa?" Ansel bertanya ketika melihat istrinya itu hanya diam saja. "Sepertinya kamar kita tertukar! Tidak mungkin mereka akan memberikan kamar ini! Aku tahu dengan jelas, kalau ini adalah kamar presiden suit dan harga menginap permalam di sini puluhan juta! Ayo keluar dan melapor ke resepsionis!" Mona segera berbalik dan menarik kopernya keluar. Dia sangat yakin kalau mereka sudah salah kamar. Pasti petugas hotel yang mengantar mereka tadi itu salah. Dia sangat yakin! Ansel mengikuti d
Kelopak mata Ansel beberapa kali mengerjap, berusaha untuk bangun dari tidurnya. Malam tadi terasa indah dengan pagi yang menyambut dengan cerah. "Selamat pagi! Kamu tidur nyenyak?" Mona bertanya sembari mendongak memandang wajah suaminya. Ansel menyadari kehadiran sang istri yang nyatanya masih berada di dalam dekapannya. "Selamat pagi! Nyenyak sekali, sampai aku merasa sangat malas untuk bangun!" Ansel mengeratkan dekapannya, berencana untuk memejamkan matanya lagi. Tapi rencana Ansel untuk menyambung lagi tidurnya langsung buyar saat Mona melepas paksa pelukannya. "Bangun! Aku lapar sekali! Tadi malam tidak jadi makan!" Mona mengerucutkan bibirnya. Seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan perman. Alis Ansel meninggi, dia sedikit tidak terbiasa dengan tingkah imut istrinya itu. Biasanya Mona tidak seperti ini. Apa mungkin karena suasana hati istrinya itu sedang baik sekarang, jadi dia bertingkah menggemaskan seperti ini? "Kamu lapar? Kalau begitu, ayo membe
Beberapa pria berbadan tegap langsung keluar dari tempat persembunyian. Selain berlarian menyusuri seluruh tempat itu, tim Richard juga menyusuri seluruh CCTV yang berada di area sekitar. Ansel terus berteriak memanggil Mona. Menjerit memanggil nama istrinya, berharap kalau Mona bisa mendengarnya. "Sialan!" Ansel semakin panik saat tak terlihat tanda-tanda Mona ada di sekitaran pantai itu. Hingga kemudian suara dering ponsel menyadarkannya. "Boss saya mengirimkan rekaman video CCTV yang ada di sekitaran taman. Saya yakin itu nyonya! Saya sudah menyuruh mereka semua untuk mengejar mobil itu!" Panggilan telepon langsung dimatikan, dan Ansel melihat video yang dikirimkan oleh Richard. Mata Ansel menyipit saat melihat isi video tersebut. Tampak pakaian yang dipakai oleh orang yang ada di dalam video itu jauh berbeda dengan pakaian Mona sebelumnya. Karena disana tubuh orang yang Ansel yakini adalah Mona itu dibalut dengan jas long coat berwarna hitam. Pantas saja anak buahnya tidak
"Kalian pastikan dulu dimana mereka meletakan Mona. Ingat untuk tidak membuat suara!" Ansel memberikan perintah melalui alat komunikasi tim yang dia gunakan saat masih dalam perjalanan tadi. Ansel tidak melihat cahaya apapun dari dalam rumah itu. Mungkin ada bagian lain yang tertutup rapat hingga tak bisa ditembus cahaya. Dengan dibantu cahaya remang bulan sabit, orang-orang dengan keahlian berkali-kali lipat dibandingkan warga biasa itu mengendap untuk berusaha masuk ke dalam rumah tua tersebut. Ansel memilih jalan dari bagian belakang. Dia yakin Mona sedang ditahan di dalam bangunan tua ini, karena sinyal pelacak yang ada di cincin Mona berada di tempat ini. Dengan langkah yang penuh kehati-hatian, Ansel mencari jalan ke pintu belakang. Tubuhnya seringan kapas hingga dia bisa masuk dengan mudah ke dalam sana. Ansel menyusuri setiap lorong dari bangunan tua yang ditumbuhi lumut itu. Bau apek juga terasa jelas di hidungnya. Ansel terus menyusuri setiap sekat dari ruangan yang a
Orang-orang itu saling beradu kemampuan. Bunyi tembakan masih terdengar, juga suara benda jatuh terhantuk lantai.Ansel masih menaruh fokus pada Oman yang sudah terpojok. Tangannya gatal untuk menarik pelatuk senjatanya, tapi dia ingin bermain sebentar dengan pria itu."Apa saja yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Ansel terus melangkah maju, sedangkan Oman sudah tidak bisa bergerak sedikitpun. Dia benar-benar terpojok."Apa yang aku lakukan pada istrimu... hanya kami yang tahu!" Oman menarik sudut bibirnya, dia berpikir kalau Ansel hanya menggertak. Tak mungkin Ansel berani menyakitinya, jika dia mau peperangan kembali terjadi. Tapi rasa percaya diri Oman langsung sirna begitu saja saat Ansel menembak lengan tangan kanannya. Manik mata Ansel menatap tajam ke arah Oman. Saat ini dia sedang mendengarkan laporan Richard dari alat komunikasi kecil yang dipakainya."Akhh ...." Oman menjerit dengan sangat keras. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang masih saling menembak. Lebih te
Mona sudah dipindahkan ke ruang rawat beberapa jam yang lalu, tapi yang membuat Ansel semakin risau adalah istrinya itu tak kunjung sadarkan diri. Ansel sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibawakan oleh Richard. Barang-barangnya yang tertinggal di hotel juga sudah dijemput semua dan dipindahkan ke rumah sakit. Ansel menyewa kamar VVIP rumah sakit ini. Meskipun tak sebesar ruang VVIP di rumah sakit yang ada di kota, tapi setidaknya ini lumayan. Ansel duduk di samping Mona sembari terus menggenggam tangan istrinya itu. Dia terus merapalkan doa agar Mona bisa segera sadar. Tapi istrinya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Pintu ruang rawat itu diketuk dari luar, dan setelahnya Richard masuk ke dalam. Dia membawa beberapa kotak makanan untuk Ansel. Karena bossnya itu belum makan sedari siang. Sekarang hari sudah hampir pagi dan itu membuat Richard risau. "Boss ...." Richard meletakkan sekotak makanan yang dibelinya di atas meja nakas. Tapi Ansel bahkan tak
Ansel berdiam diri menunggu di luar ruang rawat VVIP itu. Sejak mengungkapkan tentang dirinya di depan Mona, Ansel diusir keluar dari ruangan tersebut. "Kamu keluar dulu, beri aku waktu untuk berpikir!" Kata-kata Mona masih terbayang-bayang oleh Ansel dibenaknya. Dia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu. Menatap pintu yang tertutup rapat. Bahkan dokter yang memeriksa Mona pun sudah keluar dari tadi, tanpa mengatakan apapun padanya. "Jenderal?" Richard menahan Ansel yang akan menarik kenop pintu. Dia tahu diri untuk tidak memperbolehkan bossnya itu masuk ke dalam. "Tapi ini sudah terlalu lama!" Ansel memijit keningnya yang terasa pening. Bahkan sekarang sudah hampir petang, tapi Mona masih mendiamkannya. Richard kemudian berjalan menuju ruangan perawat yang berjaga tidak jauh dari sana. Setelah berbincang beberapa saat, Richard kembali dengan seorang perawat yang memimpin jalan. "Tunggu sebentar, ya." Perawat itu masuk ke dalam ruangan rawat Mona. Tak lama setelah itu dia