Terima kasih! Jika kamu suka, jangan lupa dukungannya!
"Kamu suka tempatnya?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka baru sampai di kamar hotel. Jenis kamar presiden suit ini terlihat sangat mengagumkan. Kamarnya benar-benar luas dengan tempat tidur King size. Ada televisi besar yang lebarnya hampir menyerupai layar bioskop. Ada mini bar serta ruang makan dan dapur juga di sana. Dan berbagai fasilitas mewah lainnya. "Apa mereka tidak terlalu berlebihan memberikan ini?" Mona memperhatikan sekitarnya. Kamar ini terasa sangat sempurna dan juga luas. "Ada apa?" Ansel bertanya ketika melihat istrinya itu hanya diam saja. "Sepertinya kamar kita tertukar! Tidak mungkin mereka akan memberikan kamar ini! Aku tahu dengan jelas, kalau ini adalah kamar presiden suit dan harga menginap permalam di sini puluhan juta! Ayo keluar dan melapor ke resepsionis!" Mona segera berbalik dan menarik kopernya keluar. Dia sangat yakin kalau mereka sudah salah kamar. Pasti petugas hotel yang mengantar mereka tadi itu salah. Dia sangat yakin! Ansel mengikuti d
Kelopak mata Ansel beberapa kali mengerjap, berusaha untuk bangun dari tidurnya. Malam tadi terasa indah dengan pagi yang menyambut dengan cerah. "Selamat pagi! Kamu tidur nyenyak?" Mona bertanya sembari mendongak memandang wajah suaminya. Ansel menyadari kehadiran sang istri yang nyatanya masih berada di dalam dekapannya. "Selamat pagi! Nyenyak sekali, sampai aku merasa sangat malas untuk bangun!" Ansel mengeratkan dekapannya, berencana untuk memejamkan matanya lagi. Tapi rencana Ansel untuk menyambung lagi tidurnya langsung buyar saat Mona melepas paksa pelukannya. "Bangun! Aku lapar sekali! Tadi malam tidak jadi makan!" Mona mengerucutkan bibirnya. Seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan perman. Alis Ansel meninggi, dia sedikit tidak terbiasa dengan tingkah imut istrinya itu. Biasanya Mona tidak seperti ini. Apa mungkin karena suasana hati istrinya itu sedang baik sekarang, jadi dia bertingkah menggemaskan seperti ini? "Kamu lapar? Kalau begitu, ayo membe
Beberapa pria berbadan tegap langsung keluar dari tempat persembunyian. Selain berlarian menyusuri seluruh tempat itu, tim Richard juga menyusuri seluruh CCTV yang berada di area sekitar. Ansel terus berteriak memanggil Mona. Menjerit memanggil nama istrinya, berharap kalau Mona bisa mendengarnya. "Sialan!" Ansel semakin panik saat tak terlihat tanda-tanda Mona ada di sekitaran pantai itu. Hingga kemudian suara dering ponsel menyadarkannya. "Boss saya mengirimkan rekaman video CCTV yang ada di sekitaran taman. Saya yakin itu nyonya! Saya sudah menyuruh mereka semua untuk mengejar mobil itu!" Panggilan telepon langsung dimatikan, dan Ansel melihat video yang dikirimkan oleh Richard. Mata Ansel menyipit saat melihat isi video tersebut. Tampak pakaian yang dipakai oleh orang yang ada di dalam video itu jauh berbeda dengan pakaian Mona sebelumnya. Karena disana tubuh orang yang Ansel yakini adalah Mona itu dibalut dengan jas long coat berwarna hitam. Pantas saja anak buahnya tidak
"Kalian pastikan dulu dimana mereka meletakan Mona. Ingat untuk tidak membuat suara!" Ansel memberikan perintah melalui alat komunikasi tim yang dia gunakan saat masih dalam perjalanan tadi. Ansel tidak melihat cahaya apapun dari dalam rumah itu. Mungkin ada bagian lain yang tertutup rapat hingga tak bisa ditembus cahaya. Dengan dibantu cahaya remang bulan sabit, orang-orang dengan keahlian berkali-kali lipat dibandingkan warga biasa itu mengendap untuk berusaha masuk ke dalam rumah tua tersebut. Ansel memilih jalan dari bagian belakang. Dia yakin Mona sedang ditahan di dalam bangunan tua ini, karena sinyal pelacak yang ada di cincin Mona berada di tempat ini. Dengan langkah yang penuh kehati-hatian, Ansel mencari jalan ke pintu belakang. Tubuhnya seringan kapas hingga dia bisa masuk dengan mudah ke dalam sana. Ansel menyusuri setiap lorong dari bangunan tua yang ditumbuhi lumut itu. Bau apek juga terasa jelas di hidungnya. Ansel terus menyusuri setiap sekat dari ruangan yang a
Orang-orang itu saling beradu kemampuan. Bunyi tembakan masih terdengar, juga suara benda jatuh terhantuk lantai.Ansel masih menaruh fokus pada Oman yang sudah terpojok. Tangannya gatal untuk menarik pelatuk senjatanya, tapi dia ingin bermain sebentar dengan pria itu."Apa saja yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Ansel terus melangkah maju, sedangkan Oman sudah tidak bisa bergerak sedikitpun. Dia benar-benar terpojok."Apa yang aku lakukan pada istrimu... hanya kami yang tahu!" Oman menarik sudut bibirnya, dia berpikir kalau Ansel hanya menggertak. Tak mungkin Ansel berani menyakitinya, jika dia mau peperangan kembali terjadi. Tapi rasa percaya diri Oman langsung sirna begitu saja saat Ansel menembak lengan tangan kanannya. Manik mata Ansel menatap tajam ke arah Oman. Saat ini dia sedang mendengarkan laporan Richard dari alat komunikasi kecil yang dipakainya."Akhh ...." Oman menjerit dengan sangat keras. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang masih saling menembak. Lebih te
Mona sudah dipindahkan ke ruang rawat beberapa jam yang lalu, tapi yang membuat Ansel semakin risau adalah istrinya itu tak kunjung sadarkan diri. Ansel sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibawakan oleh Richard. Barang-barangnya yang tertinggal di hotel juga sudah dijemput semua dan dipindahkan ke rumah sakit. Ansel menyewa kamar VVIP rumah sakit ini. Meskipun tak sebesar ruang VVIP di rumah sakit yang ada di kota, tapi setidaknya ini lumayan. Ansel duduk di samping Mona sembari terus menggenggam tangan istrinya itu. Dia terus merapalkan doa agar Mona bisa segera sadar. Tapi istrinya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Pintu ruang rawat itu diketuk dari luar, dan setelahnya Richard masuk ke dalam. Dia membawa beberapa kotak makanan untuk Ansel. Karena bossnya itu belum makan sedari siang. Sekarang hari sudah hampir pagi dan itu membuat Richard risau. "Boss ...." Richard meletakkan sekotak makanan yang dibelinya di atas meja nakas. Tapi Ansel bahkan tak
Ansel berdiam diri menunggu di luar ruang rawat VVIP itu. Sejak mengungkapkan tentang dirinya di depan Mona, Ansel diusir keluar dari ruangan tersebut. "Kamu keluar dulu, beri aku waktu untuk berpikir!" Kata-kata Mona masih terbayang-bayang oleh Ansel dibenaknya. Dia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu. Menatap pintu yang tertutup rapat. Bahkan dokter yang memeriksa Mona pun sudah keluar dari tadi, tanpa mengatakan apapun padanya. "Jenderal?" Richard menahan Ansel yang akan menarik kenop pintu. Dia tahu diri untuk tidak memperbolehkan bossnya itu masuk ke dalam. "Tapi ini sudah terlalu lama!" Ansel memijit keningnya yang terasa pening. Bahkan sekarang sudah hampir petang, tapi Mona masih mendiamkannya. Richard kemudian berjalan menuju ruangan perawat yang berjaga tidak jauh dari sana. Setelah berbincang beberapa saat, Richard kembali dengan seorang perawat yang memimpin jalan. "Tunggu sebentar, ya." Perawat itu masuk ke dalam ruangan rawat Mona. Tak lama setelah itu dia
Penjagaan terhadap Mona dan calon bayinya dilakukan dengan ketat. Jika saja anggota Ansel yang lainnya berjaga di depan pintu rumah sakit, maka orang-orang yang datang berobat akan berpikir kalau keluarga presiden sedang dirawat di rumah sakit ini. Pria-pria berbadan gagah itu siap sedia memperhatikan sekitar, dengan sebuah alat komunikasi di telinga mereka. "Kamu yakin bisa jalan sendiri?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka kini berjalan keluar dari rumah sakit. Mona memandang Ansel dengan kesal. Semenjak dia mengetahui tentang identitas suaminya, Mona merasa kalau Ansel semakin menunjukkan sisi berbeda dari Ansel yang Mona kenal sebelumnya. "Aku tidak lumpuh! Jangan berlebihan!" Mona melangkah dengan kesal. Selain merasa risih karena perlakukan Ansel, Mona tidak mengeluhkan hal apapun lagi. Sebuah mobil Alphard sudah terparkir indah didepan pintu keluar rumah sakit. Kalau bukan karena Mona adalah pasien VVIP, tak mungkin pihak rumah sakit mengizinkan mobil itu menunggu di
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ponsel mahal yang berharga belasan juta itu langsung jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Bahkan layarnya sampai pecah dan kini ponsel tersebut mati total. Ansel diam menikmati reaksi wanita itu. Sedikit pelajaran padanya sudah cukup. Tapi yang sebenarnya terjadi, hal yang Ansel sebut sebagai sedikit itu nyatanya sangat besar bagi orang lain. Tidak hanya membuat para investor menarik dana dari proyek yang sudah dibicarakan sebelumnya, Ansel juga memasukkan perusahaan keluarga Sudrawan ke daftar hitam perusahaannya."Ba-bagaimana mungkin?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada bingung dan penuh keraguan. Tubuhnya terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh, kalau saja anaknya yang tengah hamil tak menangkapnya segera. "Ada apa, Ma?" Si perempuan hamil bertanya penasaran saat melihat wajah ibunya yang tampak sangat pucat. "Terjadi sesuatu! Pasti terjadi kekeliruan!" Saat si wanita paruh baya berteriak karena keterkejutannya, ponsel anaknya berdering. Dan itu adalah pang
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be