Napas Danu tercekat. Rasa sakit di pipinya membuat wajah Danu terasa kebas. Benar-benar sakit sampai Danu kesulitan menggerakkan wajahnya. Ansel sedikit menjauh dari Danu. Ia memandang pamannya itu dengan tatapan menghina. Harga diri Danu benar-benar hancur. Ia merasa tidak terima karena diperlakukan seperti ini oleh Ansel, keponakan yang sudah dia hancurkan sedemikian rupa dulunya. Danu merebut perusahaannya, dia pisahkan Ansel dengan orangtuanya, dan dia hina keponakannya itu seperti seekor anjing. Dan kini anjing tersebut telah menggigit kakinya. "Kenapa kamu bisa percaya diri seperti ini? Aku pasti akan keluar dari penjara. Aku akan mendapatkan pengacara dan keluar dari tempat ini. Ku hancurkan kamu saat keluar dari sini!" Danu bicara dengan susah payah. Tulang rahangnya terasa sakit saat digerakkan. Mendengar kata-kata Danu, Ansel menyeringai. Posisi Danu jadi semakin hina di matanya. Ansel mendekat lagi, dan tubuh Danu bergetar hebat. Ia merasa takut, kalau Ansel a
"Maaf, tapi saya yang memesan kue ini terlebih dahulu!" Ansel menegur wanita itu karena sudah menyerobot.Wanita yang memakai gaun bermodel V neck berwarna merah itu menoleh ke arah Ansel dengan pandangan sinis. Tas mahal yang terpajang di lengannya membuat orang mengetahui kalau dia adalah wanita kaya.Melihat penampilan Ansel yang biasa-biasa saja, wanita itu lalu tertawa. Pandangannya sangat merendahkan. Sekali lihat saja, dia menilai Ansel sebagai laki-laki miskin."Kamu yakin ingin kue ini? Apa kamu tidak tahu diri?" Wanita itu berkata dengan suara keras, hingga orang-orang yang berada di sana menoleh ke arah mereka. Memang perbandingan penampilan Ansel dan wanita itu terlihat sangat jauh, sehingga orang-orang mulai membicarakannya."Apa yang dia lakukan? Kenapa berdebat dengan seorang wanita?""Apa dia tidak sadar, dirinya sedang ada di mana?""Jika dibandingkan dengan wanita itu, dia seperti gembel!"Ansel mendengar suara bisik-bisik yang penuh cemoohan itu. Telinganya agak p
"Sekarang, cepat pergi dari sini, atau kamu terima akibatnya?!" Laki-laki itu mengancam dengan mata melotot, berniat untuk mengintimidasi. Tapi bahkan seujung kuku pun Ansel tak merasa gentar. Ansel malah menyeringai dan berjalan maju. "Akibat apa yang akan aku terima?" Ansel bertanya dengan nada menantang, memandang remeh dengan sentuhan arogansi. Sungguh, auranya tak bisa dibandingkan dengan pria tadi. Sangat jauh berbeda. Si pelayan merasa gentar, ia takut masalah ini akan semakin besar, tapi bingung juga bagaimana harus menyelesaikannya. "T-tuan ... kue ini sudah dipesan terlebih dahulu oleh Mas ini, tolong jangan mempersulit keadaan saya," pelayan berkata dengan kepala tertunduk, sungguh takut jika masalahnya jadi lebih runyam daripada ini. "Sayang ... aku ingin kue itu! Aku sudah pamer sama teman-teman arisan, mau membawakan kue ini untuk di makan sama-sama nanti. Aku bisa malu kalau tidak bisa mendapatnya!" Wanita bergaun merah itu merengek dengan nada menjijikkan. Ansel
Ansel berjalan masuk ke dalam rumah dengan membawa sekotak kue yang dia dapatkan dengan penuh drama. Ia langsung berjalan menuju kamar, karena sekarang Mona pasti ada di sana. Ansel membuka pintu dan melihat istrinya itu sedang duduk di atas ranjang sembari membolak-balikkan helaian kertas. Hingga ketika Ansel masuk, Mona menjeda kegiatannya itu. "Kamu baru pulang?" Ansel meletakkan kotak kue itu di atas meja dan berjalan menghampiri istrinya. Setelah itu dia mencium singkat kening Mona, membuat wanita itu tertegun. Setelahnya, Mona langsung mengalihkan pandangan dan tak menatap Ansel sedikitpun. Dia masih belum terbiasa dengan situasi sekarang ini. Dulu, selama empat tahun, Mona dan Ansel bahkan tak bertukar kabar lewat telepon. Sedangkan sekarang? "Kamu menungguku?" Ansel memegang pipi istrinya, dan membawa Mona menatap wajahnya. Pipi putih itu bersemu merah. Mendengar pertanyaan Ansel, Mona menjadi salah tingkah dan langsung mengambil dokumen yang dia letakkan tadi. "Tidak,
Semua orang menatap pada kedua pasangan yang baru tiba itu. Ada yang melihat dengan pandangan aneh, cemooh, dan kasihan. Ansel tetap diam di kursinya, melihat bagaimana kedua orang itu sangat terkejut ketika melihatnya. Ia menikmati setiap detik perubahan emosi dari keduanya. Kondisi ini benar-benar berbeda dengan keangkuhan mereka tadi malam. "A-anda ...." Laki-laki yang merupakan seorang manager itu menunjuk Ansel dengan penuh kebingungan. Tanpa disadarinya, kakinya gemetar hebat dengan keringat yang mengalir deras di pelipisnya. "Senang bertemu kalian lagi," ujar Ansel, seolah memberikan gambaran pada kedua orang itu kalau sebelumnya dia memang pernah bertemu dengan mereka. Langsung saja laki-laki itu tersungkur jatuh, kakinya terasa lemas dan tak kuat untuk menopang dirinya sendiri. "A-apa ini?" Laki-laki itu menutup mulutnya yang sedari tadi menganga. Dia benar-benar terkejut saat mengetahui fakta itu. Teringat akan hinaan yang dia lontarkan pada Ansel malam tadi, membua
Ansel pulang ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Dia kira sebelumnya, musuh dia dan istrinya adalah keluarga Hartono. Nyatanya, keluarga Hartono masih tidak ada apa-apa dibandingkan orang itu. "Anda baik-baik saja, Bos?" Richard bertanya saat mereka sedang duduk di sofa. Ansel sibuk memperhatikan ponselnya sedari tadi. "Ya ... aku baik-baik saja. Hanya merasa sedikit terkejut!" Ansel mematikan layar ponselnya dan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa. Richard diam memperhatikan. Tak ada yang bicara selama beberapa menit hingga suara deringan ponsel milik Richard memecah keheningan. Dengan sigap Richard menjawab panggilan telepon itu. Dia bicara beberapa patah kata hingga kemudian nada bicaranya mulai serius. "Kau yakin? Kalau begitu bawa kemari dengan sangat hati-hati! Aku akan mengatakannya pada jenderal!" Ansel mendongak ketika namanya di sebut. Dia diam menunggu Richard selesai bicara. "Ada apa?" "Orang-orang kita berhasil menemukan satu buah Lentera Lembah
Ansel membawa Mona ke kamar setelah pamit pada Lidia. Dia menuntun istrinya tersebut dengan hati-hati. "Kamu yakin baik-baik saja?" Ansel duduk di samping Mona. Dia mengusap pelan punggung istrinya itu. Sepertinya, Mona sedang banyak pikiran. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan, karena harus mengurus perusahaan besar yang baru keluar dari kekacauan." Mona mengusap keningnya, dia benar-benar terkuras habis. Baik itu tenaga ataupun pikiran. Ansel diam berpikir mendengar kata-kata istrinya. "Apa sebaiknya kita pergi liburan?" Ansel bertanya setelah menimbang beberapa hal. Mona terdiam, kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Aku baru saja menjabat di Hartono Group, mana mungkin langsung ambil cuti." Mona menghela napas lelah. Dia sebenarnya agak tertarik saat mendengar perkataan Ansel. Liburan sepertinya tidak buruk juga. Ansel tersenyum kemudian mengangguk. "Sebaiknya kamu mandi dulu, supaya bisa istirahat. Aku akan membuatkan makan malam yang enak untukmu," uj
Hari-hari Ansel berjalan dengan sangat baik beberapa waktu terakhir. Dia terus memantau pergerakan Danu dan juga Adrian. Keluarga mereka mengupayakan yang terbaik agar keduanya bisa dibebaskan. Tapi sayangnya tak ada seorangpun pengacara yang mau mengurus kasus ini. Orang-orang itu tidak mau mengambil resiko apapun. Menjadi musuh masyarakat saja sudah sulit, apalagi menjadi lawan seseorang yang sangat berpengaruh di dunia. Mendengar namanya saja, mereka sudah gemetar parah hingga mengalami halusinasi saat memikirkannya. Ansel juga sudah berhasil mengakuisisi Sadewa Group. Dia melakukannya dengan sangat mudah. Tak terlalu menghabiskan uang, tapi cukup banyak jika angka nolnya dijabarkan. Lagipula, di penjara Danu dan Adrian juga sudah diurus oleh anak buah Ansel. Mereka tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak selama di dalam sana. Memikirkan tentang bahaya yang mengintai bahkan saat mereka sudah di dalam penjara, membuat mereka tak akan bisa memejamkan mata walau sekejap saja.