Ansel menatap dalam ke arah Mona yang tertidur berbantalkan lengannya. Bulir keringat itu sudah tak nampak lagi, tapi tetap saja Ansel seperti masih merasakan hangatnya. Dengan gerakan yang sangat pelan, Ansel perlahan memindahkan kepala Mona ke bantal. Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi dengan membawa ponselnya.Ansel mengetikkan beberapa deretan huruf dan mengirimkannya pada Richard. Setelah membersihkan diri sejenak, Ansel kembali ke ranjang dan membawa Mona kembali ke dalam pelukannya.Keesokan harinya, cahaya matahari yang perlahan mulai masuk melalui celah jendela kaca kamar Ansel dan Mona membuat kedua kelopak mata cantik milik wanita yang diperistri oleh Sang Dewa Perang itu terbuka. Pipi Mona langsung bersemu merah saat di hadapannya kini terpampang jelas wajah tampan suaminya. Jantungnya semakin berdebar kencang saat mengingat kejadian semalam."Bagaimana? Apa kamu masih belum puas?" suara Ansel yang terdengar serak membuat Mona terkejut. Dengan gerakan spont
Tubuh Hendrik gemetar parah. Bukan karena ancaman Ansel, tapi karena kejahatannya diketahui oleh Ansel."D-darimana kamu t-tahu?" Hendrik terbata-bata, dia melirik ke arah Lidia dan Mona yang sepertinya tidak mendengar pembicaraan mereka.Ansel tertawa, ia memperkuat cekikannya pada Hendrik, membuat pria paruh baya itu semakin kesulitan bernapas. Saat Hendrik sudah hampir pingsan, Ansel melepaskan cekikannya.Hendrik mengambil napas dengan rakus, ia menghirup udara seperti akan menghabiskan untuk dirinya sendiri."Bagaimana rasanya berada diantara hidup dan mati?" Ansel bertanya dengan sorot mata tajam. Jika saja dirinya kini berada di medan perang, mungkin saat ini Hendrik hanya tinggal mayatnya saja.Hendrik tak dapat berkata-kata. Ia benar-benar ketakutan. Bahkan dia seperti ingin buang air kecil di celananya.Ansel menarik tubuh Hendrik dengan kasar, lalu membawanya ke depan Mona dan Lidia."Ka-kalian! B-bantu aku dari dia!" Lidia menatap takut ke arah Ansel, lalu beralih ke arah
"Sekali lagi, saya minta maaf karena membuat Anda semua menunggu." Mona duduk di kursi dengan perasaan tidak enak. Dia tak menyangka, kalau orang-orang di Candarana akan datang secepat ini."Santai saja. Kami semua juga baru datang," balas salah seorang yang hadir di sana.Mereka mulai berbincang-bincang mengenai proyek yang sudah mulai berjalan. Dan saat sudah mulai membicarakannya, barulah Mona merasa aman, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau Candarana Group akan membatalkan kerja sama mereka karena kasus Rio."Oh, ya, Bu Mona. Sebenarnya, kami memiliki sebuah hal penting lainnya yang ingin disampaikan kepada Anda." Jantung Mona berdebar keras saat kata-kata itu terdengar. Ia mulai berpikir jauh. Apakah Candarana benar-benar akan menarik lagi proyek yang sedang dikerjakannya? Kalau benar, dapat dipastikan Mona akan tidur di jalanan karena harus menanggung kerugian yang tak sedikit."Silakan saja, Pak. Ada sesuatu apa?" tanya Mona gugup."Mengenai Hartono Group ...." Jant
Ansel membawa Mona kedalam pelukannya. Dada Mona terasa sesak karena menahan rasa sakit. Mona benar-benar tidak pernah menyangka, kalau orang yang selama ini dia anggap sebagai paman, ternyata adalah orang yang mencelakai Dante, Papa Mona. "Aku ... dadaku sakit! Benar-benar sakit!" Mona terisak dengan napas terputus-putus. Ia benar-benar merasa sangat hancur sekarang. Benar-benar sangat menyakitkan mengetahui kebenaran ini. Ansel merasakan hatinya berdenyut sakit saat mendengar isakan tangis istrinya. Dia bisa merasakan, apa yang Mona rasakan. Karena dia juga pernah mengalaminya sendiri. Dan karena rasa sakit itulah, dia berada dititik ini sekarang. "Lepaskan saja semuanya. Ada aku disini! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Ansel menepuk pelan punggung Mona. Dia seperti sedang memberikan kekuatan untuk istrinya. Setelah menumpahkan sebagian rasa sakitnya, Mona kemudian mengangkat kepalanya. Dia melihat sekali lagi fakta menyakitkan yang diperlihatkan oleh Ansel padanya. "Ak
Saat sedang membaca tagline berita, ponsel Ansel berdering. Dan itu adalah panggilan dari Richard. "Ada apa?" Ansel bertanya langsung saat menjawab telepon. "Kami sudah mengawasi rumah Danu sesuai perintah Anda, Jenderal. Tapi sepertinya saat ini mereka ingin kabur ke luar negeri!" jelas Richard. Mendengar perkataan bawahannya itu, Ansel tertawa. "Mau kabur? Heh!" Ansel tersenyum meremehkan. "Blokir semua akses mereka, jangan biarkan mereka keluar dari gerbang rumah. Mereka harus tahu diri dengan status yang mereka punya sekarang!" Manik mata Ansel menatap tajam lurus ke depan. Ia tersenyum dengan mengerikan. Mau kabur? Tak akan bisa! Tidak ada yg bisa lolos saat berada dalam genggamannya. "Siap! Sesuai perintah Anda, Jenderal!" Setelahnya panggilan telepon terputus. Dan Ansel berjalan keluar menyusul Mona. "Ada apa?" Ansel bertanya, seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Kemudian dia mendekat ke arah Mona yang menatapnya heran. "Dia pamanmu, kan?" Mona menunjuk ke arah
Ansel berjalan keluar menyusul Mona. Ia melihat istrinya itu sudah berada di luar kantor polisi. Dengan langkah lebar, ia semakin mempercepat langkahnya. "Sudah merasa jauh lebih baik?" Ansel bertanya saat sudah berada di depan istrinya. Mona mengangguk dan tersenyum. "Aku bahagia, karena dia sudah ada di penjara," ujar Mona, senyumannya lega dan tampak puas. Walaupun masih tampak sisa-sisa kesedihan di sana. Ansel diam mendengarkan lalu melangkahkan kaki pergi dari kantor polisi tersebut menuju mobil dengan menggenggam tangan istrinya. "Menurut kamu, kenapa Om Hendrik melakukan itu? Apa ada sesuatu yang tidak kita tahu tentang keluarga ini?" Mona bertanya, memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil. Kening Mona berkerut dalam. Mengingat perlakuan seluruh keluarganya, Mona yakin kalau ada sesuatu yang salah dalam keluarga Hartono selama ini. Kenapa hanya kepada Dante saja mereka bersikap seperti itu? "Kita akan mencari tahu itu nanti!" Ansel tak mengatakan kalau sebenarn
Lama Ansel termenung melihat gundukan tanah tempat ibunya dimakamkan. Dia membayangkan masa-masa saat mereka masih bersama. Kenangan-kenangan itu membuat Ansel merasa sedikit emosional. Setelah selesai menaburkan bunga, Ansel kemudian berdiri dan berjalan pergi. Ia menghampiri Tuan Salim yang sudah menunggunya di dalam mobil. "Sudah merasa lebih baik?" Tuan Salim bertanya. Ansel duduk di sampingnya, dan menerima sebuah iPad yang disodorkan oleh tuan Salim. Mata Ansel menyipit saat membaca berita itu, kemudian dia tertawa. "Mencoba membela diri?" Dalam berita itu tertulis kalau Danu membantah semua tuduhan yang mengarah padanya saat turun dari mobil KPK yang menjemputnya. "Kamu menyiapkan bukti yang sangat memberatkannya. Dia tidak akan bisa lolos." Tuan Salim menerima kembali iPad yang diserahkan oleh Ansel padanya. "Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkannya. Jadi ... dia harus hancur dalam serangan kali ini." Meskipun sudah berkecimpung sangat lama di dunia
Mila berteriak-teriak seperti orang gila. Dia mencoba untuk memberontak, tapi usahanya gagal sebab Ansel menahan lengannya dengan kuat. "Simpan tenagamu untuk pulang ke rumah!" tegas Ansel dengan nada yang tak bisa dibantah. Setelah mengatakan itu, Ansel menutup hidungnya, dan memandang Mila dengan jijik. "Bau pesingmu membuatku ingin muntah!" Mila semakin marah mendengar kata-kata Ansel, harga dirinya habis tak bersisa. Ia melihat kembali celananya yang basah karena air kencingnya. Mila tak menyangka, dia bisa setakut itu sampai pipis di celana. Padahal dulu dia termasuk orang yang suka sekali mengolok-olok Ansel. Mila tak kuasa menahan malu karena kejadian ini. Lalu ia mencoba untuk melepaskan cengkraman Ansel dari lengannya. Melihat Mila yang tampak kesulitan, Mona lalu memegang lengan Ansel dan menatap suaminya. Ansel yang paham langsung melepaskan Mila. Pergelangan tangan Mila terasa sakit dan memerah. Kekuatan Ansel tak main-main. Suaminya saja bisa tumbang, apalagi Mil
Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa
Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar
Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon
Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat
Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A
Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d
Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,