Ansel bergegas pergi dari gedung Candarana Group. Dia baru saja mendapat kabar dari Mona, kalau istrinya itu sedang berada di rumah sakit, karena Rio sudah mulai sadar dan mengamuk.Rio mengamuk karena merasa sangat marah sebab tidak berhasil membawa Ansel ke penjara. Sebelumnya, dia sudah merencanakan semuanya dengan sangat baik. Bahkan dia juga sudah membayar polisi itu untuk menangkap Ansel.Tapi, bukannya melakukan apa yang sudah direncanakan sebelumnya, polisi tersebut malah diam tak bergerak sedikitpun. Dan itu semua terjadi bukan tanpa sebab. Selain karena ketakutan saat merasakan aura Ansel, ketika Ansel sedang dalam perjalanan menuju kantor Mona, dia sudah menghubungi seseorang terlebih dahulu. Dan untuk menekan kepala polisi, bukanlah sesuatu yang sulit bagi Ansel. Dia bisa melakukannya hanya dengan menjentikkan jarinya. Ansel adalah seorang Dewa Perang. Ada banyak orang yang berada dibawah kendalinya.Ansel memacu mobil jelek yang dipinjamkan Mona untuknya dengan sanga
Ansel dan juga Mona hanya diam saat melihat Hendrik yang tampak sangat kacau. Berteriak-teriak seperti orang gila saat menerima telepon. Tanpa menghiraukan Ansel dan Mona, Hendrik masuk ke dalam ruang rawat Rio yang juga dihuni oleh kakek. Ia hanya sebentar di dalam dan sudah keluar dengan setelan jasnya. Mona terduduk diam setelah kepergian Hendrik. Ansel yang melihatnya ikut duduk di samping sang istri. "Kamu baik-baik saja?" Mona menggeleng pelan saat mendengar pertanyaan Ansel, dan ia pun mulai menangis. Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. "Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Aku sudah dengar dari Defi, kalau harga saham Hartono Group anjlok parah saat ini. Dan itu artinya Shycon sedang dalam masalah besar!" Ansel diam mendengarkan. Dia membiarkan Mona mengeluarkan semua yang ada dipikirannya, agar merasa sedikit lebih tenang. "Aku tidak tahu, kenapa Rio bisa semenjijikkan itu! Melakukan hal 'itu' dengan sesama jenis, dan malah merekam perbuat
Melihat situasi yang tidak baik, Mona kemudian mendekati Ansel dan memegang lengannya. "Sudah, ayo kita pulang saja!" Mona kemudian beralih ke arah Lidia. "Mama mau pulang bersama kami?" tanyanya. Mona tak nyaman berada di situasi sekarang. Lidia diam, sembari berpikir. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. Tak baik bagi kesehatan jiwa dan pikirannya jika dia berlama-lama di rumah sakit. Apalagi saat ini semua anggota keluarga Hartono sedang sibuk menyelesaikan masalah. Hanya Lidia yang duduk diam sembari terus menjadi sasaran kemarahan orang-orang. "Baiklah, kami tunggu diluar." Mona dan Ansel berjalan keluar, meninggalkan Lidia mengemasi barang-barangnya. Tidak lama setelah itu, Lidia menyusul Ansel dan juga Mona. Raut wajahnya tampak lebih buruk daripada tadi. Mungkin saja ada suatu hal buruk yang diucapkan oleh Mila padanya. Ketika berjalan di koridor rumah sakit, Lidia tak henti-henti menggerutu. "Sudah seperti itu, masih saja menyalahkan anakku!" ujarnya bersun
Felly diam mendengar perkataan Ansel. Dia memang tidak pernah lagi mendengar kabar Jelita semenjak hari itu. Apakah sesuatu terjadi tanpa sepengetahuannya? Saat Felly diam memikirkan ucapannya, Ansel kemudian melangkah cepat menjauh dari sana. Tapi suara teriakan Felly menghentikan langkah Ansel. "Tolong! Tolong, ada pencuri masuk kesini!" Felly berteriak dengan suara yang sangat nyaring, hingga beberapa orang bergegas mendekatinya. "Mana malingnya? Mana?" Dua penjaga keamanan datang dengan tergesa-gesa. Mereka marah dan juga takut. Kalau benar-benar ada maling, habislah mereka! "Itu! Itu dia malingnya! Cepat tangkap dia!" Felly menunjuk ke arah Ansel. Dan langsung saja orang-orang mengikuti arah tunjuknya. Mata Ansel menyipit tajam saat melihat kelakuan Felly. Dia tidak menyangka, kalau Felly bisa melakukan ini hanya karena tidak menyukainya. "Kamu? Kamu malingnya? Dasar tidak tahu malu, beraninya kamu mencuri di sini?" Kedua penjaga keamanan itu mendekati Ansel. Mereka hendak
"Kamu akan menyesal melakukan ini!" Ansel berucap tenang. Dia tak terprovokasi sedikitpun saat mendengar ejekan orang-orang itu. Melihat sikap Ansel yang sangat tenang, Felly mulai merasa tidak enak. Terlebih ketika dia melihat bagaimana kuatnya Ansel, membuat Felly jadi berpikir, 'apakah Ansel benar-benar hanya seorang tentara biasa?' Felly menggigit bibir bawahnya. Rasa penyesalan itu mulai datang. Bagaimana kalau nanti situasinya jadi tidak menguntungkan baginya? Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara deru mesin mobil berhenti tepat di depan toko. Dan seorang pria paruh baya turun dari mobil dengan merek BMW tersebut. Rendi dengan langkah ringan langsung berjalan membukakan pintu. Ia menyambut kedatangan bosnya dengan rasa percaya diri yang tinggi. "Mana? Mana dia, orang yang berniat mencuri obat-obatan mahal milikku itu?" Pria paruh baya itu berkata dengan arogan. Dia melangkah cepat, bersiap-siap untuk memberikan pelajaran.
Ansel berjalan keluar dari ruangan Robin. Dia menuruni anak tangga dengan perlahan. Ternyata, Felly dan Rendi masih ada di sana. Mereka menunggu kedatangan Robin dan Ansel."Masih belum pergi? Kalian berdua mau diseret dari sini?" Robin menatap keduanya dengan nyalang. Amarahnya sudah tertahan dari tadi. Beraninya dua orang hina itu merendahkan Jenderal yg di agungkannya. Robin akan memberikan mereka hukuman yang pantas."Ma-maaf boss ...." Felly segera berlutut saat melihat Robin. Ia tak segan-segan bergelayut di kaki Robin, membuat pria tua itu jadi semakin marah. "Saya benar-benar minta maaf, Bos. Saya tidak tahu, kalau dia adalah teman Bos. Kalau tahu, saya tidak akan berbuat seperti itu ...." Felly terisak dengan air mata yang menggenang. Dia juga menghirup ingusnya dengan kasar. Tingkahnya membuat Ansel dan juga Robin jijik."Sialan! Lepaskan! Beraninya kamu menyentuhku! Mau mati, ya?" Robin menendang Felly tanpa belas kasihan. Membuat wanita itu terpelanting jatuh. Robin tak
"Baik Jenderal! Saya akan langsung mengurus ini!" Richard mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Setelah beberapa saat Richard selesai menelepon."Saya sudah memberi informasinya pada pihak pers. Dan setelah ini saya akan langsung mengirim file kasus ini pada mereka," jelas Richard.Ansel mengangguk mengerti. Jika menunggu Danu dan Adrian masuk perangkap dengan proyek yang dirancang Ansel sebelumnya, maka akan membutuhkan waktu lama. Jadi, baiknya dipercepat dengan kasus besar ini saja."Ayo!" Ansel masuk ke dalam mobil diikuti oleh Richard. Dua jenis mobil yang berbeda itu mulai berjalan meninggalkan area apartemen mewah milik Ansel. Perjalanan kali ini tak terasa lama. Ansel dan Richard tiba di rumah Mona. Setelah selesai memarkirkan mobil, Richard memilih langsung pergi dari sana."Kamu berteman baik dengannya?" Mona tiba-tiba muncul di belakang Ansel."Ya ... kawan seperjuangan di camp tentara," jawab Ansel singkat. "Kamu sedang apa diluar malam-malam begini? Ayo
Ansel menatap dalam ke arah Mona yang tertidur berbantalkan lengannya. Bulir keringat itu sudah tak nampak lagi, tapi tetap saja Ansel seperti masih merasakan hangatnya. Dengan gerakan yang sangat pelan, Ansel perlahan memindahkan kepala Mona ke bantal. Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi dengan membawa ponselnya.Ansel mengetikkan beberapa deretan huruf dan mengirimkannya pada Richard. Setelah membersihkan diri sejenak, Ansel kembali ke ranjang dan membawa Mona kembali ke dalam pelukannya.Keesokan harinya, cahaya matahari yang perlahan mulai masuk melalui celah jendela kaca kamar Ansel dan Mona membuat kedua kelopak mata cantik milik wanita yang diperistri oleh Sang Dewa Perang itu terbuka. Pipi Mona langsung bersemu merah saat di hadapannya kini terpampang jelas wajah tampan suaminya. Jantungnya semakin berdebar kencang saat mengingat kejadian semalam."Bagaimana? Apa kamu masih belum puas?" suara Ansel yang terdengar serak membuat Mona terkejut. Dengan gerakan spont
Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa
Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar
Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon
Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat
Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A
Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d
Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,