Lidia terdiam mendengar teriakan Mona. Kilasan ingatan perlakuan buruk keluarga Hartono pada dirinya dan Mona terbayang olehnya. Tak pernah sekalipun Kakek menganggap mereka. Selalu bersikap pilih kasih. Dan itu semakin menjadi-jadi setelah Dante, suami Lidia, membawa Ansel ke rumah mereka sebagai menantu. Ketika teringat semua kerumitan yang semakin membesar setelah kedatangan Ansel, amarah Lidia membeludak. Lidia menatap tajam ke arah Ansel. Tangannya gatal ingin melayangkan pukulan. Namun, ketika teringat perlawanan Ansel terhadap Kakek, Lidia sedikit gemetar. "Dasar pembawa sial! Menantu gak guna! Kenapa suamiku harus membawa kamu ke sini! Kenapa dia membawa kutukan ke rumah ini!" Lidia berteriak. Suaranya memenuhi ruangan dengan kebencian yang tak terbendung. Emosi Lidia meledak-ledak. Dan baginya, Ansel adalah sasaran empuk untuk melepaskan semua emosinya. "Mama, jangan terlalu emosi. Hati-hati dengan jantungmu!" balas Ansel dengan nada sedikit khawatir. "Sialan!
Ansel bergerak cepat setelah mendengar laporan dari bibi pelayan di rumah peninggalan Dante. Tatapan matanya tajam, penuh kewaspadaan dan tekad. Ia penasaran dengan berita tentang Riko yang mengamuk di depan rumah. Saat baru sampai di depan, Ansel mendengar langkah kaki mendekat. Ia berbalik dengan sigap dan melihat Mona yang datang setelah mendapat laporan serupa dari bibi pelayan. Tatapan Mona cemas, namun ada kelegaan melihat Ansel di sana. "Ada apa? Kenapa Riko mengamuk?" tanya Mona heran, matanya mencari jawaban dalam tatapan Ansel. Ansel hanya menggeleng, meskipun dia tahu penyebab sebenarnya. Ia memilih untuk melindungi Mona dari kenyataan yang mungkin terlalu berat. "Mona?!" Mona terkejut melihat penampilan Riko yang kacau. Jasnya berantakan dan kotor, rambutnya tampak lebih panjang dan tidak terawat, dengan jambang yang lebat. Kehancuran Riko begitu kontras dengan keanggunan Mona. "Mona?" Riko melihat Mona datang. Tapi ketika ia melihat Ansel juga di sana, amarah Ri
"Ka—kamu? Kamu seorang iblis!!" Riko berteriak dengan suara parau dan penuh kebencian. Ansel hanya diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menghantam lutut Riko, membuat pria itu jatuh tersungkur di tanah. Riko mengerang kesakitan, tetapi amarahnya belum padam. Ia meraih pecahan kaca yang dibalut tisu di dalam sakunya, lalu dengan putus asa mencoba menyerang lagi. Ansel bergerak cepat, namun tidak cukup cepat untuk menghindari seluruh serangan. Pecahan kaca itu menorehkan luka panjang di lengannya, dan darah segera mengucur deras. Meski terluka, Ansel tidak mundur. Sebaliknya, ia semakin mendekati Riko dengan tatapan penuh determinasi. "Kau sudah cukup membuat kekacauan," desis Ansel dengan suara rendah namun penuh ancaman. Ia meraih Riko dengan tangan yang tidak terluka dan menyeretnya ke arah pintu gerbang. Di luar, suara sirene polisi semakin mendekat, dihubungi oleh Mona. Beberapa tetangga yang penasaran mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu. Mona, yang sejak tadi terpaku, a
Saat menunggu antrian pengambilan obat, Ansel menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Foto yang baru saja diterimanya memancing berbagai emosi. Senyum sumringah dari wajah-wajah yang terpampang di foto itu menghancurkan ketenangan Ansel.Dengan kekuatan yang tersisa, Ansel mencengkram erat ponselnya, menyalurkan emosinya yang tiba-tiba memuncak. "Sialan!" desis Ansel dengan suara parau.Foto tersebut memperlihatkan kedatangan paman dan sepupunya di bandara. Mereka tampak sangat bahagia, mungkin baru saja mendapatkan proyek besar.Hati Ansel berdenyut sakit melihat orang-orang yang berperan penting dalam menghancurkannya hidup dengan bahagia, tertawa di atas penderitaannya, dan bergelimang harta dari jerih payah ayahnya. Jantung Ansel berdebar kencang, merasakan dendam yang membara. Kobaran dendam itu semakin membesar, meluluhlantakkan pertahanan Ansel.Akhirnya, ponsel yang semula tampak kokoh, kini hancur di tangannya. Layar yang tadinya menyala kini menjadi redup."Akhhh!!" S
Di Bandara Internasional Kota A, sebuah pesawat milik kemiliteran yang di jaga oleh pesawat tempur baru saja mendarat. Bandara sudah ditutup sejak pagi untuk menyambut kedatangan orang super penting yang ada di pesawat tersebut. Di pintu masuk, ada banyak pria dengan tubuh tegap dan jas yang rapi sesekali mengecek jam di pergelangan tangan mereka. Setelah sekian lama, orang yang mereka tunggu-tunggu itu muncul. “Jenderal!!” Mereka semua yang ada di sana memberikan hormat pada sosok Jenderal tersebut, seorang pria yang usianya masih terbilang muda. Dialah Ansel. Ansel yang kini tampak gagah dan memesona, sangat berbeda dengan keadaannya yang nahas lima tahun lalu. Dulu, Ansel hanyalah seorang pecundang yang dihina dan juga diolok-olok oleh seluruh orang di Ibu Kota. Itu semua karena status sosial Ansel yang langsung merosot jatuh setelah ayahnya meninggal sebab terkena serangan jantung. Perusahaan milik ayah Ansel mengalami kebangkrutan karena ada sabotase dari pamannya sendir
“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam. Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. “Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan. Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu ba
BUK! Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar. “ANSEL!!” Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini. Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk. Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya. Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. A
qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?" Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer. “Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna. “Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua. Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. “Seseorang akan data