Ansel bergerak cepat setelah mendengar laporan dari bibi pelayan di rumah peninggalan Dante. Tatapan matanya tajam, penuh kewaspadaan dan tekad. Ia penasaran dengan berita tentang Riko yang mengamuk di depan rumah. Saat baru sampai di depan, Ansel mendengar langkah kaki mendekat. Ia berbalik dengan sigap dan melihat Mona yang datang setelah mendapat laporan serupa dari bibi pelayan. Tatapan Mona cemas, namun ada kelegaan melihat Ansel di sana. "Ada apa? Kenapa Riko mengamuk?" tanya Mona heran, matanya mencari jawaban dalam tatapan Ansel. Ansel hanya menggeleng, meskipun dia tahu penyebab sebenarnya. Ia memilih untuk melindungi Mona dari kenyataan yang mungkin terlalu berat. "Mona?!" Mona terkejut melihat penampilan Riko yang kacau. Jasnya berantakan dan kotor, rambutnya tampak lebih panjang dan tidak terawat, dengan jambang yang lebat. Kehancuran Riko begitu kontras dengan keanggunan Mona. "Mona?" Riko melihat Mona datang. Tapi ketika ia melihat Ansel juga di sana, amarah Ri
"Ka—kamu? Kamu seorang iblis!!" Riko berteriak dengan suara parau dan penuh kebencian. Ansel hanya diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menghantam lutut Riko, membuat pria itu jatuh tersungkur di tanah. Riko mengerang kesakitan, tetapi amarahnya belum padam. Ia meraih pecahan kaca yang dibalut tisu di dalam sakunya, lalu dengan putus asa mencoba menyerang lagi. Ansel bergerak cepat, namun tidak cukup cepat untuk menghindari seluruh serangan. Pecahan kaca itu menorehkan luka panjang di lengannya, dan darah segera mengucur deras. Meski terluka, Ansel tidak mundur. Sebaliknya, ia semakin mendekati Riko dengan tatapan penuh determinasi. "Kau sudah cukup membuat kekacauan," desis Ansel dengan suara rendah namun penuh ancaman. Ia meraih Riko dengan tangan yang tidak terluka dan menyeretnya ke arah pintu gerbang. Di luar, suara sirene polisi semakin mendekat, dihubungi oleh Mona. Beberapa tetangga yang penasaran mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu. Mona, yang sejak tadi terpaku, a
Saat menunggu antrian pengambilan obat, Ansel menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Foto yang baru saja diterimanya memancing berbagai emosi. Senyum sumringah dari wajah-wajah yang terpampang di foto itu menghancurkan ketenangan Ansel.Dengan kekuatan yang tersisa, Ansel mencengkram erat ponselnya, menyalurkan emosinya yang tiba-tiba memuncak. "Sialan!" desis Ansel dengan suara parau.Foto tersebut memperlihatkan kedatangan paman dan sepupunya di bandara. Mereka tampak sangat bahagia, mungkin baru saja mendapatkan proyek besar.Hati Ansel berdenyut sakit melihat orang-orang yang berperan penting dalam menghancurkannya hidup dengan bahagia, tertawa di atas penderitaannya, dan bergelimang harta dari jerih payah ayahnya. Jantung Ansel berdebar kencang, merasakan dendam yang membara. Kobaran dendam itu semakin membesar, meluluhlantakkan pertahanan Ansel.Akhirnya, ponsel yang semula tampak kokoh, kini hancur di tangannya. Layar yang tadinya menyala kini menjadi redup."Akhhh!!" S
Ansel sedang menikmati makanannya saat seorang pria dengan setelan jas rapi berjalan mendekat ke arah mejanya. Pria itu berdiri tegak di samping Ansel. "Boss ...." "Bagaimana?" Ansel bertanya tanpa menoleh ke arah pria tersebut. Ia tetap fokus pada makanannya. Segera pria itu mendekat dan berbisik di telinga Ansel. Mendengar laporan dari Richard, Ansel langsung menaikkan alisnya tinggi. Ia kemudian langsung berdiri dari kursi. Raut wajahnya berubah tegang dan penuh amarah. Tulang Richard serasa bergetar saat melihat kemarahan bossnya. Orang yang paling Richard takutkan adalah Ansel. Ia rela menjadi apapun sesuai keinginan bossnya tersebut. Bahkan, jika Ansel ingin nyawanya, Richard rela memberikannya. Itu semua karena hutang budi yang Richard bawa seumur hidupnya pada Ansel. "Kita ke perusahaan Mona sekarang!" tegas Ansel dengan mata berkabut dan penuh amarah. Langkah Ansel yang tegas, dan auranya yang dominan, membuat siapa saja yang berada didekatnya la
"Kamu benar-benar sudah menyinggung batas kesabaranku!"Rio menjerit kesakitan. Tak tahan dengan rasa sakit yang bertubi-tubi menyiksanya. Hingga kemudian, suara sirine mobil polisi terdengar memekakkan telinga.Beberapa pria berseragam keluar dari mobil patroli itu, dengan senjata api yang siap ditembakkan kapan saja. Ansel menatap tajam seluruh polisi itu, tatapannya membuat mereka langsung berdiri gemetar, serasa tulang kering langsung luruh.Ansel semakin menyipitkan matanya ketika melihat seseorang keluar dari kelompok polisi itu."Kakek?" Mona menatap takut pada kakeknya yang datang dengan sorot mata tajam.Lalu pandangan pria tua itu langsung beralih pada Rio yang sudah tergeletak tak berdaya. Kini pria malang itu sudah memejamkan matanya, pingsan."Beraninya kamu, tentara sialan, menyakiti cucuku!" Kakek berteriak dengan suara nyaring. Ia berjalan cepat, dan melayangkan tongkat yang dibawanya ke arah Ansel.Tapi, Ansel bukanlah pria lemah. Ia tak takut dengan apapun, bahkan de
"Kurang ajar! Beraninya kamu mengancamku!" Hendrik berteriak, suaranya menggelegar penuh kemarahan.Ansel tersenyum remeh. Dia sudah mencari tahu tentang kejadian empat tahun lalu, dan dia menemukan satu fakta mengejutkan."Benar-benar bukan manusia!" Ansel meludah jijik melihat Hendrik. Dia dan Mona benar-benar tidak beruntung memiliki paman seperti jelmaan iblis.Emosi Hendrik semakin memuncak saat melihat Ansel meludah. "Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian benar-benar polisi? Kenapa kalian tidak berani bergerak menangkapnya?" Hendrik berteriak menggebu-gebu. Suaranya serak dengan napas terengah. Matanya menatap tajam pada polisi yang hanya diam sambil menggigil.Melihat kemarahan Hendrik, Ansel tersenyum puas. Ia tak yakin bagaimana pria licik seperti Hendrik bisa memiliki anak idiot seperti Rio. Apakah Rio benar-benar anaknya?Para polisi yang terpojok langsung tersentak. Mereka memegang erat-erat senjata api yang siap ditembakkan. Tapi entah kenapa, dari beberapa titi
Ansel meraih ponselnya yang terlempar ke lantai, matanya tajam memandang ke arah Hendrik yang kini panik. Hendrik kalang kabut. Dia mengangkat tubuh ayahnya yang pingsan ke mobil polisi, wajahnya penuh kecemasan. "Kalau tidak bisa menangkapnya, sebaiknya kalian cepat antar aku ke rumah sakit!" Hendrik berteriak penuh amarah, suaranya menggelegar, memecah keheningan di lobby. Polisi yang tadinya diperintah Rio untuk menangkap Ansel, kini beralih tugas mengantar orang ke rumah sakit. Karyawan Mona menatap kepergian Hendrik dan kepala keluarga Hartono dengan tatapan aneh, ketegangan terasa di udara. Ansel mengabaikan tatapan itu, berjalan mantap menuju lift. Dia harus menemui istrinya. "Ansel?" Mona berlari menghampiri Ansel saat melihat suaminya datang, matanya melebar melihat darah segar di luka yang berlapis perban di lengan Ansel. "Kamu baik-baik saja?" Ansel bertanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Matanya menyapu tubuh Mona dari atas sampai bawah, memastikan istri
Ansel dan Mona tiba di rumah sakit. Sebelumnya, Mona sudah bertanya di tempat pendaftaran rumah sakit, dimana ruangan Rio dan Kakek. Ternyata, Kakek sedang berada di ruang operasi, dan Rio sudah dipindahkan ke ruang rawat.Ansel dan Mona berjalan menuju ruang rawat Rio, dan disana mereka melihat Hendrik dan keluarga lainnya sedang menunggu. Ada Lidia juga yang menatap Mona dan Ansel dengan tajam.Hendrik menatap Mona dan Ansel dengan tatapan penuh kebencian. Kobaran api penuh dendam menyala-nyala di matanya. "Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian tidak puas karena sudah membuat anakku menderita?""Kau ... tentara sialan! Beraninya kau menginjakkan kaki disini! Kau benar-benar cari mati, ya!" Hendrik tak puas, ia terus menyerang Mona dan mengumpati Ansel."Maafkan aku kakak ipar, tadi aku yang menelepon Mona untuk datang kemari. Tapi aku tidak tahu, kalau tentara buangan ini akan ikut juga!" Lidia menyela kemarahan Hendrik, lalu mendekati Mona, dan menarik anaknya menjauh dar
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ponsel mahal yang berharga belasan juta itu langsung jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Bahkan layarnya sampai pecah dan kini ponsel tersebut mati total. Ansel diam menikmati reaksi wanita itu. Sedikit pelajaran padanya sudah cukup. Tapi yang sebenarnya terjadi, hal yang Ansel sebut sebagai sedikit itu nyatanya sangat besar bagi orang lain. Tidak hanya membuat para investor menarik dana dari proyek yang sudah dibicarakan sebelumnya, Ansel juga memasukkan perusahaan keluarga Sudrawan ke daftar hitam perusahaannya."Ba-bagaimana mungkin?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada bingung dan penuh keraguan. Tubuhnya terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh, kalau saja anaknya yang tengah hamil tak menangkapnya segera. "Ada apa, Ma?" Si perempuan hamil bertanya penasaran saat melihat wajah ibunya yang tampak sangat pucat. "Terjadi sesuatu! Pasti terjadi kekeliruan!" Saat si wanita paruh baya berteriak karena keterkejutannya, ponsel anaknya berdering. Dan itu adalah pang
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be