Share

Bab 7

Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona.

"Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas.

Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan!

Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya.

Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu akan membela Rio dan memudahkan jalan bagi cucu kesayangannya itu.

"Sudah! Jangan buat malu lagi! Kamu ini cuma tentara. Nggak mungkin bisa bantu Mona! Apalagi pakai jaminan! Jangan buat kami kehilangan muka lagi!" Lidia mendekat dan berbisik dengan nada sarkas. Dia sangat muak dengan yang Ansel katakan.

"Loh? Apa salahnya? Aku hanya mau memberi semangat pada istriku," ujar Ansel santai, dan ini membuat Lidia menatapnya heran. Wanita itu tak habis pikir Ansel punya keberanian untuk membantah, padahal dia sama sekali tak berguna di rapat keluarga ini.

Dan yang lain pun mulai menggunjingkannya, lewat bisikan-bisikan yang sedikit keras sehingga terdengar olehnya.

“Tuh lihat, dia bertingkah seolah-olah dia orang penting di Keluarga Hartono. Menyedihkan sekali!”

“Mungkin selama bertugas dia stress, makanya pulang-pulang jadi begini. Ada yang salah dengan otaknya.”

“Hahaha…. Jahat banget kamu. Tapi kayaknya memang begitu. Ya, dia gila!”

Kakek hanya diam saja saat orang-orang dari Keluarga Hartono ini menghina Ansel lewat bisikan-bisikan mereka itu. Setelah mendengar jawaban Ansel tadi, Kakek jadi semakin tak suka dengannya. Seorang tentara rendahan yang tak punya power atau koneksi, sama sekali tak bernilai di matanya. Untuk apa dia membelanya?

Ansel sendiri, sementara itu, tak mempermasalahkan bisikan-bisikan orang-orang tersebut. Baginya itu bukan hal penting yang harus dipikirkan. Saat ini yang penting istrinya mendapatkan tender itu. Dia fokus ke sana.

“Heh, siapa bilang kamu punya hak untuk bicara di sini? Tentara rendahan sepertimu harusnya diam saja!” serang Rio tiba-tiba. Tampaknya dia pun kesal dengan sikap santai Ansel dalam merespons hinaan orang-orang tadi.

“Loh, kenapa kamu sewot? Memangnya ucapanku menyinggungmu? Atau jangan-jangan kamu insecure. Sebenarnya kamu merasa nggak akan bisa menang kalau bersaing dengan Mona,” balas Ansel, menantang.

“Apa kamu bilang?! Bangsat! Kuhajar kamu!” timpal Rio, dengan mata memerah karena amarah. Dia pun mendengus seperti banteng yang siap mengamuk.

Dan Ansel malah tersenyum mengejek, membuat Rio semakin terpancing.

Di titik ini, Kakek akhirnya angkat bicara.

"Sudah sudah! Jangan bikin keributan saat rapat berlangsung!” tegurnya.

Suasana langsung berubah seketika. Bahkan Rio kini menunduk dan terlihat mencoba menenangkan diri. Kharisma Kakek sebagai pemimpin Keluarga Hartono memang begitu kuat.

“Aku sudah memutuskan. Rio dan Mona, kalian berdua akan bersaing untuk mendapatkan tender ini!" ucap Kakek kemudian.

Lalu, tanpa menatap orang-orang yang hadir, dia pun bangkit dari kursinya dan pergi.

Sebagian besar orang di ruangan itu tampak kebingungan, lalu mereka menatap Ansel dan Mona bergantian, seakan-akan mempertanyakan kemampuan mereka.

Ansel sendiri masih seperti tadi: santai dan tersenyum. Tapi saat dia melirik Mona, dia mendapati wajah istrinya itu masam.

Di parkiran mobil beberapa lama kemudian, Lidia mencerca Ansel karena tingkahnya yang tak tahu diri.

"Memalukan! Benar-benar memalukan! Kamu ini memang berniat buat membuat kami kehilangan muka, ya! Kamu itu nggak punya apa-apa, tapi malah percaya diri seperti tadi! Dasar nggak berguna!"

Lidia marah. Dia merasa sudah tak punya muka lagi di hadapan keluarga besarnya. Dan ini gara-gara ulah menantu sampahnya yang sangat dia benci ini!

"Aku nggak mau tahu! Besok kamu dan Mona harus ke Biro Urusan Sipil untuk mengurus surat cerai! Aku benar-benar muak melihat kamu!" cerca Lidia.

Mona, yang juga ada di mobil, terdiam dengan wajah memerah. Dia pun sama marahnya kepada Ansel. Menurutnya Ansel telah membuatnya terjebak dalam masalah.

Ansel menyadari kekesalan Mona, dan bisa merasakan kalau istrinya ini menyalahkannya. Tetapi, dia tak mau memikirkannya. Dan tentu saja, dia tak akan menceraikan wanita yang dicintainya ini.

"Aku nggak akan pernah ceraikan Mona, Ma. Berapa ribu kali aku harus bilang?" kata Ansel.

“Kamu ini ya! Sampai kapan kamu mau menyusahkan kami, hah?! Dasar egois! Sampah! Cepat ceraikan anakku!” bentak Lidia. Sudah habis kesabaran Lidia. Wajahnya merah padam. Sedikit lagi ia kehilangan kendali, mungkin saja dia bisa terkena serangan jantung.

"Sudahlah, Ma! Kepalaku sakit dengar orang teriak-teriak dari tadi,” protes Mona yang lelah.

“Dan kamu, cari kerja sampingan sana! Jadi satpam juga gak masalah! Yang penting kerja, jangan nganggur!" ucapnya kemudian, kepada Ansel.

Lidia tidak begitu suka dengan respons Mona ini. Dia sudah benar-benar muak kepada Ansel dan ingin menyingkirkan menantu sampahnya itu secepat mungkin.

"Mona, kamu harus segera menceraikan dia! Dia itu pembawa sial, dan kamu harus segera meninggalkan dia! Kalau bukan sekarang, kapan lagi kamu mengejar prestasi?" kata Lidia dengan amarah menggebu.

Mona masih sangat muda, dan potensi dalam dirinya sangatlah besar. Jadi, menurut Lidia, anak gadisnya itu tak pantas dengan Ansel yang tak bisa berbuat apa-apa. Karena Mona hanya pantas dengan seorang pengusaha, terutama yang sangat sukses dan kaya.

"Ma, proyek dari Candarana group harus aku dapatkan, supaya kita tetap bisa bertahan. Dan sekarang aku nggak punya banyak waktu untuk memikirkan hal lain!" sanggah Mona.

Lidia terdiam. Apa yang dikatakan anaknya ini benar. Dia tak bisa membantahnya. Mari kesampingkan dulu masalah menantu sampahnya ini.

"Kita pulang saja sekarang. Ayo!" ujar Mona. Dia tak ingin masalah ini sampai berlarut-larut.

Tetapi…

"Mama nggak mau satu mobil sama dia! Kamu duluan aja! Biar Mama pesan taksi!" ucap Lidia ketus.

Dia pun keluar, meninggalkan parkiran. Mona menghela napas panjang dan mengembuskannya. Terlihat sekali dia sangat lelah.

“Ayo, jalan,” ucap Mona sembari memejamkan mata.

Dan mobil pun melaju.

Di perjalanan, Mona melirik Ansel yang sedang menyetir. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu.

"Kalau kamu jadi bekerja di perusahaan, mulai dari hal kecil dulu. Dan jangan pernah katakan pada orang-orang kalau kamu itu ...."

Mona tak melanjutkan perkataannya, karena dia merasa malu kalau memanggil Ansel dengan sebutan “suami”.

Ansel menyadari hal itu, dan dia tersenyum tipis.

"Aku tidak bisa janji, karena aku akan mencari pekerjaan lain terlebih dahulu. Kalau aku tidak diterima, aku akan datang ke tempatmu," cetus Ansel.

Dengan pangkat sebagai jenderal tertinggi, bagaimana mungkin dia bekerja sebagai seorang satpam? Itu benar-benar sebuah lelucon baginya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status