Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona.
"Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu akan membela Rio dan memudahkan jalan bagi cucu kesayangannya itu. "Sudah! Jangan buat malu lagi! Kamu ini cuma tentara. Nggak mungkin bisa bantu Mona! Apalagi pakai jaminan! Jangan buat kami kehilangan muka lagi!" Lidia mendekat dan berbisik dengan nada sarkas. Dia sangat muak dengan yang Ansel katakan. "Loh? Apa salahnya? Aku hanya mau memberi semangat pada istriku," ujar Ansel santai, dan ini membuat Lidia menatapnya heran. Wanita itu tak habis pikir Ansel punya keberanian untuk membantah, padahal dia sama sekali tak berguna di rapat keluarga ini. Dan yang lain pun mulai menggunjingkannya, lewat bisikan-bisikan yang sedikit keras sehingga terdengar olehnya. “Tuh lihat, dia bertingkah seolah-olah dia orang penting di Keluarga Hartono. Menyedihkan sekali!” “Mungkin selama bertugas dia stress, makanya pulang-pulang jadi begini. Ada yang salah dengan otaknya.” “Hahaha…. Jahat banget kamu. Tapi kayaknya memang begitu. Ya, dia gila!” Kakek hanya diam saja saat orang-orang dari Keluarga Hartono ini menghina Ansel lewat bisikan-bisikan mereka itu. Setelah mendengar jawaban Ansel tadi, Kakek jadi semakin tak suka dengannya. Seorang tentara rendahan yang tak punya power atau koneksi, sama sekali tak bernilai di matanya. Untuk apa dia membelanya? Ansel sendiri, sementara itu, tak mempermasalahkan bisikan-bisikan orang-orang tersebut. Baginya itu bukan hal penting yang harus dipikirkan. Saat ini yang penting istrinya mendapatkan tender itu. Dia fokus ke sana. “Heh, siapa bilang kamu punya hak untuk bicara di sini? Tentara rendahan sepertimu harusnya diam saja!” serang Rio tiba-tiba. Tampaknya dia pun kesal dengan sikap santai Ansel dalam merespons hinaan orang-orang tadi. “Loh, kenapa kamu sewot? Memangnya ucapanku menyinggungmu? Atau jangan-jangan kamu insecure. Sebenarnya kamu merasa nggak akan bisa menang kalau bersaing dengan Mona,” balas Ansel, menantang. “Apa kamu bilang?! Bangsat! Kuhajar kamu!” timpal Rio, dengan mata memerah karena amarah. Dia pun mendengus seperti banteng yang siap mengamuk. Dan Ansel malah tersenyum mengejek, membuat Rio semakin terpancing. Di titik ini, Kakek akhirnya angkat bicara. "Sudah sudah! Jangan bikin keributan saat rapat berlangsung!” tegurnya. Suasana langsung berubah seketika. Bahkan Rio kini menunduk dan terlihat mencoba menenangkan diri. Kharisma Kakek sebagai pemimpin Keluarga Hartono memang begitu kuat. “Aku sudah memutuskan. Rio dan Mona, kalian berdua akan bersaing untuk mendapatkan tender ini!" ucap Kakek kemudian. Lalu, tanpa menatap orang-orang yang hadir, dia pun bangkit dari kursinya dan pergi. Sebagian besar orang di ruangan itu tampak kebingungan, lalu mereka menatap Ansel dan Mona bergantian, seakan-akan mempertanyakan kemampuan mereka. Ansel sendiri masih seperti tadi: santai dan tersenyum. Tapi saat dia melirik Mona, dia mendapati wajah istrinya itu masam. Di parkiran mobil beberapa lama kemudian, Lidia mencerca Ansel karena tingkahnya yang tak tahu diri. "Memalukan! Benar-benar memalukan! Kamu ini memang berniat buat membuat kami kehilangan muka, ya! Kamu itu nggak punya apa-apa, tapi malah percaya diri seperti tadi! Dasar nggak berguna!" Lidia marah. Dia merasa sudah tak punya muka lagi di hadapan keluarga besarnya. Dan ini gara-gara ulah menantu sampahnya yang sangat dia benci ini! "Aku nggak mau tahu! Besok kamu dan Mona harus ke Biro Urusan Sipil untuk mengurus surat cerai! Aku benar-benar muak melihat kamu!" cerca Lidia. Mona, yang juga ada di mobil, terdiam dengan wajah memerah. Dia pun sama marahnya kepada Ansel. Menurutnya Ansel telah membuatnya terjebak dalam masalah. Ansel menyadari kekesalan Mona, dan bisa merasakan kalau istrinya ini menyalahkannya. Tetapi, dia tak mau memikirkannya. Dan tentu saja, dia tak akan menceraikan wanita yang dicintainya ini. "Aku nggak akan pernah ceraikan Mona, Ma. Berapa ribu kali aku harus bilang?" kata Ansel. “Kamu ini ya! Sampai kapan kamu mau menyusahkan kami, hah?! Dasar egois! Sampah! Cepat ceraikan anakku!” bentak Lidia. Sudah habis kesabaran Lidia. Wajahnya merah padam. Sedikit lagi ia kehilangan kendali, mungkin saja dia bisa terkena serangan jantung. "Sudahlah, Ma! Kepalaku sakit dengar orang teriak-teriak dari tadi,” protes Mona yang lelah. “Dan kamu, cari kerja sampingan sana! Jadi satpam juga gak masalah! Yang penting kerja, jangan nganggur!" ucapnya kemudian, kepada Ansel. Lidia tidak begitu suka dengan respons Mona ini. Dia sudah benar-benar muak kepada Ansel dan ingin menyingkirkan menantu sampahnya itu secepat mungkin. "Mona, kamu harus segera menceraikan dia! Dia itu pembawa sial, dan kamu harus segera meninggalkan dia! Kalau bukan sekarang, kapan lagi kamu mengejar prestasi?" kata Lidia dengan amarah menggebu. Mona masih sangat muda, dan potensi dalam dirinya sangatlah besar. Jadi, menurut Lidia, anak gadisnya itu tak pantas dengan Ansel yang tak bisa berbuat apa-apa. Karena Mona hanya pantas dengan seorang pengusaha, terutama yang sangat sukses dan kaya. "Ma, proyek dari Candarana group harus aku dapatkan, supaya kita tetap bisa bertahan. Dan sekarang aku nggak punya banyak waktu untuk memikirkan hal lain!" sanggah Mona. Lidia terdiam. Apa yang dikatakan anaknya ini benar. Dia tak bisa membantahnya. Mari kesampingkan dulu masalah menantu sampahnya ini. "Kita pulang saja sekarang. Ayo!" ujar Mona. Dia tak ingin masalah ini sampai berlarut-larut. Tetapi… "Mama nggak mau satu mobil sama dia! Kamu duluan aja! Biar Mama pesan taksi!" ucap Lidia ketus. Dia pun keluar, meninggalkan parkiran. Mona menghela napas panjang dan mengembuskannya. Terlihat sekali dia sangat lelah. “Ayo, jalan,” ucap Mona sembari memejamkan mata. Dan mobil pun melaju. Di perjalanan, Mona melirik Ansel yang sedang menyetir. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu. "Kalau kamu jadi bekerja di perusahaan, mulai dari hal kecil dulu. Dan jangan pernah katakan pada orang-orang kalau kamu itu ...." Mona tak melanjutkan perkataannya, karena dia merasa malu kalau memanggil Ansel dengan sebutan “suami”. Ansel menyadari hal itu, dan dia tersenyum tipis. "Aku tidak bisa janji, karena aku akan mencari pekerjaan lain terlebih dahulu. Kalau aku tidak diterima, aku akan datang ke tempatmu," cetus Ansel. Dengan pangkat sebagai jenderal tertinggi, bagaimana mungkin dia bekerja sebagai seorang satpam? Itu benar-benar sebuah lelucon baginya. ***Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A
Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob
"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
“Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w
Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega
Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, Ansel bergegas menemui Mona. Ia tahu bahwa istrinya itu sedang gelisah mengenai perebutan proyek Candarana Group yang sangat penting. Di ruang kerjanya, Mona terlihat bingung. Meskipun perusahaannya berhasil selamat dari kebangkrutan berkat dana misterius, jumlah itu belum cukup untuk bersaing dalam tender. Pandangannya kosong, penuh pertanyaan yang tidak terjawab. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana bisa memenangkan tender ini?” keluhnya. Shycon Group, perusahaan yang telah ia bangun dengan susah payah, menghadapi rintangan besar. Sementara itu, Rio duduk santai di ruangannya. Setelah pertemuan malam itu, dia mendapatkan dukungan penuh dari kakeknya. Dukungan yang dilengkapi dengan aliran dana besar yang siap digunakan. Rio tahu, kakeknya ingin Mona kalah agar kepemimpinan perusahaan beralih kepadanya. "Mona, lebih baik kamu menyerah. Kamu tidak akan bisa memenangkan proyek ini," ejek Rio, datang dengan penuh kesombongan, mendekati M
Awalnya Mona kira Rio sudah menyerah. Tapi ternyata tidak. Sepupunya itu malah menunggu di luar gedung untuk melampiaskan kekesalannya pada Mona. “Heh!” Dengan cepat dan sedikit kasar, Rio menarik bahu Mona, hingga wanita cantik itu berbalik badan ke belakang. Ansel melihat itu dengan sorot mata tajam, berlari cepat menuju Mona, napasnya berat karena marah. Dia mencengkram tangan Rio dan menghempaskannya ke samping. "Kurang ajar! Beraninya kamu!" Rio yang sudah kesal, jadi semakin kesal saat melihat kedatangan Ansel. "Kamu berani berbuat kasar pada istriku, jangan salahkan aku jika ku patahkan tanganmu!" sentak Ansel berang. Mona yang mendengar itu ingin angkat bicara, tapi ketika dia melihat wajah Rio yang masam, Mona langsung tersenyum sinis, mengabaikan perlakuan sepupunya yang kasar. Ia sudah bahagia saat ini bisa mengalahkan Rio, walaupun ia tidak tahu kenapa dirinya bisa memenangkan tender proyek dari Candarana Group. “Kenapa?” tanya Mona santai. Melihat Mona yang berl
Baru saja dia diangkat tinggi oleh perkataan kakeknya, namun kini dia sudah dijatuhkan lagi hingga tidak mempunyai muka sama sekali. Mengurus perusahaan timur dan menjadi wakil direktur memang terdengar menggiurkan. Namun semua orang yang hadir di sana tahu kalau wakil direktur hanya kacung seorang direktur. Semua keputusan ada di tangan direktur. “Kamu akan menjadi orang penting dan disegani Mona. Karena itu, berikan proyek tersebut pada Rio, biarkan dia yang mengurusnya, supaya kamu bisa fokus pada perusahaan timur,” kata kakek dengan nada yang tidak bisa ditentang. Mona menatap nyalang mata sang kakek, kemudian tertawa sinis, menunjukkan ketidakpercayaannya. “Jadi, ini tujuan sebenarnya dari semua sandiwara tadi?” tanya Mona dengan tawa miris, merasakan penghianatan dalam setiap kata-kata kakek. “Apa maksud kamu, Mona? Jangan lancang kamu!” “Karena proyek besar itu tidak bisa dimenangkan oleh cucu kesayangan kakek dan malah dimenangkan olehku, kakek menyuruhku untuk memberika