“Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah.
“Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudian dia baru merespon. “Ansel! Lepaskan!” perintah Mona. Melihat kekuatan Ansel, Mona takut dia akan melukai Rio lebih parah lagi. Lidia yang juga panik, menepuk Ansel. “Brengsek, cepat lepaskan! Jangan membuat masalah disini!” Lidia juga sangat marah sebenarnya pada Rio, tapi dia tahu, kalau kakek sangat menyayangi si brengsek itu. Ansel kemudian melepaskan tangan Rio. “Cepat minta maaf pada istriku!” tegasnya. Rio diam, tidak menanggapi perkataan Ansel. “Aku tidak akan mengulangi perkataanku lagi, jadi cepat minta maaf! Atau aku patahkan tanganmu sekarang!” ancam Ansel, menatap Rio tajam. Melihat kemarahan Ansel, Rio menjadi takut. “Maafkan aku,” kata Rio singkat. Terdengar tidak ikhlas. “Lakukan dengan benar!” tekan Ansel. “Mona ... Maafkan aku. Aku salah.” Kata Rio akhirnya. Tak ada ketulusan yang terdengar. Dalam hati, Rio mengutuk Ansel dengan ribuan kata makian. “Sudahlah, rapat akan segera mulai. Cepat masuk!” ajak Mona. Kemudian mereka buru-buru masuk kedalam ruangan rapat. “Aku tidak akan melupakan kejadian memalukan ini! Setelah Shycon group dan Hartono Group jadi milikku, aku akan menendang kalian semua!” batin Rio menahan dendam. Saat tiba didalam ruangan rapat, ternyata hampir semua petinggi perusahaan sudah tiba di sana. Mereka mengambil posisi saat Kakek berjalan dengan sebuah tongkat ditangannya. Dibelakang Kakek ada seorang asistennya. “Ketua!” “Sudah datang semua? Mari duduk!” Lelaki tua itu menatap sekitar lalu terhenti pada Mona. Dia kemudian berkata. “Mona, aku dengar kalau Shycon Group sedang ada masalah keuangan. Bagaimana keputusanmu?” tanyanya. Walau cara bicaranya santai, tapi terdengar menyalahkan Mona. “Kakek tidak usah khawatir. Aku sudah mendapatkan uangnya,” jawab Mona santai. Walaupun sedikit terkejut, tapi akhirnya Kakek mengangguk. “Baguslah kalau begitu. Kamu beruntung, akhirnya perusahaanmu tidak bangkrut,” kata Kakek sarkas. Cara bicara Kakek terdengar jelas kalau dia tidak terlalu menyukai Mona, dan itu membuat perempuan tersebut menjadi sedih. “Aku dapat kabar, kalau suamimu sudah kembali? Mana dia, aku ingin melihatnya,” kata Kakek, sembari melihat sekitar tapi tak melihat ada Ansel. Dan Ansel duduk di kursi pojok, yang terpisah dengan yang lainnya. Ia tidak mendapatkan kursi duduk seperti yang lain, karena dia bukan pemegang saham. “Ansel! Cepat sini!” Lidia berteriak memanggil Ansel. “Ansel sudah banyak berubah selama menjadi tentara, Kakek jadi tidak mengenalimu tadi,” ujar Kakek dengan tersenyum. “Bagaimana pengalamanmu selama menjadi tentara? Kamu sudah sampai ditingkat apa?” “Aku berhenti untuk sementara, Kek. Jadi aku tidak mempunyai tingkatan apa-apa,” jawab Ansel. Senyum di bibir kakek langsung luntur. “Apa pihak tentara tidak mengaturmu untuk bekerja di pemerintahan?” tanyanya, terlihat enggan. “Tidak. Kini aku sedang menganggur sementara,” jawab Ansel. Mendengar jawaban Ansel, semua orang berbisik-bisik di depannya. “Dia sudah menjadi tentara selama bertahun-tahun, dan sekarang bahkan belum menjadi seorang perwira?” bisik salah seorang tamu yang hadir di sana. “Sepertinya dia hanya menjadi anjing penguntit selama bertahun-tahun!” hina yang lainnya. “Benar-benar tidak berguna! Dan sekarang bahkan berani memasang muka disini! Kalau aku jadi dia, aku sudah pergi dari sini sekarang!” Suara bisik-bisik itu membuat telinga Mona dan juga Lidia menjadi panas. Dari awal mereka sudah memiliki firasat kalau Ansel akan membuat mereka malu. Tak ada lagi sedikitpun senyum di wajah laki-laki tua itu. Niatnya mengundang Ansel ke acara ini untuk mengetahui apakah cucu menantunya itu memiliki jabatan di kemiliteran. Kalau saja Ansel memiliki sedikit jabatan, maka keluarga Hartono akan semakin berkembang. Kini sang ketua merasa menyesal karena mengundang Ansel datang ke acara pentingnya ini. “Sudahlah, lupakan saja! Sekarang kemu kembali duduk, kita akan mulai rapatnya!” Nada suara Kakek terdengar dingin. Ia bahkan tak menoleh lagi ke arah Ansel. Ansel yang mendengarnya hanya acuh saja. Baginya tak ada yang penting dan perlu dihormati disini. “Hari ini aku mengumpulkan kalian dan membuat rapat karena satu hal lain. Kalian pasti sudah mendengar tentang Candarana Group yang berganti CEO dan membuat proyek baru. Mereka juga akan mengadakan tender publik untuk seluruh kota. Jadi Shycon dan Sheazi group berhak ikut kali ini, jadi aku akan membuat Rio dan Mona ikut tender ini!” jelas kakek. Ansel mengangkat sebelah alisnya. Soal proyek ini juga sudah dibahas oleh Wina padanya tadi. Ia tak menyangka kalau Kakek Tua itu ingin memperebutkan tender tersebut. Laki-laki tua itu memandang Rio dan Mona secara bergantian. Ekspresi keduanya terlihat sangat berbeda. “Karena aku sudah tua, dan ingin beristirahat, jadi aku ingin mengundurkan diri. Bagi siapapun diantara kalian berdua yang mendapatkan tender dengan Candarana group, maka dialah yang akan menjadi pewaris Hartono Group.” Semua orang terlihat peduli. Karena laki-laki tua itu adalah pemegang peran utama dalam keluarga Hartono. Jelas mereka terlihat semangat karena ini dapat mempengaruhi keluarga Hartono. Mona awalnya terlihat senang, tapi kemudian langsung berubah. Candarana Group adalah perusahaan yang sangat besar, dan syarat untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan tersebut sangatlah sulit. Dan Mona langsung pesimis kalau kali ini dia akan kalah. Melihat Mona yang tertunduk membuat Ansel paham, kalau istrinya itu pasti berpikir kalau kali ini dia akan kalah. “Akan aku lakukan apapun untuk kamu, Istriku. Proyek kali ini, akan menjadi milikmu!”Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona. "Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu
Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A
Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob
"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
“Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w
Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega
Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, Ansel bergegas menemui Mona. Ia tahu bahwa istrinya itu sedang gelisah mengenai perebutan proyek Candarana Group yang sangat penting. Di ruang kerjanya, Mona terlihat bingung. Meskipun perusahaannya berhasil selamat dari kebangkrutan berkat dana misterius, jumlah itu belum cukup untuk bersaing dalam tender. Pandangannya kosong, penuh pertanyaan yang tidak terjawab. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana bisa memenangkan tender ini?” keluhnya. Shycon Group, perusahaan yang telah ia bangun dengan susah payah, menghadapi rintangan besar. Sementara itu, Rio duduk santai di ruangannya. Setelah pertemuan malam itu, dia mendapatkan dukungan penuh dari kakeknya. Dukungan yang dilengkapi dengan aliran dana besar yang siap digunakan. Rio tahu, kakeknya ingin Mona kalah agar kepemimpinan perusahaan beralih kepadanya. "Mona, lebih baik kamu menyerah. Kamu tidak akan bisa memenangkan proyek ini," ejek Rio, datang dengan penuh kesombongan, mendekati M
Awalnya Mona kira Rio sudah menyerah. Tapi ternyata tidak. Sepupunya itu malah menunggu di luar gedung untuk melampiaskan kekesalannya pada Mona. “Heh!” Dengan cepat dan sedikit kasar, Rio menarik bahu Mona, hingga wanita cantik itu berbalik badan ke belakang. Ansel melihat itu dengan sorot mata tajam, berlari cepat menuju Mona, napasnya berat karena marah. Dia mencengkram tangan Rio dan menghempaskannya ke samping. "Kurang ajar! Beraninya kamu!" Rio yang sudah kesal, jadi semakin kesal saat melihat kedatangan Ansel. "Kamu berani berbuat kasar pada istriku, jangan salahkan aku jika ku patahkan tanganmu!" sentak Ansel berang. Mona yang mendengar itu ingin angkat bicara, tapi ketika dia melihat wajah Rio yang masam, Mona langsung tersenyum sinis, mengabaikan perlakuan sepupunya yang kasar. Ia sudah bahagia saat ini bisa mengalahkan Rio, walaupun ia tidak tahu kenapa dirinya bisa memenangkan tender proyek dari Candarana Group. “Kenapa?” tanya Mona santai. Melihat Mona yang berl