"Yeah!!!"Drone itu meledak. Salah satu roket yang ditembakkan ke arahnya berhasil mengenainya.Tentara-tentara itu bersorak. Morgan sendiri masih memakai teropong, memantau ke arah mana si drone itu jatuh sekaligus mencari-cari keberadaan drone-drone lain.Ini baru satu drone. Mereka harus bersiap-siap kalau-kalau ada drone lainnya.Sementara Morgan menjadi radar alami bagi pasukannya ini, orang-orang yang berhasil mereka tangkap dan kumpulkan itu kini tampak lesu.Mereka diberitahu kalau akan ada drone yang diluncurkan untuk membantu mereka menuntaskan misi. Tapi baru saja mereka melihat, dengan mata kepalanya sendiri, bahwa drone tersebut ditembak jatuh."Habislah kita. Misi ini benar-benar gagal total," kata salah satu dari mereka."Kenapa jadi begini? Bukankah kita telah melakukan persiapan dengan baik?”“Siapa yang berkhianat di antara kita? Mereka bisa tahu rencana kita sampai sedetail ini pastilah karena ada yang membocorkannya kepada mereka, kan?!”“Benar juga! Ada yang berkh
Morgan dan pasukan yang dipimpinnya baru saja meninggalkan kawasan di mana pusat perbelanjaan tadi berada.Mereka telah memastikan bahwa kekacauan berhasil dicegah, bahwa orang-orang yang diterjunkan langsung ke kawasan itu sudah mereka tangkap semua.Drone-drone yang dikerahkan pun berhasil ditembak jatuh semuanya.Ini kemenangan mutlak. Mereka berhasil menuntaskan misi dengan nilai sempurna!Dan hal yang sama pun terjadi pada tim-tim lain yang dikerahkan ke lokasi-lokasi lain.Morgan merasa bungah. Tubuhnya mendadak terasa begitu ringan. Rasanya telah sangat lama sejak dia merasakan kemenangan yang memuaskan seperti ini.Dan dengan keberhasilannya ini pun, dia seolah-olah menebus keteledorannya waktu menghadapi orang-orangnya Rudolf tempo hari.Kini Morgan bisa melupakan kekacauan yang terjadi ketika itu. Dia juga yakin dia bisa tertidur lelap malam ini, meski bukan di rumahnya.Sesuai rencana, sebab situasi belum sepenuhnya kondusif, Morgan akan menumpang dulu di markas militer Kot
Morgan terbelalak. Dia menatap ibu mertuanya tak percaya.“Apa, Ma? Agnes amnesia?” tanyanya.“Dia mengalami amnesia total dan ini semua salahmu! Salahmu!” bentak Melisa.“Ta-tapi, Ma… Tak mungkin… Ini tak mungkin…”“Tutup mulutmu, anak jadah! Aku tak mau lagi mendengar apa pun darimu! Aku juga tak mau melihat wajah busukmu ini! Pergi sana! Keluar!”Morgan terdiam, nyaris mematung seperti manekin.Agnes mengalami amnesia total? Apakah itu artinya dia benar-benar melupakan semuanya? Semuanya?“Agnes, katakan padaku kalau ini tidak benar-benar terjadi. Katakan padaku kalau kalian sedang mengerjaiku. Ini sebenarnya prank, kan?” kata Morgan, masih saja menolak kenyataan yang memang pahit itu.“Maafkan aku,” kata Agnes, lemah.Melihat sorot mata Agnes yang memancarkan kesedihan saat menatapnya, Morgan merasa dirinya hancur.Dia tak terima. Dia tak terima kondisi istrinya jadi seperti ini.Amnesia total? Yang benar saja! Memangnya separah apa benturan yang dialami kepalanya saat dia mengala
“Aku tidak bisa menjamin cara ini akan berhasil, tapi kukira patut dicoba,” kata Allina.“Apa itu? Katakan saja cepat! Tak usah bertele-tele!” desak Morgan.Allina kembali menghela napas. Sosok Morgan di hadapannya ini benar-benar berbeda dari yang dikenalnya dulu.Apakah rasa kecewa dan frustrasi bisa membuat seseorang berubah sampai sejauh itu?“Tak enak bicara di sini. Kita cari tempat duduk dulu?” usul Allina.Morgan melirik ke kanan dan ke kiri. Memang benar. Mereka saat ini bicara di koridor. Tentu saja itu mengganggu orang-orang yang mau lewat.“Ya sudah. Kita duduk di sana saja,” kata Morgan, menunjuk ke sebuah bangku panjang dengan sandaran di dekat kolam ikan.Allina mengangguk. Mereka pun menuju ke bangku itu.Setelah duduk di bangku, mereka melanjutkan obrolan mereka tadi.“Jadi, metode pengobatan apa yang sebenarnya kau maksud ini?” tanya Morgan langsung.“Ini… mungkin akan terdengar menggelikan bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka yang percaya bahwa manusia tidak hanya
Morgan menatap si resepsionis dengan dengki.Dari tadi dia mencoba bersabar, mengabaikan sikap acuh tak acuh si resepsionis padanya.Kalau tahu si resepsionis akan bertingkah sekurang ajar ini, sudah dari tadi dia membentaknya.“Ayo cepat keluar!” kata si satpam, memegang lengan kanan Morgan dan menariknya.Morgan sempat terseret dua-tiga langkah, tapi kemudian dia kokohkan pijakannya.Si satpam menoleh, menatap Morgan dengan bingung.Tubuh Morgan lebih kecil darinya. Bagaimana bisa orang ini tak bergeser sedikit pun meski dia telah menariknya sekuat tenaga?“Lepaskan tanganku!” ucap Morgan kesal, mengibaskan tangannya hingga tangannya itu terlepas.Dia lantas kembali ke meja si resepsionis. Wanita bermata sipit itu menatapnya lekat-lekat, juga dengan heran.“Aku bilang aku mau melihat-lihat hunian yang dijual di sini. Aku juga bilang kalau aku akan membelinya dan langsung menempatinya hari ini juga kalau aku menemukan hunian yang cocok. Kenapa kau malah memanggil satpam untuk mengusi
Manajer Liu terperenyak. Yang ditunjukkan Morgan padanya bukanlah kartu biasa. Itu adalah black card edisi khusus yang hanya dibuat beberapa seri saja di dunia."Coba kulihat," kata Manajer Liu, mengambil kartu tersebut dan membolak-baliknya, mengeceknya dengan teliti.Dia sempat berharap kalau anggapannya itu keliru, bahwa di kartu tersebut dia akan menemukan sesuatu yang janggal yang menandakan bahwa kartu itu palsu.Tapi, berkali-kali pun dia membolak-baliknya, dia tak juga menemukannya.'Apakah black card ini memang asli?' pikirnya, tak percaya.Matanya membulat dan mulutnya sedikit terbuka.Si resepsionis, yang tak tahu apa pun soal black card di tangan Manajer Liu, menatap sang manajer dengan heran.Dia pikir Manajer Liu akan langsung mengusir si gembel yang mengaku-ngaku klien ini. Tapi, sampai detik ini, tak ada tanda-tanda dia akan melakukannya.Justru, dia melihat perubahan gestur yang mencengangkan dari Manajer Liu.Saat mengembalikan kartu itu ke si gembel, Manajer Liu mel
Mendapati mata Morgan tertuju ke belahan dadanya, Keysha seperti mendapat lampu hijau. Dia pun melangkah lebih jauh lagi: memasukkan jari tengahnya ke belahan dadanya itu.“Anda menyukai wanita dengan belahan dada yang dalam, Tuan Morgan?” tanya Keysha, menatap Morgan nakal.Morgan balas menatapnya. Keysha salah mengartikan tatapan lurus Morgan itu sebagai “Morgan tertarik untuk menikmati tubuhnya.”Keysha menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa posisi mereka berdua saat ini tak begitu tertangkap oleh CCTV.Lalu dia menatap Morgan sambil tersenyum nakal, dan mulai melepas dua kancing kemejanya lagi.Refleks, Morgan mengarahkan matanya ke sana. Kali ini Morgan bisa melihat buah dadanya Keysha dengan lebih jelas.Meski masih tertutupi oleh bra warna pink, gunung kembar itu tampak menggairahkan.Keysha, yang kerap menunjukkan buah dadanya ini kepada atasan-atasannya yang tertarik padanya, yakin betul kalau Morgan pun akan bertekuk lutut padanya.Seperti halnya atasan-atasannya yan
Morgan menatap Keysha dengan kening mengerut. Keysha menatapnya penuh arti. "Ayolah, Tuan Morgan. Memangnya Anda bisa menahan dorongan itu lebih lama lagi?" pancing Keysha. Wanita itu kini telah melepas semua kancing kemejanya. Dia lanjutkan dengan mengeluarkan kedua buah dadanya, lantas memelintir putingnya sendiri. Selain menatap Morgan penuh arti, Keysha juga memasang muka nakal, menggigit bibir bawahnya. Morgan merasakan betapa kuatnya tangan kanan Keysha menahan tangan kirinya. 'Wanita ini benar-benar gila,' pikirnya. Tapi Morgan melihat ini sebagai kesempatan untuk memberi si wanita kepedean ini pelajaran. Dia duduk lagi di kursi kemudi. Dia tutup lagi pintu. "Kau mau kita melakukannya sekarang, di sini?" tanya Morgan. Keysha tersenyum, mengangguk, lantas menarik tangan Morgan yang dipegangnya itu, mengarahkannya ke buah dadanya. "Mari kita mulai dengan wahana yang satu ini, Tuan, m" kata Keysha, menjulurkan lidahnya sesaat. Morgan tersenyum. Bukan senyum mesum, tapi
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat