Morgan menatap Keysha dengan kening mengerut. Keysha menatapnya penuh arti. "Ayolah, Tuan Morgan. Memangnya Anda bisa menahan dorongan itu lebih lama lagi?" pancing Keysha. Wanita itu kini telah melepas semua kancing kemejanya. Dia lanjutkan dengan mengeluarkan kedua buah dadanya, lantas memelintir putingnya sendiri. Selain menatap Morgan penuh arti, Keysha juga memasang muka nakal, menggigit bibir bawahnya. Morgan merasakan betapa kuatnya tangan kanan Keysha menahan tangan kirinya. 'Wanita ini benar-benar gila,' pikirnya. Tapi Morgan melihat ini sebagai kesempatan untuk memberi si wanita kepedean ini pelajaran. Dia duduk lagi di kursi kemudi. Dia tutup lagi pintu. "Kau mau kita melakukannya sekarang, di sini?" tanya Morgan. Keysha tersenyum, mengangguk, lantas menarik tangan Morgan yang dipegangnya itu, mengarahkannya ke buah dadanya. "Mari kita mulai dengan wahana yang satu ini, Tuan, m" kata Keysha, menjulurkan lidahnya sesaat. Morgan tersenyum. Bukan senyum mesum, tapi
Keysha terkejut dengan cara Morgan bicara padanya.Tidak hanya itu, cara Morgan menatapnya pun membuatnya ketakutan.Ini bukan jenis ketakutan yang biasa dirasakannya saat berada di dekat seorang pria hidung belang.Ketakutan yang dirasakannya saat ini bertolak pada pikiran bahwa Morgan bisa saja menyakitinya dan bahkan menghabisinya.Saking ketakutannya Keysha, tangan dan kakinya sampai gemetar.Matanya membelalak dan dadanya kembang-kempis.“Keluar kau! Turun!” bentak Morgan, mengibaskan tangan Keysha yang dipegangnya itu.Keysha mengaduh kesakitan. Dia kemudian membuka pintu dan turun.Itu dilakukannya nyaris tanpa sadar. Dia dikendalikan oleh rasa takutnya sampai-sampai dia sesaat lupa kalau dia sedang tak mengenakan apa pun.Bruk!Morgan langsung menutup pintu mobilnya itu, dengan keras.Keysha refleks mundur selangkah. Dia memeluk dirinya sendiri sebab angin dingin menghantamnya.“Sampai jumpa, Cantik,” kata Morgan sambil melambaikan tangan, memberi Keysha senyum mengejek.Mobil
"Mohon tenangkan diri Anda, Nyonya Melisa. Ini rumah sakit. Anda tak semestinya berteriak-teriak seperti itu," kata Gaby."Jangan mengajariku, sialan! Kau sama sama dengan si keparat Morgan! Aku mau membawa putriku pulang saat ini juga! Jangan halang-halangi aku!" Sergah Melisa.Saat ini, Melisa dan Gaby sedang berada di koridor, dan suara Melisa memang terlalu kencang. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar situ langsung menoleh ke arah mereka."Nyonya Melisa, mohon pikirkan sekali lagi. Saat ini Nona Agnes..."Plak!Melisa menampar Gaby. Ini sudah tamparan ketiga darinya dalam setengah jam terakhir. Pipi kiri Gaby memerah."Sudah kubilang jangan halang-halangi aku! Lagi pula apa salahnya aku bawa pulang Agnes sekarang, hah? Dia sudah siuman. Yang masih bermasalah darinya hanya ingatannya. Dirawat di sini lebih lama pun tak ada gunanya. Kau pikir aku tak paham itu?!"Lagi-lagi Melisa mengatakannya dengan suara yang kelewat kencang. Orang-orang yang mengamati mereka itu mulai me
"Tuan Morgan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Vivi setelah membungkuk hormat sesaat.“Soal Agnes. Sepertinya aku mau membawanya pulang sekarang saja. Tak apa-apa, kan?” Morgan balik bertanya.“Sebenarnya kalau boleh saya menyarankan, Nona Agnes sebaiknya tetap menjalani rawat inap paling tidak untuk satu minggu ke depan. Dia memang sudah siuman dan kondisi tubuhnya stabil, tapi kita tak tahu apa yang akan terjadi esok atau lusa.”“Misalkan besok atau lusa kondisi Agnes tiba-tiba memburuk, kau tentu bisa kuminta datang ke rumah dan memeriksanya, kan?”“Ah, ya. Tentu saja bisa, Tuan.”“Kalau begitu aku bawa pulang Agnes sekarang saja. Tolong berikan persetujuanmu supaya pegawai-pegawaimu ini bisa segera memprosesnya.”Vivi menoleh menatap dua petugas loket administrasi.Mereka mengangguk hormat padanya. Dari raut muka mereka, terlihat kalau mereka masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Aku memberikan persetujuanku. Kalian proseslah segera,” perintah Vivi.“Baik, Bu Direktur
"Apa katamu, Ma?" tanya Morgan, memutar tubuhnya jadi menghadap Melisa."Aku bilang ceraikan putriku!" ucap Melisa.Meski nada bicaranya meninggi, tampak sekali kali ini kalau dia tak seberani sebelum-sebelumnya.Gerak-geriknya menunjukkan itu. Dia bahkan tak berani lagi menatap mata Morgan lama-lama."Kenapa aku harus menceraikan Agnes, Ma? Apa alasannya?" tanya Morgan, menghampiri ibu mertuanya itu.Tatapan Morgan begitu mengintimidasi. Melisa sampai refleks mundur dan kembali memalingkan muka."Kau sudah membohong kami. Kau pemilik rumah sakit ini, tapi kau selama ini bertingkah seolah-olah kau miskin dan tak punya apa-apa. Kau pikir aku mau punya menantu tukang bohong sepertimu?" cerocos Melisa.Morgan menghentikan langkahnya. Matanya memicing. Ingin sekali dia tertawa, tapi dia menahannya dan hanya tersenyum."Aku telah berkali-kali bilang padamu, Ma, aku hanya akan menceraikan Agnes kalau Agnes sendiri yang memintaku melakukannya," ucap Morgan dengan tenang.Kemudian dia menatap
Morgan memandangi layar ponselnya beberapa lama. 'Siapa lagi sekarang? Siapa yang berani mengancamku begini?' pikirnya Morgan sempat akan membalas pesan ancaman tersebut tapi mengurungkan niat. Dia catat nomor tersebut dan mengirimkannya kepada Kris, meminta Kris mencari tahu segala hal tentang si pemilik nomor. Siapa pun orang itu, dia pastilah tak tahu apa-apa tentang Morgan. Bisa jadi dia telah mencoba mengumpulkan informasi tentang Morgan, tapi yang didapatkannya pastilah hanya hal-hal yang ada di permukaannya saja. 'Apakah dia salah satu dari tiga orang yang disebutkan Jenderal Yudha tadi?' pikir Morgan tiba-tiba. Kemungkinan itu ada saja, dan Morgan cenderung meyakininya. Tapi, dia sama sekali tak gentar apalagi takut. Siapa pun yang akan mencoba menghabisinya, dia siap. Sekarang yang penting dia bawa dulu Agnes dan Melisa ke rumah barunya. "Semuanya sudah siap?" tanya Morgan kepada Gaby yang kini hanya berjarak sepuluh meter saja darinya. "Sudah, Tuan," jawab Gaby. "
Tuuut… tuuut…. tuuut…Si penelepon mengakhiri panggilan begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Morgan.Morgan geram. Dilihatnya lagi layar ponselnya, memastikan bahwa nomor yang barusan menghubunginya adalah nomornya Vivi.‘Itu berarti… saat ini Vivi sedang dalam bahaya di rumah sakit,’ pikir Morgan.Dia mendengus kesal. Dia turuni tangga dengan langkah-langkah cepat.“Tuan Morgan, ini makanan yang Anda pesan untuk Nona Agnes,” ucap Gaby yang muncul dari ruang depan dan berjalan ke arahnya, menunjukkan makanan yang dimaksud.“Kau bawa saja ke atas. Pastikan istriku memakannya. Aku harus pergi sekarang juga,” ucap Morgan dingin, berjalan ke arah Gaby dan melewatinya.“Sesuatu terjadi?” tanya Gaby sambil menoleh.“Ya. Kau tetaplah di sini. Jangan biarkan siapa pun keluar atau masuk,” jawab Morgan tanpa menoleh.Gaby menatap Morgan bingung. Raut muka Morgan begitu tegang. Dia curiga yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang gawat lagi.‘Dia ini… selalu saja mencoba menyelesaikan semuanya
Pistol yang digunakan seseorang itu tidak berisi peluru, melainkan obat bius.Anak-anak panah kecil berisi obat bius itu sendiri melesak ke Morgan, tepat ke dadanya.Morgan ambruk, jatuh menelungkup di depan pintu yang sedikit terbuka.Seseorang itu keluar dari lemari. Dia todongkan pistol di tangannya itu ke Morgan.Joy, seseorang yang baru saja menembak Morgan itu, adalah salah satu agen khusus yang ditugaskan Matthew untuk mencari Morgan.Dia turut menyergap Vivi tadi sebelum kemudian bersembunyi di dalam lemari.Keahliannya dalam menyelinap memungkinkannya tetap bertahan di dalam lemari hingga berjam-jam tanpa terdeteksi oleh siapa pun.Tadi setelah yakin kalau orang yang baru saja masuk adalah Morgan, dia menyiapkan pistolnya.Dia juga menunggu momen yang tepat untuk menggunakan pistolnya itu, yakni saat Morgan sedang akan keluar dari ruangan.Kini, mendapati Morgan ambruk karena tembakannnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon agen khusus lainnya.“Jasper, aku sudah membuatny