Pistol yang digunakan seseorang itu tidak berisi peluru, melainkan obat bius.Anak-anak panah kecil berisi obat bius itu sendiri melesak ke Morgan, tepat ke dadanya.Morgan ambruk, jatuh menelungkup di depan pintu yang sedikit terbuka.Seseorang itu keluar dari lemari. Dia todongkan pistol di tangannya itu ke Morgan.Joy, seseorang yang baru saja menembak Morgan itu, adalah salah satu agen khusus yang ditugaskan Matthew untuk mencari Morgan.Dia turut menyergap Vivi tadi sebelum kemudian bersembunyi di dalam lemari.Keahliannya dalam menyelinap memungkinkannya tetap bertahan di dalam lemari hingga berjam-jam tanpa terdeteksi oleh siapa pun.Tadi setelah yakin kalau orang yang baru saja masuk adalah Morgan, dia menyiapkan pistolnya.Dia juga menunggu momen yang tepat untuk menggunakan pistolnya itu, yakni saat Morgan sedang akan keluar dari ruangan.Kini, mendapati Morgan ambruk karena tembakannnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon agen khusus lainnya.“Jasper, aku sudah membuatny
Terkejut, Eddie langsung menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan kini dia menatap ke arah ambang pintu.Di sana, berdiri Morgan dengan gagah. Cahaya yang datang dari luar seperti sinar yang mendorong Morgan untuk masuk.Saat berjalan, Morgan memancarkan aura sesosok malaikat maut.“K-kau… B-bukankah kau…”Hekkk!Morgan bergerak dengan sangat cepat, tiba-tiba saja berada di samping Eddie dan mencekik lehernya dengan sebelah tangan.Mata Eddie langsung membulat. Mulutnya terbuka lebar dan lidahnya menjulur-julur.Morgan menguatkan cekikannya di leher Eddie sampai-sampai wajah Eddie menjadi pucat. Bunyi-bunyi aneh mulai keluar dari mulutnya.Tangannya sendiri, keduanya, kini tak lagi memegangi buah dadanya Vivi, melainkan berusaha melepaskan cekikan Morgan meski sia-sia.“Kau telah melakukan sesuatu yang tak termaafkan, kau tahu itu? Kau bahkan lebih busuk daripada kedua temanmu tadi!” ucap Morgan geram.Eddie menatapnya dengan mata seperti akan meloncat keluar. Dia merasa tengah b
Morgan membawa Vivi kembali ke ruangan kerjanya.Setibanya mereka di ruangan itu, genangan darah di lantai sudah hilang. Begitu juga dua mayat yang tadi ditaruh Morgan di dalam lemari.Anak-anak buahnya Kris gecep juga. Nanti Morgan akan meminta agar Kris mengapresiasi kinerja mereka ini.Saat ini Vivi sudah lumayan tenang. Morgan memandunya untuk duduk di kursinya. Di situ, Vivi menyandarkan punggung dan mendongakkan kepala, dan memejamkan mata.Vivi membiarkan mulut mungilnya itu sedikit terbuka sementara dia menarik-embuskan napas.“Menurutku sebaiknya kau pulang saja. Urusan pekerjaan kau serahkan saja pada yang lain. Saat ini kau butuh berada di tempat yang bisa membuatmu rileks. Kau butuh istirahat total,” kata Morgan.Vivi tak langsung membalas. Dia masih menarik-embuskan napas sambil memejamkan mata.Di benaknya, bayangan soal apa-apa yang terjadi padanya di gudang tadi bermunculan. Dia berusaha menyingkirkannya.“Morgan…” kata Vivi, masih sambil memejamkan mata.“Ya?” balas M
Morgan menepikan mobilnya dan mematikan lampu.Saat ini dia berada di sebuah kawasan elite yang terkenal dihuni oleh tokoh-tokoh ternama, baik itu dari kalangan artis, penguasah, politisi, hingga pejabat negara.Dia tinggal berjarak 700-an meter saja dari mansion yang tengah ditempati Matthew dalam beberapa bulan terakhir.Morgan membuka lagi dokumen laporan yang dikirimkan oleh Kris padanya tadi.Kembali dia baca-baca dokumen itu, memastikan tak ada info penting tentang Matthew yang dia lewatkan.Mengingat orang yang akan dia hadapi ini adalah mata-mata profesional dengan pengalaman lebih dari dua puluh tahun dan telah ditugaskan di berbagai negara, sudah semestinya dia berhati-hati.Berdasarkan laporan yang dikirim Kris itu, mansion yang ditinggali Matthew dijaga ketat selama 24 jam oleh tentara-tentara bersenjata lengkap, dan mereka diberi kewenanan khusus oleh Bernard untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna memastikan Matthew aman.Morgan tidak tahu apakah tentara-tentara ya
"Apa itu? Cepat periksa!" teriak si Codet. Bunyi ledakan keras itu membuat perhatian tentara-tentara itu sejenak teralihkan. Morgan memanfaatkan momen ini untuk bangkit dan menghajar mereka. Buk! Buk! Buk! Buk! Gerakan cepatnya mengagetkan tentara-tentara itu. Beberapa belas detik yang lalu, Morgan tampak tak berdaya dengan tangan terborgol. Saat ini, tiba-tiba saja dia dalam posisi berdiri dan beberapa tentara terjengkang atau tersungkur karena tendangannya. Morgan masih sangat berbahaya meski kedua tangannya masih terborgol. Ini benar-benar di luar perkiraan tentara-tentara itu. "Apa yang kalian tunggu? Habisi orang ini!!" bentak si Codet. Tentara-tentara yang masih berdiri itu pun mengeroyok Morgan, menyerangnya dari berbagai arah. Namun apa yang terjadi? Dengan mudahnya, Morgan menangkis serangan-serangan mereka dan malah balik menyerang, membuat tentara-tentara itu terkapar. Dang! Dang! Dang! Dang! Morgan menendang lagi tentara-tentara itu di kepala mereka, membuat mer
"Mati kau, Keparat!!!" Dor! Dor! Dor! Dor! Si Codet melepaskan beberapa tembakan beruntun ke arah Morgan tadi berdiri. Tentu dia tak bisa melihat Morgan sebab dia tak mengenakan alat bantu apa pun. Ruangan benar-benar gelap. Pintu garasi telah tertutup rapat dan pendaran cahaya lampu dari pintu ruang bawah tanah tak cukup terang untuk membantunya melihat apa pun. Lantas, apakah tembakan-tembakannya itu mengenai Morgan? Tidak. Tak ada satu pun yang kena. Morgan tahu si Codet akan menembaknya, sehingga dia telah mengantisipasinya lebih dulu. Dia berpindah posisi, dengan cepat. Berbeda dengan si Codet, dia bisa melihat dengan cukup baik apa-apa yang ada di ruangan gelap itu. Itu karena dia baru saja mengerahkan energi murninya dan memfokuskannya ke matanya. Tak ingin si Codet mengetahui posisinya, Morgan bergerak dengan hati-hati. Matanya terarah terus pada si Codet. Si Codet sendiri begitu tegang. Dia tahu tembakan-tembakan beruntunnya tadi tak mengenai sasaran, soalnya dia
Morgan bergerak dengan sangat cepat sehingga dia bisa menghindari serangan brutal si monster.Lantai lorong yang semula dipijak Morgan hancur. Debu-debu beterbangan di udara, menghalangi pandangan si monster.Sebentar kemudian, si monster menyadari keberadaan Morgan, dan dia menoleh ke kanan, ke arah pukul dua.Di situ, Morgan perlahan menegakkan punggungnya.Tubuhnya terlihat lebih besar. Aura berwarna hitam pekat keluar dari tubuhnya, menyelimuti tubuhnya itu seperti kobaran api."Graaaaaoooooo!!!!"Si monster kembali meraung kencang. Angin seketika berembus kencang menerpa tubuh Morgan.Morgan bergeming di tempatnya. Matanya fokus terarah pada si monster.Kemudian dia mengubah kuda-kudanya, mengepalkan kedua tangan dan bersiap menyerang.Melawan musuh sekuat ini, akan lebih baik baginya jika dia yang aktif menyerang."Ha!!!"Morgan pun berlari, melesat cepat ke depan.Boom!!!!Dia hantamkan tinjunya ke arah si monster. Si monster menahannya dengan menjadikan kedua tangannya perisai
Pukulan Morgan menghantam kedua tangan si monster yang disilangkan di depan mukanya. Saat itu juga, terdengar bunyi retakan yang mengiris dada, diikuti auman panjang dari si monster. "GRRRRAAAAOOOOOOOO!!!!!"Morgan memutar tubuhnya dengan cepat dan menendang si monster tepat di dadanya. Si monster terpelanting jauh. Ambruk. Dan dia tak lekas berdiri lagi seperti tadi. Kedua tangannya hancur. "GRRRAAAOOOOO!!!!!"Si monster kembali mengaum panjang. Tapi aumannya kali ini berbeda dengan yang tadi-tadi. Kali ini, bukan kemarahan yang terasa dominan di auman itu, melainkan kesedihan dan keputusasaan. Mendapati si monster tak juga bangun meski telah beberapa detik berlalu, Morgan membatalkan kuda-kudanya. Masih dengan kedua tangan memancarkan cahaya kuning kemerah-merahan itu, dia berjalan ke arah si monster. Setelah dia cukup dekat dengan si monster, si monster menatapnya. Awalnya Morgan mengira ini perasaannya saja, tapi rupanya si monster memang menangis; sepasang matanya basah