Mendapati mata Morgan tertuju ke belahan dadanya, Keysha seperti mendapat lampu hijau. Dia pun melangkah lebih jauh lagi: memasukkan jari tengahnya ke belahan dadanya itu.“Anda menyukai wanita dengan belahan dada yang dalam, Tuan Morgan?” tanya Keysha, menatap Morgan nakal.Morgan balas menatapnya. Keysha salah mengartikan tatapan lurus Morgan itu sebagai “Morgan tertarik untuk menikmati tubuhnya.”Keysha menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa posisi mereka berdua saat ini tak begitu tertangkap oleh CCTV.Lalu dia menatap Morgan sambil tersenyum nakal, dan mulai melepas dua kancing kemejanya lagi.Refleks, Morgan mengarahkan matanya ke sana. Kali ini Morgan bisa melihat buah dadanya Keysha dengan lebih jelas.Meski masih tertutupi oleh bra warna pink, gunung kembar itu tampak menggairahkan.Keysha, yang kerap menunjukkan buah dadanya ini kepada atasan-atasannya yang tertarik padanya, yakin betul kalau Morgan pun akan bertekuk lutut padanya.Seperti halnya atasan-atasannya yan
Morgan menatap Keysha dengan kening mengerut. Keysha menatapnya penuh arti. "Ayolah, Tuan Morgan. Memangnya Anda bisa menahan dorongan itu lebih lama lagi?" pancing Keysha. Wanita itu kini telah melepas semua kancing kemejanya. Dia lanjutkan dengan mengeluarkan kedua buah dadanya, lantas memelintir putingnya sendiri. Selain menatap Morgan penuh arti, Keysha juga memasang muka nakal, menggigit bibir bawahnya. Morgan merasakan betapa kuatnya tangan kanan Keysha menahan tangan kirinya. 'Wanita ini benar-benar gila,' pikirnya. Tapi Morgan melihat ini sebagai kesempatan untuk memberi si wanita kepedean ini pelajaran. Dia duduk lagi di kursi kemudi. Dia tutup lagi pintu. "Kau mau kita melakukannya sekarang, di sini?" tanya Morgan. Keysha tersenyum, mengangguk, lantas menarik tangan Morgan yang dipegangnya itu, mengarahkannya ke buah dadanya. "Mari kita mulai dengan wahana yang satu ini, Tuan, m" kata Keysha, menjulurkan lidahnya sesaat. Morgan tersenyum. Bukan senyum mesum, tapi
Keysha terkejut dengan cara Morgan bicara padanya.Tidak hanya itu, cara Morgan menatapnya pun membuatnya ketakutan.Ini bukan jenis ketakutan yang biasa dirasakannya saat berada di dekat seorang pria hidung belang.Ketakutan yang dirasakannya saat ini bertolak pada pikiran bahwa Morgan bisa saja menyakitinya dan bahkan menghabisinya.Saking ketakutannya Keysha, tangan dan kakinya sampai gemetar.Matanya membelalak dan dadanya kembang-kempis.“Keluar kau! Turun!” bentak Morgan, mengibaskan tangan Keysha yang dipegangnya itu.Keysha mengaduh kesakitan. Dia kemudian membuka pintu dan turun.Itu dilakukannya nyaris tanpa sadar. Dia dikendalikan oleh rasa takutnya sampai-sampai dia sesaat lupa kalau dia sedang tak mengenakan apa pun.Bruk!Morgan langsung menutup pintu mobilnya itu, dengan keras.Keysha refleks mundur selangkah. Dia memeluk dirinya sendiri sebab angin dingin menghantamnya.“Sampai jumpa, Cantik,” kata Morgan sambil melambaikan tangan, memberi Keysha senyum mengejek.Mobil
"Mohon tenangkan diri Anda, Nyonya Melisa. Ini rumah sakit. Anda tak semestinya berteriak-teriak seperti itu," kata Gaby."Jangan mengajariku, sialan! Kau sama sama dengan si keparat Morgan! Aku mau membawa putriku pulang saat ini juga! Jangan halang-halangi aku!" Sergah Melisa.Saat ini, Melisa dan Gaby sedang berada di koridor, dan suara Melisa memang terlalu kencang. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar situ langsung menoleh ke arah mereka."Nyonya Melisa, mohon pikirkan sekali lagi. Saat ini Nona Agnes..."Plak!Melisa menampar Gaby. Ini sudah tamparan ketiga darinya dalam setengah jam terakhir. Pipi kiri Gaby memerah."Sudah kubilang jangan halang-halangi aku! Lagi pula apa salahnya aku bawa pulang Agnes sekarang, hah? Dia sudah siuman. Yang masih bermasalah darinya hanya ingatannya. Dirawat di sini lebih lama pun tak ada gunanya. Kau pikir aku tak paham itu?!"Lagi-lagi Melisa mengatakannya dengan suara yang kelewat kencang. Orang-orang yang mengamati mereka itu mulai me
"Tuan Morgan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Vivi setelah membungkuk hormat sesaat.“Soal Agnes. Sepertinya aku mau membawanya pulang sekarang saja. Tak apa-apa, kan?” Morgan balik bertanya.“Sebenarnya kalau boleh saya menyarankan, Nona Agnes sebaiknya tetap menjalani rawat inap paling tidak untuk satu minggu ke depan. Dia memang sudah siuman dan kondisi tubuhnya stabil, tapi kita tak tahu apa yang akan terjadi esok atau lusa.”“Misalkan besok atau lusa kondisi Agnes tiba-tiba memburuk, kau tentu bisa kuminta datang ke rumah dan memeriksanya, kan?”“Ah, ya. Tentu saja bisa, Tuan.”“Kalau begitu aku bawa pulang Agnes sekarang saja. Tolong berikan persetujuanmu supaya pegawai-pegawaimu ini bisa segera memprosesnya.”Vivi menoleh menatap dua petugas loket administrasi.Mereka mengangguk hormat padanya. Dari raut muka mereka, terlihat kalau mereka masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Aku memberikan persetujuanku. Kalian proseslah segera,” perintah Vivi.“Baik, Bu Direktur
"Apa katamu, Ma?" tanya Morgan, memutar tubuhnya jadi menghadap Melisa."Aku bilang ceraikan putriku!" ucap Melisa.Meski nada bicaranya meninggi, tampak sekali kali ini kalau dia tak seberani sebelum-sebelumnya.Gerak-geriknya menunjukkan itu. Dia bahkan tak berani lagi menatap mata Morgan lama-lama."Kenapa aku harus menceraikan Agnes, Ma? Apa alasannya?" tanya Morgan, menghampiri ibu mertuanya itu.Tatapan Morgan begitu mengintimidasi. Melisa sampai refleks mundur dan kembali memalingkan muka."Kau sudah membohong kami. Kau pemilik rumah sakit ini, tapi kau selama ini bertingkah seolah-olah kau miskin dan tak punya apa-apa. Kau pikir aku mau punya menantu tukang bohong sepertimu?" cerocos Melisa.Morgan menghentikan langkahnya. Matanya memicing. Ingin sekali dia tertawa, tapi dia menahannya dan hanya tersenyum."Aku telah berkali-kali bilang padamu, Ma, aku hanya akan menceraikan Agnes kalau Agnes sendiri yang memintaku melakukannya," ucap Morgan dengan tenang.Kemudian dia menatap
Morgan memandangi layar ponselnya beberapa lama. 'Siapa lagi sekarang? Siapa yang berani mengancamku begini?' pikirnya Morgan sempat akan membalas pesan ancaman tersebut tapi mengurungkan niat. Dia catat nomor tersebut dan mengirimkannya kepada Kris, meminta Kris mencari tahu segala hal tentang si pemilik nomor. Siapa pun orang itu, dia pastilah tak tahu apa-apa tentang Morgan. Bisa jadi dia telah mencoba mengumpulkan informasi tentang Morgan, tapi yang didapatkannya pastilah hanya hal-hal yang ada di permukaannya saja. 'Apakah dia salah satu dari tiga orang yang disebutkan Jenderal Yudha tadi?' pikir Morgan tiba-tiba. Kemungkinan itu ada saja, dan Morgan cenderung meyakininya. Tapi, dia sama sekali tak gentar apalagi takut. Siapa pun yang akan mencoba menghabisinya, dia siap. Sekarang yang penting dia bawa dulu Agnes dan Melisa ke rumah barunya. "Semuanya sudah siap?" tanya Morgan kepada Gaby yang kini hanya berjarak sepuluh meter saja darinya. "Sudah, Tuan," jawab Gaby. "
Tuuut… tuuut…. tuuut…Si penelepon mengakhiri panggilan begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Morgan.Morgan geram. Dilihatnya lagi layar ponselnya, memastikan bahwa nomor yang barusan menghubunginya adalah nomornya Vivi.‘Itu berarti… saat ini Vivi sedang dalam bahaya di rumah sakit,’ pikir Morgan.Dia mendengus kesal. Dia turuni tangga dengan langkah-langkah cepat.“Tuan Morgan, ini makanan yang Anda pesan untuk Nona Agnes,” ucap Gaby yang muncul dari ruang depan dan berjalan ke arahnya, menunjukkan makanan yang dimaksud.“Kau bawa saja ke atas. Pastikan istriku memakannya. Aku harus pergi sekarang juga,” ucap Morgan dingin, berjalan ke arah Gaby dan melewatinya.“Sesuatu terjadi?” tanya Gaby sambil menoleh.“Ya. Kau tetaplah di sini. Jangan biarkan siapa pun keluar atau masuk,” jawab Morgan tanpa menoleh.Gaby menatap Morgan bingung. Raut muka Morgan begitu tegang. Dia curiga yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang gawat lagi.‘Dia ini… selalu saja mencoba menyelesaikan semuanya
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat