Morgan menatap si resepsionis dengan dengki.Dari tadi dia mencoba bersabar, mengabaikan sikap acuh tak acuh si resepsionis padanya.Kalau tahu si resepsionis akan bertingkah sekurang ajar ini, sudah dari tadi dia membentaknya.“Ayo cepat keluar!” kata si satpam, memegang lengan kanan Morgan dan menariknya.Morgan sempat terseret dua-tiga langkah, tapi kemudian dia kokohkan pijakannya.Si satpam menoleh, menatap Morgan dengan bingung.Tubuh Morgan lebih kecil darinya. Bagaimana bisa orang ini tak bergeser sedikit pun meski dia telah menariknya sekuat tenaga?“Lepaskan tanganku!” ucap Morgan kesal, mengibaskan tangannya hingga tangannya itu terlepas.Dia lantas kembali ke meja si resepsionis. Wanita bermata sipit itu menatapnya lekat-lekat, juga dengan heran.“Aku bilang aku mau melihat-lihat hunian yang dijual di sini. Aku juga bilang kalau aku akan membelinya dan langsung menempatinya hari ini juga kalau aku menemukan hunian yang cocok. Kenapa kau malah memanggil satpam untuk mengusi
Manajer Liu terperenyak. Yang ditunjukkan Morgan padanya bukanlah kartu biasa. Itu adalah black card edisi khusus yang hanya dibuat beberapa seri saja di dunia."Coba kulihat," kata Manajer Liu, mengambil kartu tersebut dan membolak-baliknya, mengeceknya dengan teliti.Dia sempat berharap kalau anggapannya itu keliru, bahwa di kartu tersebut dia akan menemukan sesuatu yang janggal yang menandakan bahwa kartu itu palsu.Tapi, berkali-kali pun dia membolak-baliknya, dia tak juga menemukannya.'Apakah black card ini memang asli?' pikirnya, tak percaya.Matanya membulat dan mulutnya sedikit terbuka.Si resepsionis, yang tak tahu apa pun soal black card di tangan Manajer Liu, menatap sang manajer dengan heran.Dia pikir Manajer Liu akan langsung mengusir si gembel yang mengaku-ngaku klien ini. Tapi, sampai detik ini, tak ada tanda-tanda dia akan melakukannya.Justru, dia melihat perubahan gestur yang mencengangkan dari Manajer Liu.Saat mengembalikan kartu itu ke si gembel, Manajer Liu mel
Mendapati mata Morgan tertuju ke belahan dadanya, Keysha seperti mendapat lampu hijau. Dia pun melangkah lebih jauh lagi: memasukkan jari tengahnya ke belahan dadanya itu.“Anda menyukai wanita dengan belahan dada yang dalam, Tuan Morgan?” tanya Keysha, menatap Morgan nakal.Morgan balas menatapnya. Keysha salah mengartikan tatapan lurus Morgan itu sebagai “Morgan tertarik untuk menikmati tubuhnya.”Keysha menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa posisi mereka berdua saat ini tak begitu tertangkap oleh CCTV.Lalu dia menatap Morgan sambil tersenyum nakal, dan mulai melepas dua kancing kemejanya lagi.Refleks, Morgan mengarahkan matanya ke sana. Kali ini Morgan bisa melihat buah dadanya Keysha dengan lebih jelas.Meski masih tertutupi oleh bra warna pink, gunung kembar itu tampak menggairahkan.Keysha, yang kerap menunjukkan buah dadanya ini kepada atasan-atasannya yang tertarik padanya, yakin betul kalau Morgan pun akan bertekuk lutut padanya.Seperti halnya atasan-atasannya yan
Morgan menatap Keysha dengan kening mengerut. Keysha menatapnya penuh arti. "Ayolah, Tuan Morgan. Memangnya Anda bisa menahan dorongan itu lebih lama lagi?" pancing Keysha. Wanita itu kini telah melepas semua kancing kemejanya. Dia lanjutkan dengan mengeluarkan kedua buah dadanya, lantas memelintir putingnya sendiri. Selain menatap Morgan penuh arti, Keysha juga memasang muka nakal, menggigit bibir bawahnya. Morgan merasakan betapa kuatnya tangan kanan Keysha menahan tangan kirinya. 'Wanita ini benar-benar gila,' pikirnya. Tapi Morgan melihat ini sebagai kesempatan untuk memberi si wanita kepedean ini pelajaran. Dia duduk lagi di kursi kemudi. Dia tutup lagi pintu. "Kau mau kita melakukannya sekarang, di sini?" tanya Morgan. Keysha tersenyum, mengangguk, lantas menarik tangan Morgan yang dipegangnya itu, mengarahkannya ke buah dadanya. "Mari kita mulai dengan wahana yang satu ini, Tuan, m" kata Keysha, menjulurkan lidahnya sesaat. Morgan tersenyum. Bukan senyum mesum, tapi
Keysha terkejut dengan cara Morgan bicara padanya.Tidak hanya itu, cara Morgan menatapnya pun membuatnya ketakutan.Ini bukan jenis ketakutan yang biasa dirasakannya saat berada di dekat seorang pria hidung belang.Ketakutan yang dirasakannya saat ini bertolak pada pikiran bahwa Morgan bisa saja menyakitinya dan bahkan menghabisinya.Saking ketakutannya Keysha, tangan dan kakinya sampai gemetar.Matanya membelalak dan dadanya kembang-kempis.“Keluar kau! Turun!” bentak Morgan, mengibaskan tangan Keysha yang dipegangnya itu.Keysha mengaduh kesakitan. Dia kemudian membuka pintu dan turun.Itu dilakukannya nyaris tanpa sadar. Dia dikendalikan oleh rasa takutnya sampai-sampai dia sesaat lupa kalau dia sedang tak mengenakan apa pun.Bruk!Morgan langsung menutup pintu mobilnya itu, dengan keras.Keysha refleks mundur selangkah. Dia memeluk dirinya sendiri sebab angin dingin menghantamnya.“Sampai jumpa, Cantik,” kata Morgan sambil melambaikan tangan, memberi Keysha senyum mengejek.Mobil
"Mohon tenangkan diri Anda, Nyonya Melisa. Ini rumah sakit. Anda tak semestinya berteriak-teriak seperti itu," kata Gaby."Jangan mengajariku, sialan! Kau sama sama dengan si keparat Morgan! Aku mau membawa putriku pulang saat ini juga! Jangan halang-halangi aku!" Sergah Melisa.Saat ini, Melisa dan Gaby sedang berada di koridor, dan suara Melisa memang terlalu kencang. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar situ langsung menoleh ke arah mereka."Nyonya Melisa, mohon pikirkan sekali lagi. Saat ini Nona Agnes..."Plak!Melisa menampar Gaby. Ini sudah tamparan ketiga darinya dalam setengah jam terakhir. Pipi kiri Gaby memerah."Sudah kubilang jangan halang-halangi aku! Lagi pula apa salahnya aku bawa pulang Agnes sekarang, hah? Dia sudah siuman. Yang masih bermasalah darinya hanya ingatannya. Dirawat di sini lebih lama pun tak ada gunanya. Kau pikir aku tak paham itu?!"Lagi-lagi Melisa mengatakannya dengan suara yang kelewat kencang. Orang-orang yang mengamati mereka itu mulai me
"Tuan Morgan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Vivi setelah membungkuk hormat sesaat.“Soal Agnes. Sepertinya aku mau membawanya pulang sekarang saja. Tak apa-apa, kan?” Morgan balik bertanya.“Sebenarnya kalau boleh saya menyarankan, Nona Agnes sebaiknya tetap menjalani rawat inap paling tidak untuk satu minggu ke depan. Dia memang sudah siuman dan kondisi tubuhnya stabil, tapi kita tak tahu apa yang akan terjadi esok atau lusa.”“Misalkan besok atau lusa kondisi Agnes tiba-tiba memburuk, kau tentu bisa kuminta datang ke rumah dan memeriksanya, kan?”“Ah, ya. Tentu saja bisa, Tuan.”“Kalau begitu aku bawa pulang Agnes sekarang saja. Tolong berikan persetujuanmu supaya pegawai-pegawaimu ini bisa segera memprosesnya.”Vivi menoleh menatap dua petugas loket administrasi.Mereka mengangguk hormat padanya. Dari raut muka mereka, terlihat kalau mereka masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Aku memberikan persetujuanku. Kalian proseslah segera,” perintah Vivi.“Baik, Bu Direktur
"Apa katamu, Ma?" tanya Morgan, memutar tubuhnya jadi menghadap Melisa."Aku bilang ceraikan putriku!" ucap Melisa.Meski nada bicaranya meninggi, tampak sekali kali ini kalau dia tak seberani sebelum-sebelumnya.Gerak-geriknya menunjukkan itu. Dia bahkan tak berani lagi menatap mata Morgan lama-lama."Kenapa aku harus menceraikan Agnes, Ma? Apa alasannya?" tanya Morgan, menghampiri ibu mertuanya itu.Tatapan Morgan begitu mengintimidasi. Melisa sampai refleks mundur dan kembali memalingkan muka."Kau sudah membohong kami. Kau pemilik rumah sakit ini, tapi kau selama ini bertingkah seolah-olah kau miskin dan tak punya apa-apa. Kau pikir aku mau punya menantu tukang bohong sepertimu?" cerocos Melisa.Morgan menghentikan langkahnya. Matanya memicing. Ingin sekali dia tertawa, tapi dia menahannya dan hanya tersenyum."Aku telah berkali-kali bilang padamu, Ma, aku hanya akan menceraikan Agnes kalau Agnes sendiri yang memintaku melakukannya," ucap Morgan dengan tenang.Kemudian dia menatap