Seorang wanita yang mengaku-ngaku polisi? Morgan langsung teringat si polwan yang dia minta ditugaskan sebagai mata-mata di bar itu. Morgan pun berdiri, berjalan mendekati jendela. Dia memberi isyarat kepada Agnes kalau dia akan menelepon seseorang dulu. Tak lama kemudian, Gaby menjawab panggilannya. “Dia sendirian? Atau ada orang lain bersamanya?” [Sendirian. Dia datang dengan sepeda motor. Apa kau mengenalnya?] “Tidak juga, tapi kupikir aku tahu orang yang kau maksud. Bilang saja padanya kalau aku sedang bekerja. Tapi, tak perlu kau jelaskan aku kerja di mana.” [Oke. Itu saja?] “Ya. Kalau dia masih tanya-tanya soal aku, minta dia menghubungiku saja. Mestinya dia menyimpan nomorku.” [Oke.] Percakapan berakhir. Morgan kembali ke tempat duduknya tadi. “Ada apa?” tanya Agnes. “Ada yang datang ke rumah mencariku,” jawab Morgan. “Siapa? Ada masalah lagi?” Agnes menatap Morgan dengan cemas. Morgan balas menatapnya, memberinya senyum yang teduh. “Tenang saja, Sayangku. Dia hany
Dari melihat penampilan pria itu yang necis, orang-orang di bar sudah bisa menebak kalau dia bukan orang biasa.Tapi mereka terkejut saat mendengar pengakuan pria itu. Siapa sangka, putra seorang wakil presiden mengunjungi bar di kota kecil seperti Kota NZ.Morgan sendiri terdiam. Ditatapnya pria itu yang kini bangkit berdiri. Dia sudah berkali-kali berhadapan dengan orang pongah seperti ini. Gertakan seperti tak berarti apa pun baginya.Reynold, si putra wakil presiden itu, salah memahami diamnya Morgan. Dia pikir, Morgan akhirnya menyadari kalau dia dalam bahaya.Bagaimana tidak? Dia baru saja menampar anak wakil presiden.“Tahu sekarang kesalahanmu, hah? Cepat berlutut meminta maaf! Aku masih beri kau satu kesempatan. Mudah saja bagiku untuk menyeretmu ke penjara. Cepat lakukan!” desaknya.Orang-orang mengarahkan matanya pada Morgan dan Reynold, sambil bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.Si bartender sendiri, yang kini sudah mulai mengelap gelas-gelas lagi, sesekali m
Jason, manajer bar yang bertanggung jawab atas para hostess, menatap Vanessa dengan muka tak senang. Setelah itu dia menatap Morgan. Sorot matanya memancarkan permusuhan.“Apa maksudnya ini? Apakah di bar ini pelanggan yang sedang dilayani bisa diganggu seperti ini?” ucap Morgan.Vanessa menatap Morgan sambil tersenyum tipis. Dia tak menyangka Morgan cepat juga membaca situasi. Dia sedang bertingkah seolah-olah dia memang tamu VIP bar yang sedang dilayani oleh Vanessa.“Aku sedang melayani tamu, Jason. Bisa kita bicara nanti saja?” sindir Vanessa.Jason mendengus. Ditatapnya lagi Morgan dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Tamu katamu? Sejak kapan tamu VIP kita berpenampilan sebiasa ini? Aku curiga nanti dia tak akan sanggup membayar. Kau membuang-buang waktumu dengan melayani orang seperti ini!” kata Jason.Morgan menatapnya tajam. Satu lagi orang yang menilai dia dari penampilannya. Mengapa orang-orang seperti ini begitu banyak? Tidak bisakah mereka semua dimusnahkan saja dari duni
Si gundul menghantamkan tinjunya ke perut Morgan.Orang-orang di bar terdiam dengan mata membulat. Mereka mengira Morgan akan muntah darah dan ambruk.Tapi, bukan itu yang terjadi. Morgan masih berdiri tegap seperti semula. Dia tak bergeser sedikit pun.Si gundul, menyadari ada yang tak beres, menatap Morgan dengan kerutan di kening.“Kau sudah selesai?” tanya Morgan, balas menatap si gundul dan mulai memelintir tangan kanan si gundul.“Arghhh!” si gundul mengerang.Sekejap kemudian Morgan membantingnya ke lantai.Brukk!Orang-orang di bar melongo. Apa yang terjadi ini benar-benar di luar bayangan mereka.Tak seorang pun dari mereka berpikir Morgan bisa menjatuhkan pria gempal yang badannya hampir dua kali lebih tebal darinya.Dan bukan hanya itu, kini Morgan membuat si gundul gempal itu tak berkutik. Tangannya yang kanan menekan kepala si gundul sementara tangannya yang kiri menarik tangan kanan si gundul ke atas.“A-ampun! Ampuuuuun!” teriak si gundul.“Sekarang kau minta ampun, hah
Reynold ambruk. Dia langsung pingsan saat itu juga. Si Gundul meninjunya tepat di ulu hati.“Aku sudah menghajarnya. Sekarang, biarkan kami pergi,” kata si gundul, menoleh menatap Morgan.Morgan mengangguk. “Bawalah dia bersama kalian,” katanya.Si gundul pun meminta anak-anak buahnya untuk membopong Reynold keluar bar. Dia sendiri baru keluar setelah menatap Morgan beberapa lama dan mengangguk.Ketegangan itu akhirnya sirna. Para pengunjung bar, juga si bartender dan karyawan-karyawan bar yang lain, kini bisa bernapas lega.Cukup mengherankan bahwa tak ada kerusakan yang terjadi, mengingat di kesempatan-kesempatan sebelumnya, setiap kali ada orang-orang yang mengacau di sini pastilah ada meja-meja atau kursi-kursi yang rusak.Dan pandangan semua orang kini tertuju kepada Morgan. Harus mereka akui, sosok Morgan menjadi kunci dari perginya para pengacau itu tanpa sempat membuat kerusakan.Diam-diam, mereka yang semula sempat mengira Morgan akan habis itu kini menatapnya dengan penuh ke
"Yang benar saja? Memangnya pikiranku sekotor itu?" tanggap Morgan kesal."Bukannya memang begitu?" sindir Gaby.Morgan menghela napas dan memutar bola mata. Entah kenapa, dia kerap kesulitan berkomunikasi dengan wanita jika bukan untuk urusan profesional."Begini. Aku ingin memintamu untuk diam-diam mengawal istriku ketika dia berada di luar rumah. Ini untuk berjaga-jaga kalau-kalau seseorang mengincarnya. Apa yang terjadi akhir-akhir ini membuatku berpikir kalau ancaman bisa datang dari mana saja, kapan saja," tutur Morgan.Gaby menatap Morgan sambil memicingkan mata."Kau setidak percaya itu pada istrimu? Apa jangan-jangan kau khawatir dia punya selingkuhan di luar sana?" celetuk Gaby."Aku tidak sedang bercanda!" sergah Morgan, kesal.Perubahan pada raut muka Morgan membuat Gaby menanggapi pemrintaannya ini dengan serius."Oke. Katakanlah ada orang-orang yang mau mencelakai istrimu di luar sana. Kau memintaku untuk selalu mengawasi gerak-gerik istrimu itu? Setiap saat?" tanya Gaby
Di kantor Wistara Group…“Sekarang angkat kaki kalian dari sini! Cepat!” bentak Henry.Dia berada di ruangan yang selama beberapa minggu terakhir ini dipakai oleh Agnes untuk menggarap proyek Charta Group. Tangannya menunjuk ke pintu yang sedikit terbuka.“Nona Agnes, mari saya bantu berdiri,” kata sekretarisnya Felisia.Agnes memang baru saja tersungkur gara-gara Henry mendorongnya. Sejak tiba di kantor Wistara Group belasan menit lalu, Henry telah berkali-kali memarahi Agnes dan mengusirnya.Agnes perlahan berdiri, membetulkan setelan kantornya yang sedikit kusut.Dia menatap Henry dengan benci. Di ruangan itu, di samping Henry, ada juga Robert.“Baik. Baik, Pa. Aku akan pergi. Akan kubuktikan padamu kalau aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Akan kutunjukkan padamu kalau aku mampu,” ucap Agnes.“Tak usah banyak omong! Pergi kau sana! Pergi!” bentak Henry lagi.Ayah-anak ini saling menatap dengan benci. Robert terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan. Meski dia tak akrab deng
Setelah puluhan tembakan dilepaskan, orang-orang itu berhenti.Semua kaca jendela mobil sudah pecah. Tubuh mobil juga bolong-bolong d sana-sini. Ban-bannya kempes.Sulit dibayangkan siapa pun yang berada di dalamnya masih hidup.“Kau, coba cek!” kata salah satu dari mereka.Seorang pria mendekati mobil, sambil menodongkan senjata apinya, bersiap menembak kalau-kalau ada gerakan.Dia melihat Morgan yang berada di belakang jok kemudian. Tak bergerak. Kepalanya tertunduk.“Bagaimana? Aman?” tanya orang yang tadi.“Aman sepertinya, Bos. Eh, tapi sebentar…”Pria itu memutar ke arah lain, mendekati bagian mobil di dekat jok kemudi. Dan semakin lama, dia semakin heran.Morgan memang tak lagi bergerak. Tapi, terlihat ada noda darah atau apa pun. Bagaimana bisa?Dan di titik itulah, mata Morgan terbuka. Dia tendang pintu mobil di samping kanannya hingga terlempar menghantam si pria yang mendekatinya.Pria-pria bersenjata lain tercengang. Beberapa langsung melepaskan tembakan lagi tapi tiba-tib