Si gundul menghantamkan tinjunya ke perut Morgan.Orang-orang di bar terdiam dengan mata membulat. Mereka mengira Morgan akan muntah darah dan ambruk.Tapi, bukan itu yang terjadi. Morgan masih berdiri tegap seperti semula. Dia tak bergeser sedikit pun.Si gundul, menyadari ada yang tak beres, menatap Morgan dengan kerutan di kening.“Kau sudah selesai?” tanya Morgan, balas menatap si gundul dan mulai memelintir tangan kanan si gundul.“Arghhh!” si gundul mengerang.Sekejap kemudian Morgan membantingnya ke lantai.Brukk!Orang-orang di bar melongo. Apa yang terjadi ini benar-benar di luar bayangan mereka.Tak seorang pun dari mereka berpikir Morgan bisa menjatuhkan pria gempal yang badannya hampir dua kali lebih tebal darinya.Dan bukan hanya itu, kini Morgan membuat si gundul gempal itu tak berkutik. Tangannya yang kanan menekan kepala si gundul sementara tangannya yang kiri menarik tangan kanan si gundul ke atas.“A-ampun! Ampuuuuun!” teriak si gundul.“Sekarang kau minta ampun, hah
Reynold ambruk. Dia langsung pingsan saat itu juga. Si Gundul meninjunya tepat di ulu hati.“Aku sudah menghajarnya. Sekarang, biarkan kami pergi,” kata si gundul, menoleh menatap Morgan.Morgan mengangguk. “Bawalah dia bersama kalian,” katanya.Si gundul pun meminta anak-anak buahnya untuk membopong Reynold keluar bar. Dia sendiri baru keluar setelah menatap Morgan beberapa lama dan mengangguk.Ketegangan itu akhirnya sirna. Para pengunjung bar, juga si bartender dan karyawan-karyawan bar yang lain, kini bisa bernapas lega.Cukup mengherankan bahwa tak ada kerusakan yang terjadi, mengingat di kesempatan-kesempatan sebelumnya, setiap kali ada orang-orang yang mengacau di sini pastilah ada meja-meja atau kursi-kursi yang rusak.Dan pandangan semua orang kini tertuju kepada Morgan. Harus mereka akui, sosok Morgan menjadi kunci dari perginya para pengacau itu tanpa sempat membuat kerusakan.Diam-diam, mereka yang semula sempat mengira Morgan akan habis itu kini menatapnya dengan penuh ke
"Yang benar saja? Memangnya pikiranku sekotor itu?" tanggap Morgan kesal."Bukannya memang begitu?" sindir Gaby.Morgan menghela napas dan memutar bola mata. Entah kenapa, dia kerap kesulitan berkomunikasi dengan wanita jika bukan untuk urusan profesional."Begini. Aku ingin memintamu untuk diam-diam mengawal istriku ketika dia berada di luar rumah. Ini untuk berjaga-jaga kalau-kalau seseorang mengincarnya. Apa yang terjadi akhir-akhir ini membuatku berpikir kalau ancaman bisa datang dari mana saja, kapan saja," tutur Morgan.Gaby menatap Morgan sambil memicingkan mata."Kau setidak percaya itu pada istrimu? Apa jangan-jangan kau khawatir dia punya selingkuhan di luar sana?" celetuk Gaby."Aku tidak sedang bercanda!" sergah Morgan, kesal.Perubahan pada raut muka Morgan membuat Gaby menanggapi pemrintaannya ini dengan serius."Oke. Katakanlah ada orang-orang yang mau mencelakai istrimu di luar sana. Kau memintaku untuk selalu mengawasi gerak-gerik istrimu itu? Setiap saat?" tanya Gaby
Di kantor Wistara Group…“Sekarang angkat kaki kalian dari sini! Cepat!” bentak Henry.Dia berada di ruangan yang selama beberapa minggu terakhir ini dipakai oleh Agnes untuk menggarap proyek Charta Group. Tangannya menunjuk ke pintu yang sedikit terbuka.“Nona Agnes, mari saya bantu berdiri,” kata sekretarisnya Felisia.Agnes memang baru saja tersungkur gara-gara Henry mendorongnya. Sejak tiba di kantor Wistara Group belasan menit lalu, Henry telah berkali-kali memarahi Agnes dan mengusirnya.Agnes perlahan berdiri, membetulkan setelan kantornya yang sedikit kusut.Dia menatap Henry dengan benci. Di ruangan itu, di samping Henry, ada juga Robert.“Baik. Baik, Pa. Aku akan pergi. Akan kubuktikan padamu kalau aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Akan kutunjukkan padamu kalau aku mampu,” ucap Agnes.“Tak usah banyak omong! Pergi kau sana! Pergi!” bentak Henry lagi.Ayah-anak ini saling menatap dengan benci. Robert terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan. Meski dia tak akrab deng
Setelah puluhan tembakan dilepaskan, orang-orang itu berhenti.Semua kaca jendela mobil sudah pecah. Tubuh mobil juga bolong-bolong d sana-sini. Ban-bannya kempes.Sulit dibayangkan siapa pun yang berada di dalamnya masih hidup.“Kau, coba cek!” kata salah satu dari mereka.Seorang pria mendekati mobil, sambil menodongkan senjata apinya, bersiap menembak kalau-kalau ada gerakan.Dia melihat Morgan yang berada di belakang jok kemudian. Tak bergerak. Kepalanya tertunduk.“Bagaimana? Aman?” tanya orang yang tadi.“Aman sepertinya, Bos. Eh, tapi sebentar…”Pria itu memutar ke arah lain, mendekati bagian mobil di dekat jok kemudi. Dan semakin lama, dia semakin heran.Morgan memang tak lagi bergerak. Tapi, terlihat ada noda darah atau apa pun. Bagaimana bisa?Dan di titik itulah, mata Morgan terbuka. Dia tendang pintu mobil di samping kanannya hingga terlempar menghantam si pria yang mendekatinya.Pria-pria bersenjata lain tercengang. Beberapa langsung melepaskan tembakan lagi tapi tiba-tib
Henry berada di kantor polisi Kota HK. Dia dibawa ke sebuah ruangan khusus tempat interogasi dilakukan. Dua polisi yang membawanya ke situ belum muncul lagi sejak mereka keluar. Drrrrt... Ponsel yang dipegangnya bergetar. Pesan masuk dari Robert. [Ini sulit, Pa. Bukti-bukti yang Papa sebutkan itu asalnya bukan dari kita tapi dari mereka. Jujur saja, aku pun tak tahu bagaimana cara mereka mendapatkannya.]Henry mendengus kesal. Kenapa sekarang anak sulungnya ini jadi tak bisa diandalkan? Di sepanjang perjalanan ke kantor polisi tadi, Henry menghubungi Robert via chat, memintanya menyingkirkan semua hal yang bisa dijadikan bukti untuk menunjukkan keterhubungan Wistara Group dengan Tengkorak Merah. Berkali-kali dia lontarkan permintaannya itu. Berkali-kali itu juga Robert mengeluhkan betapa sulitnya melakukannya. Jika saja saat ini Robert ada di hadapannya, ingin rasanya dia melemparkan ponselnya ke muka anak sulungnya itu. "Dasar anak sialan! Kau yang mengacau, aku yang harus m
Henry mengamuk di ruangan interogasi. Oscar, si pengacara yang dihubunginya itu, menolak datang ke kantor polisi saat itu juga. Dia beralasan ada kasus yang lebih penting yang harus ditanganinya.“Sialan! Sialan kau, Oscar! Setelah semua yang diberikan Keluarga Wistara padamu bertahun-tahun lalu itu, berani-beraninya kau menolak permintaanku!” rutuk Henry.Dilemparkannya kursi yang tadi dibanting-bantingnya ke dinding. Matanya tertuju pada meja interogasi yang terbaring menyamping.Bertahun-tahun lalu, Oscar adalah pengacara yang dia sewa untuk menjebloskan Morgan ke penjara. Oscar pastilah tahu kalau bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang diberikan Keluarga Wistara saat itu palsu, tapi dia tetap memproses kasus itu sesuai permintaan Henry.Itu karena bayaran yang dia terima sangat besar. Terlalu besar untuk ditolak.Tapi barusan, bisa-bisanya, Oscar menolak untuk membantunya. Penolakan itu bahkan dilontarkan Oscar sebelum Henry menjelaskan padanya kasus yang menjeratnya.Henry tak
Morgan mengamati pesan chat itu dalam diam. Dia kemudian mengirim pesan balasan:[Siapa ini? Kau yakin tak salah sambung?]Pesan balasan tiba tak lama kemudian:[Nanti kau akan tahu sendiri, Dewa Perang. Nanti, ketika saatnya tiba.]Morgan memicingkan mata. Orang ini tahu siapa dirinya. Itu artinya dia tak salah sambung.Tapi siapa dia? Dan yang lebih penting, dari mana dia tahu nomornya?Senyum sumringah itu lenyap dari wajah Morgan. Kini keningnya penuh kerutan. Dia merapat ke dinding dan menghubungi Kris.[Ada yang bisa saya bantu, Dewa Perang?]"Kris, aku ingin memintamu melacak nomor. Lakukan saja seperti biasa. Sebentar lagi aku kirim nomornya."[Siap, Dewa Perang.]Panggilan pun diakhiri. Morgan mencatat nomor si orang misterius barusan dan mengirimnya ke Kris.Dia masukkan ponselnya ke sakunya. Siapa pun si orang misterius ini, dia serahkan pada Kris.Kini dia harus menikmati waktu makan siangnya dengan istri tercintanya.Saat Morgan tiba di ruangan kerjanya Agnes, tepat saat d
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat