Morgan mengamati pesan chat itu dalam diam. Dia kemudian mengirim pesan balasan:[Siapa ini? Kau yakin tak salah sambung?]Pesan balasan tiba tak lama kemudian:[Nanti kau akan tahu sendiri, Dewa Perang. Nanti, ketika saatnya tiba.]Morgan memicingkan mata. Orang ini tahu siapa dirinya. Itu artinya dia tak salah sambung.Tapi siapa dia? Dan yang lebih penting, dari mana dia tahu nomornya?Senyum sumringah itu lenyap dari wajah Morgan. Kini keningnya penuh kerutan. Dia merapat ke dinding dan menghubungi Kris.[Ada yang bisa saya bantu, Dewa Perang?]"Kris, aku ingin memintamu melacak nomor. Lakukan saja seperti biasa. Sebentar lagi aku kirim nomornya."[Siap, Dewa Perang.]Panggilan pun diakhiri. Morgan mencatat nomor si orang misterius barusan dan mengirimnya ke Kris.Dia masukkan ponselnya ke sakunya. Siapa pun si orang misterius ini, dia serahkan pada Kris.Kini dia harus menikmati waktu makan siangnya dengan istri tercintanya.Saat Morgan tiba di ruangan kerjanya Agnes, tepat saat d
Makan siang, yang semula diduga Morgan akan sangat menyenangkan itu, rupanya berakhir dengan tak begitu baik.Kecemburuan yang menguasai Morgan membuat obrolan mereka di separuh akhir makan siang terasa pahit. Agnes berkali-kali meminta Morgan untuk tak memaksanya menjawab pertanyaan yang tak ingin dia jawab.Keluar dari kantor pusat Charta Group, perasaan Morgan tidak enak. Kini dia mengemudikan mobilnya di jalan raya yang lumayan padat. Bunyi mesin mobil terdengar asing."Siapa si pria berkacamata itu sebenarnya? Cih! Aku lupa. Tadi mestinya aku ke ruangan kerjanya Felisia dulu, menanyakan orang itu padanya," gerutunya.Morgan memang curiga, dengan si pria berkacamata itulah istrinya tadi teleponan di sela-sela makan siang mereka.Kembali terbayang wajah istrinya yang berseri-seri. Senyum istrinya itu yang lebar. Apakah obrolan mereka semenyenangkan itu? Morgan benar-benar dikuasai oleh rasa cemburu. Padahal, belum tentu juga Agnes teleponan dengan pria berkacamata itu. Bisa saja A
Saat Morgan membuka mata, dia mendapati dia berada di sebuah ruangan yang luas.Tangan dan kakinya terikat ke rantai-rantai besi yang dipasang ke pilar-pilar di sekitarnya. Dia nyaris tak bisa menggerakkannya.Plok! Plok! Plok!Seseorang bertepuk tangan.“Luar biasa. Bahkan setelah ditembak dalam jarak sedekat itu pun, kau masih belum mati juga. Memang kau ini istimewa,” cibir seseorang itu.Tak lain dan tak bukan, dia adalah orang yang menembak Morgan saat di kafe tadi.Sayangnya Morgan tak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia tahu, selepas tembakan tadi itu, kantung matanya terasa berat dan setelah itu gelap.Entah bagaimana caranya orang ini membawanya dari kafe ke sini.“Siapa kau?” tanya Morgan, menatap orang itu tajam.Orang itu memiringkan kepala, menatap Morgan dengan kening penuh kerutan.“Kau masih bertanya siapa aku? Bukankah kau sudah melihatnya sendiri dengan matamu?” kata orang itu.“Yang kulihat adalah seseorang yang mengenakan topeng Rudolf dan berbicar
Rentetan tembakan dilepaskan ke arah orang-orangnya Blue.Mereka pun berjatuhan. Sebagian berteriak dan sebagian melepaskan tembakan ke teman mereka sendiri.Situasi di ruangan itu mendadak kacau. Sementara itu tentara-tentara kini memasuki ruangan dengan persenjataan lengkap, menembaki orang-orangnya Blue yang mencoba bersembunyi sambil memberikan perlawanan.Blue sendiri terlalu terkejut untuk melakukan apa pun. Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan mata membulat.Tentara-tentara ini, dari mana datangnya? Bagaimana mereka bisa tahu keberadaan dia dan orang-orangnya? Begitu yang dia pikirkan.Dan saat dia menoleh ke arah Morgan dan bermaksud menembaknya, dia tercengang.Morgan tak ada di sana. Rantai-rantai itu tak lagi mengikatnya.Sesaat kemudian…Bugh!Sebuah hantaman mengenai punggungnya, membuatnya muntah darah.Blue berusaha melawan dengan melepaskan tembakan ke arah belakangnya, tapi peluru itu malah bersarang di pundak salah satu anak buahnya.Drak!Bugh!Pistol di
Orang-orang yang berada di kantor pusat Charta Group tersentak dan panik mendengar bunyi ledakan keras.Asap hitam tebal kemudian membubung ke udara. Ledakan itu terjadi di pintu masuk mobil. Seorang satpam yang bertugas di sana tewas seketika.“Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?”“Kita diserang teroris?”“Tapi kenapa? Kenapa mereka menjadikan kita target?”Bukan hanya ledakan itu yang membuat orang-orang di situ panik. Tepat sebelum ledakan itu terjadi, seorang karyawan wanita yang baru saja keluar dari pintu lobi langsung ambruk.Di bahunya yang mengalirkan darah itu bersarang peluru. Seorang penembak jitu, entah dari arah mana, baru saja menembaknya.Untung saja wanita itu tak sampai mati. Meski dalam keadaan takut dan panik, beberapa orang yang kebetulan berada di situ langsung membawanya masuk ke lobi.Saat ini wanita itu sedang berada di ruang perawatan. Peluru yang besarang di bahunya itu sedang dikeluarkan. Mestinya dia akan baik-baik saja.Di antara orang-orang yang panik
“Green, kau kenapa?” tanya Black.Dilihatnya temannya itu mundur beberapa langkah dari jendela. Darah mengcur deras dari tangan Green yang kiri.Belum sempat Green menjawa, dua tembakan datang lagi, yang satu memecahkan jendela dan yang satu lagi membuat senjata yang dipegang Green terpental.Black terbelalak. Dia baru saja akan beranjak menolong Green ketika layar laptopnya menunjukkan sesuatu yang menarik perhatiannya.“Apa ini? Apa maksudnya ini?!”Black mencoba melakukan sesuatu dengan laptopnya, tapi sepertinya dia telah kehilangan kendali terhadap bom-bom yang akan diledakkannya itu.Dengan muka kusut, dia ambil pengendali jarak jauh manual dan mengaktifkannya.Saat dia menekan tombol merah di situ, dia menunggu sesuatu terjadi. Tapi, tak terjadi apa pun.“Ini… tak mungkin…” gumamnya.Saat itu juga terdengar bunyi baling-baling helikopter, semakin lama semakin kencang.Black menatap ke jendela yang gordennya berkibar-kibar itu. Sekilas dilihatnya Green mencoba berdiri sambil men
Morgan tak siap mendengar pertanyaan dari Agnes itu.Apa hubungan insiden yang baru saja terjadi itu dengannya? Apakah ini momen yang tepat baginya untuk mengungkapkan jati dirinya?Felisia, yang berdiri tepat di hadapan Morgan, menyadari kebingungan bosnya ini. Meski tak tahu persis apa yang sebenarnya dipikirkan Morgan, dia tahu kalau Morgan tak ingin istrinya tahu keterlibatannya dalam penyelesaian insiden barusan.“Silakan masuk, rekan-rekan tentara. Kalian kami beri akses penuh untuk memeriksa gedung ini,” kata Felisia.Morgan meliriknya. Felisia sedang berusaha menyelamatkannya, bertingkah seolah-olah wanita itu sendiri yang memanggil tentara-tentara ini.“Baik, Bu,” balas Kris, lalu dia menginstruksikan anak-anak buahnya untuk mengikutinya.Mereka pun berlalu hingga akhirnya menghilang dari pandangan Morgan.“Agnes, suamimu ini datang untuk memastikan kau baik-baik saja. Dia sangat mengkhawatirkanmu,” kata Felisia kemudian, menatap Agnes.Sebab saat ini Agnes bekerja sebagai ka
Pria berjambang itu menggunakan bahasa Inggris. Dia tampaknya memang orang asing. Dari perawakan dan bentuk mukanya, dia agaknya berasal dari Eropa.“Lepaskan tanganmu dari bahuku,” Morgan memperingatkan pria kaukasian itu, juga dalam bahasa Inggris.Pria itu memelototi Morgan. Dia tak suka dengan sikap menantang Morgan. Dalam pandangannya, pria pribumi seperti Morgan tak pantas bersikap seperti itu padanya.Dia pun menguatkan cengkeramannya di bahu kiri Morgan, berkata, “Jawab dulu pertanyaanku, baru kau boleh memintaku melakukan sesuatu.”Morgan tentu merasakan cengkeraman kuat si pria kaukasian. Tapi, itu tak berarti apa-apa untuknya. Dia menatap pria itu dengan malas.“John, apa yang kau lakukan? Ini restoran. Kau mau bikin keributan di sini?” protes si wanita di hadapan Morgan.“Kau diam saja, Martha. Biar kuberi pria tengik ini pelajaran,” sergah John.Morgan memutar bola matanya. Kenapa di saat dia sedang harus memantau situasi istrinya malah ada kejadian seperti ini?Bisa saja