Di kantor Wistara Group…“Sekarang angkat kaki kalian dari sini! Cepat!” bentak Henry.Dia berada di ruangan yang selama beberapa minggu terakhir ini dipakai oleh Agnes untuk menggarap proyek Charta Group. Tangannya menunjuk ke pintu yang sedikit terbuka.“Nona Agnes, mari saya bantu berdiri,” kata sekretarisnya Felisia.Agnes memang baru saja tersungkur gara-gara Henry mendorongnya. Sejak tiba di kantor Wistara Group belasan menit lalu, Henry telah berkali-kali memarahi Agnes dan mengusirnya.Agnes perlahan berdiri, membetulkan setelan kantornya yang sedikit kusut.Dia menatap Henry dengan benci. Di ruangan itu, di samping Henry, ada juga Robert.“Baik. Baik, Pa. Aku akan pergi. Akan kubuktikan padamu kalau aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Akan kutunjukkan padamu kalau aku mampu,” ucap Agnes.“Tak usah banyak omong! Pergi kau sana! Pergi!” bentak Henry lagi.Ayah-anak ini saling menatap dengan benci. Robert terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan. Meski dia tak akrab deng
Setelah puluhan tembakan dilepaskan, orang-orang itu berhenti.Semua kaca jendela mobil sudah pecah. Tubuh mobil juga bolong-bolong d sana-sini. Ban-bannya kempes.Sulit dibayangkan siapa pun yang berada di dalamnya masih hidup.“Kau, coba cek!” kata salah satu dari mereka.Seorang pria mendekati mobil, sambil menodongkan senjata apinya, bersiap menembak kalau-kalau ada gerakan.Dia melihat Morgan yang berada di belakang jok kemudian. Tak bergerak. Kepalanya tertunduk.“Bagaimana? Aman?” tanya orang yang tadi.“Aman sepertinya, Bos. Eh, tapi sebentar…”Pria itu memutar ke arah lain, mendekati bagian mobil di dekat jok kemudi. Dan semakin lama, dia semakin heran.Morgan memang tak lagi bergerak. Tapi, terlihat ada noda darah atau apa pun. Bagaimana bisa?Dan di titik itulah, mata Morgan terbuka. Dia tendang pintu mobil di samping kanannya hingga terlempar menghantam si pria yang mendekatinya.Pria-pria bersenjata lain tercengang. Beberapa langsung melepaskan tembakan lagi tapi tiba-tib
Henry berada di kantor polisi Kota HK. Dia dibawa ke sebuah ruangan khusus tempat interogasi dilakukan. Dua polisi yang membawanya ke situ belum muncul lagi sejak mereka keluar. Drrrrt... Ponsel yang dipegangnya bergetar. Pesan masuk dari Robert. [Ini sulit, Pa. Bukti-bukti yang Papa sebutkan itu asalnya bukan dari kita tapi dari mereka. Jujur saja, aku pun tak tahu bagaimana cara mereka mendapatkannya.]Henry mendengus kesal. Kenapa sekarang anak sulungnya ini jadi tak bisa diandalkan? Di sepanjang perjalanan ke kantor polisi tadi, Henry menghubungi Robert via chat, memintanya menyingkirkan semua hal yang bisa dijadikan bukti untuk menunjukkan keterhubungan Wistara Group dengan Tengkorak Merah. Berkali-kali dia lontarkan permintaannya itu. Berkali-kali itu juga Robert mengeluhkan betapa sulitnya melakukannya. Jika saja saat ini Robert ada di hadapannya, ingin rasanya dia melemparkan ponselnya ke muka anak sulungnya itu. "Dasar anak sialan! Kau yang mengacau, aku yang harus m
Henry mengamuk di ruangan interogasi. Oscar, si pengacara yang dihubunginya itu, menolak datang ke kantor polisi saat itu juga. Dia beralasan ada kasus yang lebih penting yang harus ditanganinya.“Sialan! Sialan kau, Oscar! Setelah semua yang diberikan Keluarga Wistara padamu bertahun-tahun lalu itu, berani-beraninya kau menolak permintaanku!” rutuk Henry.Dilemparkannya kursi yang tadi dibanting-bantingnya ke dinding. Matanya tertuju pada meja interogasi yang terbaring menyamping.Bertahun-tahun lalu, Oscar adalah pengacara yang dia sewa untuk menjebloskan Morgan ke penjara. Oscar pastilah tahu kalau bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian yang diberikan Keluarga Wistara saat itu palsu, tapi dia tetap memproses kasus itu sesuai permintaan Henry.Itu karena bayaran yang dia terima sangat besar. Terlalu besar untuk ditolak.Tapi barusan, bisa-bisanya, Oscar menolak untuk membantunya. Penolakan itu bahkan dilontarkan Oscar sebelum Henry menjelaskan padanya kasus yang menjeratnya.Henry tak
Morgan mengamati pesan chat itu dalam diam. Dia kemudian mengirim pesan balasan:[Siapa ini? Kau yakin tak salah sambung?]Pesan balasan tiba tak lama kemudian:[Nanti kau akan tahu sendiri, Dewa Perang. Nanti, ketika saatnya tiba.]Morgan memicingkan mata. Orang ini tahu siapa dirinya. Itu artinya dia tak salah sambung.Tapi siapa dia? Dan yang lebih penting, dari mana dia tahu nomornya?Senyum sumringah itu lenyap dari wajah Morgan. Kini keningnya penuh kerutan. Dia merapat ke dinding dan menghubungi Kris.[Ada yang bisa saya bantu, Dewa Perang?]"Kris, aku ingin memintamu melacak nomor. Lakukan saja seperti biasa. Sebentar lagi aku kirim nomornya."[Siap, Dewa Perang.]Panggilan pun diakhiri. Morgan mencatat nomor si orang misterius barusan dan mengirimnya ke Kris.Dia masukkan ponselnya ke sakunya. Siapa pun si orang misterius ini, dia serahkan pada Kris.Kini dia harus menikmati waktu makan siangnya dengan istri tercintanya.Saat Morgan tiba di ruangan kerjanya Agnes, tepat saat d
Makan siang, yang semula diduga Morgan akan sangat menyenangkan itu, rupanya berakhir dengan tak begitu baik.Kecemburuan yang menguasai Morgan membuat obrolan mereka di separuh akhir makan siang terasa pahit. Agnes berkali-kali meminta Morgan untuk tak memaksanya menjawab pertanyaan yang tak ingin dia jawab.Keluar dari kantor pusat Charta Group, perasaan Morgan tidak enak. Kini dia mengemudikan mobilnya di jalan raya yang lumayan padat. Bunyi mesin mobil terdengar asing."Siapa si pria berkacamata itu sebenarnya? Cih! Aku lupa. Tadi mestinya aku ke ruangan kerjanya Felisia dulu, menanyakan orang itu padanya," gerutunya.Morgan memang curiga, dengan si pria berkacamata itulah istrinya tadi teleponan di sela-sela makan siang mereka.Kembali terbayang wajah istrinya yang berseri-seri. Senyum istrinya itu yang lebar. Apakah obrolan mereka semenyenangkan itu? Morgan benar-benar dikuasai oleh rasa cemburu. Padahal, belum tentu juga Agnes teleponan dengan pria berkacamata itu. Bisa saja A
Saat Morgan membuka mata, dia mendapati dia berada di sebuah ruangan yang luas.Tangan dan kakinya terikat ke rantai-rantai besi yang dipasang ke pilar-pilar di sekitarnya. Dia nyaris tak bisa menggerakkannya.Plok! Plok! Plok!Seseorang bertepuk tangan.“Luar biasa. Bahkan setelah ditembak dalam jarak sedekat itu pun, kau masih belum mati juga. Memang kau ini istimewa,” cibir seseorang itu.Tak lain dan tak bukan, dia adalah orang yang menembak Morgan saat di kafe tadi.Sayangnya Morgan tak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia tahu, selepas tembakan tadi itu, kantung matanya terasa berat dan setelah itu gelap.Entah bagaimana caranya orang ini membawanya dari kafe ke sini.“Siapa kau?” tanya Morgan, menatap orang itu tajam.Orang itu memiringkan kepala, menatap Morgan dengan kening penuh kerutan.“Kau masih bertanya siapa aku? Bukankah kau sudah melihatnya sendiri dengan matamu?” kata orang itu.“Yang kulihat adalah seseorang yang mengenakan topeng Rudolf dan berbicar
Rentetan tembakan dilepaskan ke arah orang-orangnya Blue.Mereka pun berjatuhan. Sebagian berteriak dan sebagian melepaskan tembakan ke teman mereka sendiri.Situasi di ruangan itu mendadak kacau. Sementara itu tentara-tentara kini memasuki ruangan dengan persenjataan lengkap, menembaki orang-orangnya Blue yang mencoba bersembunyi sambil memberikan perlawanan.Blue sendiri terlalu terkejut untuk melakukan apa pun. Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan mata membulat.Tentara-tentara ini, dari mana datangnya? Bagaimana mereka bisa tahu keberadaan dia dan orang-orangnya? Begitu yang dia pikirkan.Dan saat dia menoleh ke arah Morgan dan bermaksud menembaknya, dia tercengang.Morgan tak ada di sana. Rantai-rantai itu tak lagi mengikatnya.Sesaat kemudian…Bugh!Sebuah hantaman mengenai punggungnya, membuatnya muntah darah.Blue berusaha melawan dengan melepaskan tembakan ke arah belakangnya, tapi peluru itu malah bersarang di pundak salah satu anak buahnya.Drak!Bugh!Pistol di