Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban.
"Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih.Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga.Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan.Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap."I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah."Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua.Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu.Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap-endap melewati jendela kamarnya.Laila menghela nafas berat, ia mengusap wajahnya kemudian melepaskan dekapan Aban yang tertidur pulas. Meraih pakaiannya yang berserakan di lantai kamar.Siapa mereka? Apakah mulai malam ini kamar Laila menjadi sasaran orang ronda malam? Pertanyaan-pertanyaan itu ada dalam benak Laila yang enggan membangunkan Aban.Akan demikian, Aban yang merupakan salah satu preman meresahkan di kampung tersebut, terjaga dari tidurnya. "Kamu mau ke mana, Darling?" tanyanya dengan suara berat."Ssht! Aku mendengar ada orang di luar sana yang lagi memata-matai kita, Baby," ucap Laila sambil mengenakan pakaian.Mendengar penuturan seperti itu dari sang istri, Aban langsung bangun dari tidurnya mengenakan pakaian dengan tergesa. "Sial! Mereka cari mati, telah berani mengganggu kenyamanan istriku!" sesalnya menyalakan lampu kamar.Benar saja, ketika lampu kamar menyala, terdengar suara langkah kaki yang berhamburan berlari menuju arah depan.Ini bukan sekali dua kali orang ronda memata-matai kamar Laila sejak pernikahan siri mereka terdengar simpang siur di kampung tersebut.Laila merupakan wanita tertutup sejak perceraiannya dengan Very. Begitu juga dengan Aban yang selalu membuat onar menurut emak-emak di kampung halaman mereka.Bagi Laila, Aban sosok pria baik walau memiliki background yang tidak baik beberapa waktu lalu. Kegagalan Aban dengan sang mantan istri sehingga mengorbankan perasaan ketiga buah hatinya membuat Laila menerima Aban, karena melihat dari sisi yang berbeda.Begitu banyak cara orang-orang ingin memisahkan Laila dengan Aban, tapi keduanya justru memutuskan untuk menikah dengan cara terburu-buru. Ada apa dengan pernikahan Laila dan Aban? Kenapa mereka tidak sabar menunggu hingga proses perceraian ditetapkan oleh pengadilan agama dan sah secara hukum, sehingga tidak memiliki resiko bagi pernikahan mereka berdua dikemudian hari.Pagi menyapa, matahari bersinar terang benderang menyinari kamar Laila yang berukuran cukup luas melalui tirai kamar.Laila yang tak bisa memejamkan mata sejak pukul dua dini hari, hanya terduduk di bibir ranjang sambil mengusap lembut kepala sang suami yang tertidur pulas setelah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.Aban mengerjabkan matanya, menatap wajah Laila yang tengah memainkan gawainya setelah membersihkan diri."Pagi, Baby." Kecup Laila lembut di kepala Aban penuh kelembutan."Hmm! Aku masih ngantuk, jangan ganggu dulu!" tutur Aban memberi punggung dan menjauhkan tubuhnya dari Laila.Kaget! Tentu! Laila sedikit kaget dengan sikap Aban yang jauh dari kata romantis.Sikap Aban yang selalu kasar jika tidurnya terganggu, karena sentuhan tangan Laila membuat wanita itu berdecak kesal."Galak bener!" umpat Laila beranjak dari ranjang, memperbaiki rambut panjangnya kemudian memilih keluar dari kamar.Laila menghela nafas panjang, menggeleng kemudian menutup pintu kamar dengan sangat pelan.Ketika langkah kakinya berjalan menuju dapur, terdengar suara Nasir dari arah belakang."Kamu sudah bangun, Laila?" tanya Nasir mendekati anak keduanya.Laila mengangguk, ia mengikat rambutnya tinggi seraya menjawab, "Iya, Pa. Papa sudah sarapan?"Perlahan Nasir menjawab pertanyaan Laila dengan pertanyaan, "Belum, kamu mau makan apa?""Hmm, bagaimana kalau aku masak nasi goreng. Bang Aban kayaknya malas keluar kamar, karena tadi malam ada orang ronda yang mendekati kamar aku!" tutur Laila sambil mencari bahan-bahan masakan dari dalam kulkas.Kening Nasir mengkerut, ia tidak menyangka bahwa akan menjadi serumit ini setelah menikahkan putri kesayangannya dengan harapan mendapat menantu dari kampung almarhumah sang istri."Apa yang mereka cari?" tanya Nasir tak begitu paham tujuan orang ronda memata-matai kamar anak menantunya."Entah lah, Pa! Aku juga nggak tahu, apa tujuan mereka. Masalahku sudah terlalu banyak, makanya aku tidak begitu memperdulikan mereka lagi," ucap Laila sambil berjalan menuju kitchen set. "Apakah Very masih mengganggu?" tanya Nasir masih penasaran.Laila menghela nafas berat, ia mengusap wajahnya kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain, "Karena masalah ini aku menjadi tahanan kota, dan tidak bisa keluar dari kota ini. Aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan kejadian hutang piutang sama Rita yang aku tagih beberapa hari lalu bersama Aban ke kampungnya!" Jujurnya santai."Hah? Hutang?! Hutang apa?!" tanya Nasir masih tak percaya dengan penjelasan Laila.Laila menepis tangannya ke udara, "Sudah lah, Pa! Ini hutang lama yang belum diselesaikan Rita sama aku.""Banyak?" tanya Nasir dibuat penasaran."Enggak, Pa. Cuma lima puluh juta saja, karena dia minta tolong waktu itu sama aku," jelas Laila dengan tenang.Mendengar angka yang disebut oleh Laila, seketika darah Nasir mendidih tersulut emosi. "Kamu ngapain ngasih dia pinjaman sebesar itu? Buktinya ada?"Laila menggeleng, cepat ia menoleh ke arah Nasir yang berdiri di sampingnya, kemudian berkata, "Sudah lah, Pa. Biarkan saja, dia hanya membayar sepuluh juta seminggu lalu, karena Bang Aban yang membantu menagih."Kedua bola mata Nasir membulat besar. Ia tidak menyangka bahwa Laila diperas habis-habisan oleh Keluarga Very selama pernikahan. "Kamu bilang biar saja! Papa akan memenjarakan Very, jika kamu tidak mau mempermasalahkan hutang piutang sama kakaknya itu!" tegasnya tanpa mau dibantah.Kepala Laila semakin berdenyut. Ia memahami bagaimana kecewanya Nasir paskah bercerai dari Very. "Pa, jangan dibahas lagi. Semua akan diurusin Bang Aban. Papa tenang dulu, ya?""Enggak bisa tenang Laila! Very itu menceraikan kamu tidak baik. Dia mencampakkan kamu, seperti wanita sampah yang tidak berharga. Dia pikir dia siapa?" Nasir semakin meluapkan rasa kecewanya terhadap mantan menantu yang tidak memiliki etika. "Pa!""Apa!" Hardik Nasir semakin tidak senang dengan sikap Laila yang begitu santai menghadapi keluarga sang mantan suami. "Cepat kamu gugat cerai di pengadilan! Ambil kedua anak kamu yang ada sama Very! Biar tahu rasa dia bagaimana rasanya jauh dari anak-anak!"Cepat Laila membantah semua keputusan Nasir, "Tidak begitu juga caranya, Pa. Anak-anak sangat dekat dengan Papinya. Enggak mungkin aku merebut mereka, karena akan berdampak pada mental dan psikologis mereka!""Hah? Mental, psikologis?" Nasir semakin tersulut api amarah. "Dengar, ya! Kita ini berdarah minang. Jika kamu berpisah, maka anak-anak ikut sama kamu karena mereka masih dibawah umur, Laila!""Tapi bukan berarti anak-anak harus diperebutkan dengan cara seperti ini, Pa." Pinta Laila berusaha menenangkan pikiran Nasir."Terus? Bagaimana? Apa harus menunggu mereka besar, dan tidak ingat siapa ibunya? Apa itu mau kamu, huh?"Kedua bola mata Laila terpejam. Ia tidak menyangka bahwa sang papa akan terus memojokkannya agar mau membawa anak-anak berkumpul bersama. "Bagaimana caranya, Pa? Sementara otak anak-anakku sudah didoktrin oleh Very!"Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia