Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya.
Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain."Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban."Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya.Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus pergi meninggalkan rumah orang tuanya demi nama baik kedua keluarga belah pihak.Katakan peraturan kampung itu terlalu memberatkan bagi dua insan yang sah secara agama. Namun, aturan adat harus dijalani dan ini menjadi pengalaman pertama bagi Laila juga Aban yang ingin bahagia walau dengan cara tak mudah. Namun menjadi pesakitan di kampung sendiri.Tepat pukul sebelas malam, Laila berpamitan kepada Nasir untuk pergi dalam kurun waktu beberapa hari."Pa, Laila pergi dulu." Peluknya erat pada tubuh Nasir dengan erat.Dengan lembut Nasir mengusap punggung ramping putrinya. "Ya, kamu baik-baik sama Aban. Jangan sampai pernikahan kamu yang ketiga ini gagal lagi Laila!"Anggukan kecil Laila menyiratkan beribu penyesalan atas sikap serta keputusan kilatnya ketika menerima pinangan Aban.Katakan lah Laila egois, tidak memikirkan dampak baik juga buruk ketika mengambil keputusan menikah dengan Aban yang tak diketahui apa niat pria itu sebenarnya.Keduanya kini berada di dalam kamar hotel mewah yang tentu saja seluruh biaya dibebankan Aban kepada Laila.Perasaan Laila semakin tak karuan, otaknya berkecamuk. Dalam benaknya masih terbayang wajah tua Nasir yang sedih ketika melepaskan dirinya.Perlahan, tangan Aban mendekap erat tubuh ramping Laila seraya berkata, "Aku merindukan mu, Sayang ..."Gegas Laila melepaskan dekapan Aban, kemudian membalikkan badannya menatap lekat wajah kurus yang sudah beberapa hari tak ditemuinya."Apa begini hukuman bagi orang yang menikah siri di kampung kita?" tanya Laila mengangkat satu alisnya, menatap penuh sesal.Aban tertawa kecil, "Ya! Sekarang kita sudah diusir dari kampung sendiri!" jawabnya terdengar enteng."Terus, bagaimana?" tanya Laila masih tidak percaya."Ya, kita pergi, foya-foya sampai kita kembali!" ucapnya sambil meraih benda pipih milik Laila yang tergeletak di meja rias kamar hotel.Mendengar dan melihat cara Aban yang jauh dari sikap manis diawal membuat Laila tersulut api amarah."Kamu mau ngapain?" tanya Laila seketika melihat sang suami duduk di sofa."Judi!" jawab Aban tanpa perasaan berdosa.Ingin rasanya Laila menarik rambut ikal Aban yang terlihat acak-acakan, tapi tak dilakukannya. Mengingat pria yang ada bersama saat ini merupakan suaminya.Terjebak. Hanya kata itu yang ada dalam benak Laila malam itu. Ia menahan tangis juga amarah demi menyelamatkan pernikahan yang masih seumur jagung.Malam itu Laila memilih diam. Ia berusaha tenang, tanpa mau berdebat dengan Aban. Pria yang ia bela dihadapan keluarga, ternyata memiliki kepribadian diluar ekspektasinya sebagai seorang wanita karir juga mantan istri Veri yang jauh dari judi serta narkoba."Kamu bisa top-up dana ke akunku?" tanya Aban.Laila menghela nafas berat, sejujurnya ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan mereka. "Kenapa harus judi lagi, Baby?" Ia bertanya balik."Isikan saja, Sayang. Kalau kita kaya, semua orang akan memandang baik pada kita!" tukasnya tanpa menatap sang istri.'Hah? Sejak kapan berjudi membuat kaya?' sesal Laila masih memendam dalam hati.Tanpa pikir panjang, Laila mengirimkan dana seratus ribu ke account Aban untuk berjudi.Kini, sudah lebih dari empat hari pasangan suami istri itu berada di kamar hotel dalam pelarian selama pernikahan siri mereka berdua.Dengan raut wajah semrawut, Laila membangunkan Aban yang masih terlelap dalam tidurnya."Baby bangun! Aku lapar, kita makan keluar yuk ..." Rengek Laila meringkuk dalam dekapan Aban.Namun, pria berkulit hitam itu justru membentak Laila dengan suara beratnya, "Kamu bisa pesan di restoran! Sana lah, aku ngantuk!"Laila tersentak. Seketika ia terhenyak akan bentakan Aban yang terdengar sangat kasar juga jauh dari kata romantis."Kamu kok kasar banget sama aku?" tanya Laila kesal beringsut meninggalkan ranjang kamar hotel tersebut."Karena kamu itu sudah menjadi istriku!" jawab Aban tanpa menoleh.Kening Laila mengernyit heran. Memandangi tubuh telanjang sang suami yang tak mengenakan sehelai benang pun. "Jadi, kalau kita sudah menikah nggak ada baik-baiknya? Nggak ada romantis-romantisnya? Kamu anggap aku cewek apaan?" umpatnya semakin tak sabar.Mendengar ucapan sang istri seperti itu, dengan mudahnya Aban menjawab, "Istri aku lah!"'What? Jadi kalau sudah istri, haruskah diperlakukan kasar?' umpat Laila dalam hati.Brak!Pintu kamar tertutup rapat, setelah dibanting keras oleh Laila yang memilih pergi meninggalkan Aban seorang diri.Hal itu menjadi kejutan luar biasa bagi Aban yang menganggap Laila merupakan wanita lemah dan takut akan kehilangan dirinya. "Hei Laila! Kamu mau kemana?"Terdengar teriakan Laila untuk pertama kali ditelinga Aban, "Aku mau makan, kamu mau mati kelaparan ya, terserah!" tuturnya tanpa memperdulikan Aban yang berlari kecil mengejar sang istri.Cepat Aban mengejar sang istri yang berlalu meninggalkan kamar sambil mengenakan baju kaos dengan posisi terbalik. 'Sial! Ternyata perempuan ini sangat menyebalkan ...' Ia mengumpat sepanjang pengejarannya."Laila, Laila Sayang. Tunggu aku, kamu mau makan di mana? Nanti kamu tersesat!" Ucap Aban sedikit terengah, seraya mengusap wajah yang tampak kusut.Langkah kaki Laila terhenti seketika. Ia menoleh ke belakang melihat sang suami yang tersenyum tanpa perasaan berdosa memperlakukannya."Aku pikir kamu nggak lapar, karena sibuk sama dunia judi kamu!" umpat Laila karena kesal.Aban menghela nafas panjang, ia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan sang istri yang sepenuhnya sangat baik padanya. Tangan kekar itu mengusap rambut Laila, sambil menyematkan bagian anak rambut ke telinga."Kamu ini kenapa? Jangan marah-marah, nanti cepat tua! Kita makan di restoran hotel saja." Ia meraih tangan Laila, kemudian merangkul pundak sang istri sambil berjalan menuju restoran.Ini pertama kali Laila diperlakukan manis seperti itu oleh Aban selama kebersamaan mereka.Wajah cantik alami tanpa make-up itu hanya tersenyum dalam kebimbangan. Laila berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, karena telah berani menikah dengan pria yang tidak memiliki masa depan saat itu.Pernikahan apa ini? Kenapa harus menghadapi realita kehidupan seperti ini? Harus lari dari kampung, ancaman penjara juga denda yang menurutnya tidak adil.Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia