Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban.
Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal."Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan.Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya.Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat.Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?"Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas."Kamu menganggap aku istri seperti apa? Sudah lebih empat hari kita berada di sini, kerjaan kamu hanya judi dan tidur! Bangun kalau lapar, tanpa memikirkan aku!" Tegas Laila dengan dada turun naik, serta air mata yang masih tertahan.Wajah Aban termangu. Ia terdiam beribu bahasa, tanpa tahu harus menjawab apa.Laila kembali membentak Aban, "Jawab!"Kedua bola mata itu saling menantang. Tidak ada keinginan dari keduanya untuk berdamai. Semua itu terlihat dari ketidaknyamanan Aban yang mulai dituntut oleh Laila sebagai seorang suami."Kamu mau aku seperti apa, huh?" tanya Aban terdengar kesal.Laila menyunggingkan senyuman tipisnya, "Sesuai janji kamu ke papaku! Ingat baby, aku ini istri, bukan selingkuhan kamu! Paham sampai disini?"Tampak Aban susah payah menelan ludahnya. Tangan kekar itu berusaha meraih pundak sang istri, tapi cepat ditepis oleh Laila. "Kamu ini kenapa?""Masih bertanya, aku kenapa? Hmm!? Are you oke? Ogh, are you crazy?" Sesal Laila beranjak dari tempat duduknya, kemudian berlalu meninggalkan restoran juga Aban seorang diri di sana."Tolong jangan bahasa Inggris Laila, karena aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan!" Hardik Aban menggeram, mencoba menahan lengan Laila agar tidak meninggalkannya.Segala umpatan yang masih tersimpan dalam hati Laila seketika membuat dadanya menggelegak panas. Bagaimana tidak, Aban yang awalnya menjadi pria hangat sejak dekat dengan Laila seketika berubah drastis saat ijab kabul terucap.Pernikahan yang masih seumur jagung itu akan berakhir tanpa tahu harus berbuat apa, dan akan berdampak tidak baik bagi keluarga besarnya.Pantas saja semua keluarga meminta Laila agar tidak melanjutkan pernikahan dengan Aban. Ternyata sikap Aban yang selalu berubah dan semaunya, menjadi pertimbangan bagi beberapa keluarga. Ditambah, predikat residivis yang masih melekat dalam benak warga kampung mereka.Laila menghempaskan tubuhnya di ranjang kamar hotel, mendekap bantal yang menjadi sandarannya. Hatinya berkecamuk penuh amarah, ia tak menyangka bahwa karir juga hidupnya akan sia-sia sejak menikah dengan Aban."Laki-laki sialan, tidak peka! Maunya menang sendiri. Dia pikir, empat hari di sini bayarnya pake daun!" Ia mengumpat, menutup tubuhnya menggunakan selimut.Perlahan, terasa tangan Aban mengusap kaki Laila yang terbuka. Namun, Laila menepis sentuhan pria kurus tersebut. Walau sesungguhnya ia sangat menginginkan sentuhan dalam suasana hati nan berkecamuk.Kini perasaan Laila terasa perih juga sakit. Ia harus jauh dari sang papa, demi mengikuti aturan adat agar tidak membayar denda ke nagari. Ditambah belum ada pencabutan laporan dari Very yang harus membuatnya tidak dapat menjalin komunikasi dengan kedua putri kesayangannya.Katakan Laila terlalu terburu-buru dalam menerima pinangan Aban kala itu. Akan tetapi, semua sudah menjadi takdir dalam kehidupan percintaan Laila."Ahh, Baby!" Desahan kembali terdengar di kamar hotel tersebut, setelah Aban berhasil meloloskan seluruh penghalang antara mereka.Aban menenggelamkan wajahnya di cerug leher Laila ketika mencapai pelepasannya. "Jangan tinggalkan aku, Laila," tuturnya lembut sambil mengusap rambut sang istri.Dengan sangat hati-hati, perlahan Laila mendorong tubuh Aban yang berada di atasnya, memperbaiki posisi tidur mereka berdua agar dapat berpandangan."Kamu tidak ingin aku meninggalkanmu, tapi sikap mu sangat menyebalkan selama kita berada di sini."Cepat Aban mengusap lembut punggung sang istri, kemudian mendekap tubuh ramping itu. Berulang kali ia mengecup kening Laila untuk menenangkan.Berbagai upaya Aban ingin melupakan sang mantan istri, akan tetapi ada setitik rasa bersalah yang tersirat dari tatapan matanya.Laila yang merasakan perubahan Aban sejak mereka menikah, wanita itu justru mendongakkan wajahnya untuk menatap mata coklat pria yang sudah menjadi suaminya itu. "Apa yang kamu pikirkan? Apa masih memikirkan mantan istri mu?"Mendengar pertanyaan Laila yang bisa membaca pikiran Aban. Pria itu justru menepis semua ucapan sang istri sirinya, "Aku tidak pernah memikirkan dia, tapi aku memikirkan anak-anakku!" tegasnya.Laila menyunggingkan senyumnya, ia beranjak dari ranjang peraduan itu untuk membersihkan diri seraya berkata, "Jangan pernah berpura-pura mencintai ku, karena aku tahu apa yang ada dalam benakmu!" umpatnya.Aban yang merasa dirinya dijadikan tersangka, cepat menepis tuduhan itu, "Dari tadi, kamu mencari salahku terus! Ada apa dengan kamu?"Laila melempar gawai miliknya ke arah sang suami, yang menjadi alat komunikasi Aban bersama anak-anaknya beberapa hari kemarin."Kamu menganggap aku ini apa, simpanan atau istri sungguhan?!" Sesal Laila kemudian mengenakan pakaiannya. "Kamu bilang, kamu sudah pisah dari mantan istrimu, tapi masih berharap balik dengan dia!" hardiknya semakin tak tertahankan."Silahkan ceraikan aku, dan kembali sama mantan kamu itu!" tambah Laila sebagai bentuk ketidaksukaannya atas sikap pria tersebut.Aban yang sadar akan salahnya, langsung berdiri dan mengenakan pakaiannya. Kali ini ia membenarkan semua ucapan Laila. "Kenapa kamu membaca pesanku?"Laila tertawa kecil, "Kamu lupa itu handphone siapa?" tunjuknya pada benda pipih yang masih tergeletak di atas ranjang."Ya, itu handphone kamu!" Angguk Aban, tanpa bergeming dari tempat ia berdiri."Terus!? Salah aku! Kalau aku melihat semua chating-an kamu dengan mantan istrimu yang sangat merendahkan harga dirimu sebagai seorang laki-laki, sadar nggak!" teriak Laila dengan suara serak menggetarkan seisi kamar mereka.Gegas Aban mendekap tubuh Laila yang bergetar karena tak kuasa menahan tangisnya, seraya berbisik pelan. "Aku lakukan itu agar dia tidak melaporkan pernikahan dan memperpanjang masalah kita, Laila."Merasa dirinya tak dihargai, Laila justru mendorong tubuh Aban agar melepas pelukan, "Apa dengan mengatakan bahwa aku dan kamu berpisah?""Laila, dengarkan aku!""Enggak!" Pekik Laila semakin menggelegar karena perasaan kecewa. "Aku nggak mau meneruskan pernikahan ini, kalau kamu masih berharap sama dia!" Sesalnya dengan dada menggelegak panas. "Apa yang sudah aku korbankan, tak sebanding dengan apa yang kamu berikan ke aku!"Aban menggeleng, ia tidak menyangka bahwa Laila akan mengetahui secepat ini apa yang dilakukannya. "Aku minta maaf, tapi aku tidak ingin berdebat!""Baik, ceraikan aku! Karena aku tidak ingin melanjutkan pernikahan yang sangat menjijikkan ini!" Laila tak mampu membendung rasa sesak di dadanya yang bersandar di dinding kamar nan sejuk.Hancurnya perasaan Laila karena telah dibohongi oleh pria yang berjanji akan membahagiakannya, ternyata hanya tinggal janji dalam merebut hatinya.Apakah ini salah Laila atau Aban? Atau mungkin, cara Aban yang tidak pernah tahu bagaimana pekanya seorang Laila yang sangat berbeda dengan sang mantan istri, Sinta."Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia