Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya.
Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua."Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut.Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya."Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut."Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila.Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia bersama pria bernama Aban yang telah di laksanakan tiga hari lalu.Pertanyaan wanita berseragam itu, mengisyaratkan bahwa Laila telah berani melakukan kesalahan di instansi pemerintah, walau dirinya hanya orang sipil yang bertugas sebagai sekretaris."Maksud Uni, apa?" tanya Laila berusaha tenang dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, karena perasaan gugup."Kamu bertanya, apa maksud saya, huh?" jawab wanita yang biasa di sapa Desy tersebut.Laila menghela nafas berat, ia mencondongkan tubuhnya agar mendekat dan tidak di dengar oleh pihak lain, tapi tak diacuhkan Desy."Saya ke sini untuk melakukan pemeriksaan atas tuduhan perzinahan yang kamu lakukan, karena belum resmi bercerai dari Very!" tegas Desy tanpa basa-basi.Seketika Laila menelan ludahnya. Ia dibuat pening bahkan tidak menyangka akan mendapatkan penyerangan seperti itu dari Very."Ta-tapi, Un!""Tidak ada tapi, tapi! Selesai makan siang, kamu saya tunggu di kantor!"Jantung Laila seakan berhenti berdetak, nafas seakan sesak, tenggorokan tercekat karena merasa kering dan tidak nyaman.Rasa ketakutan yang Laila ketahui beberapa waktu lalu di rasakan Aban, ternyata kini berbalik menimpa dirinya. Apa yang harus Laila lakukan? Bagaimana cara Laila menghubungi Aban, sementara pria berusia 38 tahun itu tidak memiliki alat komunikasi seperti kebanyakan orang saat ini."Hei, Laila!" hardik Desy sebelum meninggalkan meja kerja Laila.Laila memberi hormat seraya menjawab, "Siap, Un!""Oke, saya tunggu di kantor! Permisi!"Laila hanya melihat wanita itu berlalu begitu saja meninggalkan ruangan. Pandangannya semakin berkunang-kunang. Ia kembali menghela nafas pelan, kemudian membaca surat yang sudah ternganga lebar di meja kerjanya.Satu persatu Laila uraikan dengan kedua bola mata membulat besar. Sebagai seorang sipil untuk membantu aparatur negara, ia berulang kali mengusap wajahnya kasar akan tuduhan sang mantan suami yang telah menceraikannya secara agama dua tahun silam.Laila menarik kursi duduknya, membaca ulang atas ancaman penjara yang akan ia jalani, jika pernikahan sirinya dengan Aban terbuka di khalayak umum.Perlahan Laila menghempaskan badannya di kursi kebanggaan, meremas kuat rambutnya yang tergerai. Membaca berulang kali surat panggilan yang sangat memalukan baginya. 'Kenapa Very menuntut ku sekarang? Bukannya beberapa waktu lalu aku pernah menikah siri dengan pria lain, tapi kenapa harus pernikahanku yang ini di tuntut oleh pak tua itu!' Ia kembali mengumpat kesal dalam hati.Laila tidak dapat berpikir jernih, hatinya berkecamuk seketika. Perasaannya semakin tak karuan, karena pernikahannya dengan Aban masih berumur tiga hari. Apakah Laila harus menghubungi Very? Mempertanyakan maksud kedatangan surat panggilan dari pihak kepolisian tersebut.Berulang kali Laila membolak-balikkan benda pipih yang ada di atas meja kerjanya, agar tidak terjadi salah paham lagi seperti beberapa waktu lalu.Perceraian kedua Laila, tapi kini bersama Very menyisakan rasa sakit yang mendalam bagi kedua buah hati mereka hingga saat ini. Kini harus mendapatkan penyerangan kembali, dengan maksud yang masih menjadi tanda tanya.Jam dinding berdentang begitu cepat. Laila harus memenuhi panggilan penyidik kepolisian siang itu. Tentu setelah menghubungi Aban melalui telepon keponakan."Selamat siang.""Siang. Bisa saya bertemu dengan Bu Desy?"Seorang pria bertubuh tinggi besar yang menyapa Laila lebih dulu, justru membukakan pintu ruangan yang ada di belakangnya, tanpa mengajukan pertanyaan lagi. "Silahkan, Bu!"Laila mengangguk, berusaha tenang dan tersenyum. Menikmati sejuknya hembusan air conditioner ruangan yang menusuk kulit. Walau hatinya masih penuh kecemasan, karena belum bertemu dengan Aban yang berjanji akan mendampinginya siang itu.Lebih dari dua jam, Laila menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang tak terelakkan, sehingga membuat dirinya harus berkata apa adanya."Jadi, kamu tidak tahu undang-undang pernikahan?" tanya Desy semakin memojokkan Laila."Sejujurnya saya tidak tahu undang-undang pernikahan yang sudah diperbarui." Laila menunduk sambil meremas kuat tangannya sendiri.Laila Pratiwi, wanita berstatus janda yang kini sudah berusia 32 tahun. Pernikahan diam-diam yang ia lakukan tiga hari lalu, hanya untuk menutupi fitnah yang beredar selama kedekatannya dengan Aban.Tentu ini bukan hal yang mudah bagi Laila, karena legalitas perceraiannya dengan Very belum di sahkan secara hukum.Tangan halus itu tampak bertautan di atas meja, dan sesekali tatapan Laila beradu pandang dengan Desy."Kamu tahu, ini merupakan tindakan pidana, Laila?" tanya Desy kembali bersuara tegas."Maaf, Un. Sejujurnya, saya tidak mengetahui tentang hal ini. Saya benar-benar tidak mengetahui ini salah atau benar," tutur Laila dengan wajah menunduk malu.Desy tersenyum tipis, "Mana ada orang yang dinas di pemerintahan buta akan hukum pidana!" Ia menggeleng, meremehkan Laila yang masih terus menundukkan wajahnya.Kembali Desy bertanya, "Apakah suami kamu yang sekarang juga tidak mengetahui resiko pernikahan siri kalian saat ini?"Laila kembali menggeleng. Ia terjebak dalam pernikahan siri yang mereka lakukan dalam hitungan hari. Walau beberapa keluarga besar menentang keputusannya dan Aban kala itu, tapi mereka tetap melaksanakan pernikahan tersebut demi menjaga nama baik kedua belah pihak keluarga.Sudah hampir tiga jam Laila berada di ruang pemeriksaan. Bibir pucat nan tampak mengering, hanya menjawab lebih dua puluh pertanyaan Desy yang tak pernah berhenti.Tuduhan perzinahan yang Laila lakukan dalam ikatan pernikahan dengan Very, hingga bukti surat pernikahan siri dengan Aban sudah sampai di tangan Desy saat ini."Kamu dituntut hukuman dua tahun penjara, Laila!" Ungkap Desy penuh penekanan.Mendengar tuntutan yang terlontar dari bibir Desy, seketika wajah cantik Laila berubah merah padam. Cepat ia menggeleng dan menyangkal semua tuduhan itu. "Apa? Tuntutan dua tahun penjara?" Berulang kali Laila mengusap wajahnya kasar."Tidak Un! Ini tidak adil, karena saya sudah bercerai dari Very dua tahun lalu!" Elak Laila menegaskan kembali kepada Desy."Tapi kamu masih tinggal satu rumah selama itu, kan?" jawab Desy terdengar enteng.Laila mengangguk. "Ya! Itu saya lakukan demi kedua anak kami! Tapi kami sudah pisah ranjang, Uni!"Brak!Terdengar Desy menepuk meja kerjanya agar Laila tidak terus membela diri. "Kamu tidak memiliki bukti secara tertulis, Laila, dan pengaduan Very akan diproses secara hukum!""Tapi Un!" Laila memohon."Ini sudah melanggar hukum, Laila! Tetap semua akan kita proses, silahkan hubungi kuasa hukum kamu, atau hubungi suami kamu saat ini!" tegas Desy sambil berdiri untuk membawa Laila masuk ke jeruji besi.Laila semakin panik, ia tidak menyangka bahwa sore itu menjadi hari terakhirnya menghirup udara kebebasan. "Tolong Un, saya mohon karena saat ini saya masih menjadi saksi, belum menjadi tersangka!""Kami akan menunggu kedatangan Very, dan silahkan kamu ikuti saja petugas itu!" Tunjuk Desy tanpa ingin dibantah.Namun, ketika Laila akan dibawa oleh dua orang petugas kepolisian. Terdengar suara tegas dari arah belakang yang memanggil nama wanita cantik tersebut."Tunggu! Mau dibawa ke mana Laila!?"Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
"Kamu mau ke mana, Laila?!" tanya Aban ketika melihat sang istri yang akan pergi meninggalkannya. "Bukan urusan mu!" tegas Laila tanpa menoleh ke arah Aban yang termangu menatap punggung ramping sang istri. Entah kenapa, Aban yang merasa bersalah sejak awal, sehingga membuat Laila bersedih hati sejak menikah dengannya hanya bisa terdiam. Perlahan Aban mendekati Laila berusaha meraih tubuh ramping itu dari belakang. Ia berkata pelan, "Apa kamu mau meninggalkan aku?" Laila menghela nafas berat, ia menghembuskan perlahan seraya menjawab, "Aku sudah lelah. Aku tidak ingin menghabiskan waktu seperti pengemis hanya untuk berharap." "Tidak Laila! Kamu tidak boleh pergi meninggalkan aku!" ucap Aban terdengar serak. "Terus?" Laila menaikkan satu alisnya. "Mau sampai kapan aku harus menunggu laki-laki yang masih mengemis pada mantan istri!" Ia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain, karena tak ingin melihat wajah pria itu hanya untuk mengasihaninya. Mendengar ucapan seperti itu dari
"Aku tidak akan pernah menceraikan mu, Laila!" Suara Aban terdengar lantang dan tegas. Aban memeluk Laila erat. Ia tidak menyangka bahwa sang istri akan membaca semua chat-nya yang membuat Laila terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, Laila yang rela melepaskan karir juga meninggalkan Nasir seorang diri setelah menikah dengan Aban. Namun ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Apa salahku? Pertanyaan itu yang menari-nari dalam benak Laila. Kehidupan yang awalnya baik-baik saja, berubah drastis hanya karena pernikahan siri mereka terjadi begitu cepat.Sudah lebih dari tiga minggu kedua insan suami istri itu menghabiskan waktu bersama. Pernikahan siri dalam pelarian, membuat beberapa keluarga Laila ingin tahu keberadaan keduanya. "Kamu dimana, Laila?" tanya seorang wanita gendut di seberang sana. Laila yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, hanya menjawab singkat, "Di sesuatu tempat yang sangat jauh!" jawabnya masih mengusap layar gawai untuk melakukan pembayaran t
Sudah lebih dari satu jam dua insan suami istri itu berada di restoran hotel, dengan menu makan siang satu mangkok sop buntut kesukaan Aban. Tangan pria itu justru sibuk dengan benda pipih milik Laila. Sementara sang istri menatap Aban dengan wajah cemberut penuh kesal. "Baby, please," ucap Laila penuh kelembutan. Aban menatap wajah Laila sesaat kemudian mengalihkan ke layar gawai kembali. "Jangan menggunakan bahasa inggris, Sayang Darling. Kamu mau apa lagi?" Ia masih fokus melihat layar gawai yang terus memutar perjudiannya. Ingin rasanya Laila membenamkan wajah sang suami ke mangkuk sop yang berada di hadapan mereka saat ini. Namun, ia masih memberikan ruang untuk mengenal sang suami lebih dekat. Laila memperbaiki posisi duduknya, kemudian merampas benda pipih itu. "Kamu maunya apa, sih?" Kening Aban mengerenyit, alisnya menaut dan menatap garang pada Laila. "Maksud kamu apa? Aku lagi main Sayang?" Ia berusaha merebut kembali gawai milik Laila dengan wajah memelas. "Kamu men
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban langsung dari Aban untuk Laila, membuat wanita berambut panjang itu kembali berpikir keras. Ia tidak ingin pernikahan ketiganya gagal seperti pernikahan sebelumnya. Laila yang sudah dua kali gagal mengarungi bahtera rumah tangga selama hidup, hanya bisa pasrah menerima keputusan Aban yang mendadak tanpa berpikir panjang untuk membawanya hidup bersama yang tak tahu arah tujuan.Emang punya uang berapa dia untuk hidup bersama di luar sana! Hanya pertanyaan itu yang ada dalam benak Laila, sehingga membuatnya tidak ada pilihan lain. "Ya, aku ikut sama kamu, karena kamu suamiku!" tutur Laila kembali melunak menjawab pertanyaan Aban. "Bagus! Kemasi semua barang-barang kita, dan kita pergi meninggalkan kampung ini!" tegas Aban mengakhiri panggilan teleponnya. Rambut panjang Laila tampak kusam dan acak-acakan. Keputusan malam itu membuat emosinya menjadi tidak stabil. Ia masih menjadi tahanan kota, tidak bisa meninggalkan kota kecil tersebut, tapi harus
Setelah perdebatan panjangnya dengan Nasir. Laila yang merasa terzolimi dengan keadaan yang semakin memburuk, hanya bisa menahan rasa berkecamuk dalam benaknya. Wajah mulus tanpa make-up seperti biasa itu, mencoba menahan diri agar tidak berkata-kata kasar di depan sang papa yang berharap penuh padanya saat itu. "Laila!" Kembali terdengar suara Nasir memanggil sang putri yang akan masuk ke dalam kamar, mengantarkan sarapan pagi untuk Aban. Mendengar suara Nasir, Laila hanya tersenyum tipis kemudian meninggalkan pria paruh baya itu sarapan seorang diri di ruang makan. Begitu sedihnya perasaan Laila, melihat dari sudut mata, Nasir sarapan seorang diri tanpa ia temani seperti biasa. "Maafkan Laila, Pa. Bukan pernikahan seperti ini yang Laila mau berikan sama Papa ..." ucapnya dalam hati penuh penyesalan.Ingin rasanya Laila mengakhiri pernikahan yang berdampak buruk bagi karir juga kesehatannya. Namun, apalah daya, kini Laila sudah menjadi istri sah dari Aban walau secara agama. Kehi
Malam semakin larut, erangan dua insan suami istri itu semakin terdengar mendayu-dayu. Tubuh ramping yang senantiasa menggairahkan itu tak mampu menahan gejolak gairah seorang Aban. "Tubuhmu ramping sekali, dan aku sangat menyukainya," ucap Aban ketika mendekap erat tubuh Laila yang putih bersih. Tak ingin menjawab, Laila justru memejamkan matanya menikmati indahnya pernikahan ketiganya yang jauh dari pesta besar seperti biasa dilakukan keluarga. Laila mendekap erat tubuh Aban, dengan kaki masih melingkar di pinggang sang suami ketika mencapai pelepasan. Nafas keduanya menderu, keringat membasahi tubuh telanjang saling mengusap. "I love you ..." tutur Laila dengan lembut dan wajah merona merah. "Sama, aku juga cinta sama kamu. Jangan pernah tinggalkan aku," jawab Aban melepas penyatuan mereka berdua. Keduanya terlelap saling berpelukan. Tak ingin membahas kejadian siang dan malam itu. Namun, ketika pukul dua dini hari, Laila mendengar suara langkah kaki yang berjalan mengendap
Mendengar namanya disebut begitu saja oleh Laila, Aban menatap kebingungan. Ia tidak pernah mendengar sang istri menyebut nama walau dalam keadaan kalut sekali pun."Apa maksudmu menyebut nama saja?" tanya Aban dengan rahang menggeram. "Ogh, tidak-tidak! Maaf, aku permisi!" jawab Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak keluarga menantikan pernyataan dari mereka berdua. Akan tetapi, ketika Laila meninggalkan ruang tamu yang masih ada pihak Niniak mamak di sana. Gegas Sirajo menahan langkah kaki Laila agar mengehentikan langkahnya. "Tunggu Laila!" Mendengar suara bariton dari abang sepupunya di hadapan Nasir juga Kayo selaku abang kandung dari Aban, Laila menelan ludahnya. Ada rasa ketakutan yang ia rasakan, ketika menghentikan langkahnya menunju kamar. Laila menoleh ke arah Sirajo, berusaha tersenyum, walau hatinya enggan untuk bersahabat malam itu. "Ya, Bang!" Ia mengedarkan pandangannya ke arah lain, menutupi rasa gugup akan kesalahan fatal yang mereka lakukan berdua.
Suara yang tak asing di telinga Laila, sedikit melegakan hati berkecamuk kala itu. Kedatangan Aban tepat waktu membuat Desy memberi perintah kepada dua petugas kepolisian untuk melepaskan tangan mereka dari tubuh Laila. "Anda siapa?" tanya Desy. Cepat Aban mengulurkan tangannya di hadapan Desy, sambil melirik ke arah Laila yang tampak menangis pilu. "Perkenalkan saya Aban Sartika, suami dari Laila Pratiwi!" Mendengar kalimat tegas seperti itu dari Aban, Desy selaku petugas yang telah diberi mandat untuk menangani kasus Laila hingga selesai mengangguk mengerti. Ia kembali membuka pintu ruangan untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan. "Baik, kita bicara di ruangan saya!" Aban menoleh ke arah Laila yang masih tampak ketakutan akan tuntutan sang mantan suami yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Kamu bilang sudah selesai dengan mantan suamimu, kenapa dia menuntut?" tanya Aban sedikit berbisik, berjalan beriringan menuju ruangan Desy yang sudah terbuka. Laila menghela nafas be
Stiletto seorang wanita berseragam coklat muda lengkap, terdengar nyaring di ruangan kantor Badan Narkotika Nasional untuk kesekian kalinya. Terlihat jelas nama dan jabatan di sana. Langkah kaki jenjang wanita berambut pendek itu terhenti di depan meja kerja seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris sang jenderal berbintang dua. "Selamat pagi, Laila!" sapa wanita berseragam coklat tersebut. Jemari yang sejak tadi berada di atas keyboard seketika terhenti. Kemudian mendongakkan kepala sambil tersenyum sumringah karena mengenal sosok wanita yang berdiri di hadapannya. "Pagi, Uni," jawab Laila, sambil berdiri dan memberi hormat dengan nada ramah seperti biasa.Mata Laila seakan liar, ketika melihat satu amplop berwarna putih yang langsung dibuka oleh wanita tersebut. "Bisa jelaskan, apakah kamu sudah menikah lagi?" tanya wanita itu tanpa mau menatap wajah Laila. Kening Laila mengerenyit, alisnya menaut, ia tersenyum tipis seakan tersedak, mengingat kembali pernikahan rahasia