HARI yang baru, kesibukan yang sama.
“Makan yuk.” Tiba-tiba Manggala ada di sampingnya.
“Astaga!” Nayara yang sedang serius bekerja terkejut. “Jam berapa ini?” Dia menunjuk jam di PC.
“Aku benar-benar akan pecat kamu, Nayara.” Manggala menarik sebuah kursi lalu duduk di samping Nayara. Begitu dekat seperti kubikel Nayara terjebak di tengah. Manggala menggeser isi meja lalu menarik keyboard mendekat ke arahnya kemudian membuka browser. Tapi ketika dia ingin mengetik sesuatu Nayara mengambil tangan itu.
“Kuku kamu cepat sekali tumbuhnya,” ujarnya menarik sebelah tangan Manggala sambil tangan yang lain merogoh kotak kecil di meja. Mencari gunting kuku. Namun Manggala menarik tangannya.
“Kuku kamu nggak boleh panjang, Manggala.”
“Aku nggak akan begitu lagi.”
“Aku. Nggak. Percaya.” Mendesis sambil menatap sinis, dia menarik lag
Ah, Manggala. Mau dong dikasih mahar start up. Anti mainstream banget tuh maharnya. Tapi saya nggak dikasih mahar start up macam manuskrip nggak apa-apa deh. Cuma berharap beneran ada aplikasi seperti itu. Beneran bisa mempermudah riset. Mudah-mudahan ada programmer yang baca novel saya lalu eksekusi kehaluan saya itu.
DUA hari kemudian, siang itu mereka baru saja kembali ke kantor. Manggala bermaksud akan mengantar Nayara sampai pintu Papyrus. Nayara masih tertawa-tawa kecil ketika dia merasa tubuh di sampingnya menegang. Dia ikuti tatapan Manggala. Wiguna. Dan Mahesa. Nayara bermaksud menjauh. Memberi jeda pada ayah dan anak berbincang. Tapi tangannya tertahan genggaman Manggala yang tiba-tiba menguat. “Lu masih sama dia?” ujar kakaknya. “Gue sama siapa itu urusan gue.” Jawaban singkat yang ditanggapi dengan satu kali anggukan. “Papa dengar kamu mau buka lini baru?” “Gosip cepat tersebar ya,” Manggala menjawab sinis mendesis. “Bukan gosip kalau benar.” Mahesa ikut bersuara. “Itu untuk target tiga tahunan.” Manggala sudah tahu siapa yang membocorkan rahasia itu. Tapi memang dia tidak bermaksud merahasiakan. Hanya tidak ingin memberitahu Wiguna saja. Toh waktunya masih panjang. “Tumben nggak dekat deadline. Bi
APA yang harus aku lakukan? Yang ingin dia lakukan sekarang hanya memeluk Manggala. Tapi apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Akhirnya Nayara mengikuti instingnya. Perlahan dia mendekati Manggala, berdiri tepat di hadapannya, mengganggu fokus Manggala. Dia mengambil tangan yang mengepal kaku, mengelus buku jarinya, lalu menarik tangan itu ke arah sofa lalu membantunya duduk. Manggala harus relaks. Pun ketika duduk dia masih sekaku papan. “Manggala…” Nayara mengelus bahunya. Tapi Manggala masih diam. Ini menakutkan. Bukan Manggala yang menakutinya tapi kediamannya yang membuat Nayara gentar. “Manggala…” Tangannya naik mengelus rambutnya. Merapikan anak rambutnya. Mengelus rahangnya yang menegang kaku. Tubuhnya semakin merapat. Dia hanya duduk di ujung sofa demi bisa melihat wajah Manggala. “Manggala…” Tangan Nayara semakin berani. Dia harus meneguhkan hatinya untuk seberani ini menghadapi Manggala yang mungkin tidak sad
MALAMNYA Manggala gelisah di ranjang. Sudah dini hari. Nyaris tengah malam baru dia sampai di flat setelah mengantar Nayara pulang dari Mak. Dia memang biasa tak tidur sampai pagi, tapi hanya tak bisa tidur dan gelisah tapi pikirannya kosong. Kali ini kepalanya penuh. Rencana pindah kantor, pernikahannya, Manuskrip, anak-anaknya yang lama, Nayara, dan yang lain berhimpitan mengisi kepalanya sampai terasa sangat penuh. Kepalanya berdenyut. Dia harus mencari pengalih perhatian.Melirik ponsel di nakas, dia tahu, cahaya ponsel akan semakin membuatnya sulit tidur. Tapi cuma melalui ponsel dia bisa terhubung dengan Nayara. Sambil mendengus, dia menyambar ponsel, langsung membuka chat dengan Nayara.Last seen dua menit lalu.Dia belum tidur.MGP : Kenapa belum tidur?Tanda ceklis yang langsung berubah warna bisa langsung membentuk senyum di wajahnya.&
PAGI itu mereka berangkat bersama ke kantor. Meski masih kacau dengan berjuta pikiran, tapi Manggala merasa lebih baik. Jarak apartemen dan kantor memang tidak seberapa jauh tapi dia berkali-kali melirik gadis yang duduk di sampingnya sambil membalas chat. Tidak ada yang perlu mereka bahas sekarang.Dia membiarkan Nayara bercerita pada sahabatnya. Apalagi yang seorang gadis ketikkan secepat itu di keyboard ponsel jika bukan curahan hati pada sahabat sejati? Dia tersenyum. Nayara beruntung memiliki Gia dan Mak Tita.Dan hari ini belalu dengan penuh ketenangan. Tidak ada kejadian menjengkelkan yang terjadi sampai waktu pulang.Ph Nay : Aku pulang duluan ya. Kamu nggak apa-apa?MGP : Nanti aja sama aku.Ph Nay : Kalau terlalu malam apa aku boleh naik grab aja? Ph Nay : Kalau kamu antar aku dulu terlalu mutar. MGP &nbs
HARI baru di awal pekan. Setelah seharian berhibernasi berlanjut sehari berkencan. Mereka merasa lebih siap menyambut hari yang baru.Berita memang cepat sekali sampai ke telinga yang lain. Baru akhir pekan Manggala bertanya pada building management, siang itu Mahesa sudah berderap ke kantor SasMeN. Yang ketika dia tidak menemui Manggala di ruangannya dia kejar sampai ke Aksara.Manggala sedang berbincang serius dengan petinggi Aksara. Tentu tentang urusan penggabungan ruang atau bahkan pemindahan kantor. Saat itulah Mahesa datang dan langsung menatap tajam Manggala.“Belagu amat jadi anak,” ujarnya tanpa basa-basi.Melihat situasi seperti itu, tim Aksara langsung membubarkan diri. Manggala kembali tersedot ke dalam pusaran cyclone. Berusaha menenangkan diri, paling tidak, terlihat tenang, tapi sepertinya dia gagal. Dia bisa merasakan otot-otot di wajahnya menegang. Yang dia ingat saat itu hanya Nayara. Dia mau Nayara ada di
MENENANGKAN Manggala selalu menjadi episode tersulit yang harus dia jalani.“Aku dengar b*ngs*t itu ngomong apa tentang kamu, Nayara.” Manggala mendesis sambil berontak berusaha melewati tubuh Nayara.“Sudah. Biarin aja.” Nayara terus berdiri menghalangi Manggala. Tangannya memeluk, kepalanya mendorong Manggala menjauh. Hanya karena Nayaralah yang menjadi penghalang membuat Manggala tidak berlaku kasar menghalau dan mendorong.“Nggak cukup dia menghina aku?” Manggala masih berusaha melepaskan diri dari Nayara yang terus mendorongnya mundur menjauhi pintu.“Biarin, Manggala.” Mereka akan benar-benar bergulat di ruangan ini. Nayara menarik pinggang Manggala sekuat tenaga membuat Manggala oleng dan berpegangan pada tepi meja. Ketika itulah Nayara memaksanya duduk. Terengah dia berdiri menghalangi Manggala yang kembali berusaha berdiri.“Manggala. Sudah. Tenang dulu.”“Dia keterla
MASIH belum jam delapan ketika Nayara menemani Manggala mengecek satu per satu anak-anak [usaha]nya. Manggala memulai dari anak pertamanya. Aksara. Ruangan besar itu masih cukup ramai. Markas portal berita tempat yang paling jarang sepi. Mereka biasa bekerja sampai larut malam. Bahkan kabarnya sampai ada yang menginap. Deadline di sini memang gila-gilaan. Manggala masuk, membalas salam ala kadarnya lalu terdiam.Manggala menyapu pandangannya ke seluruh penjuru.“Aku mulai semuanya dari Aksara.” Manggala berjalan perlahan lebih masuk ke tengah ruang. “Aplikasi yang pertama aku buat memang Papyrus, tapi aku mulai dari Aksara.”“Aku belum pede jalanin Papyrus. Aku bukan pembaca novel online. Gambaran aplikasi baca online masih buram. Aku mulai dari Aksara karena aku biasa baca berita online. Aku tahu aku mau portal berita yang seperti apa. Sambil jalanin Aksara aku riset platform baca online termasuk bikin survey seba
MELIRIK dua pintu di samping unit Manggala sambil mengingat posisi balkon di dalam, Nayara berlari ke kanan, lalu mengetuk pintu itu. Mulanya pelan, tapi semakin lama semakin keras. Sampai akhirnya dia mendengar suara dari dalam. Tak lama sebuah wajah muncul dari balik pintu yang terbuka terhalang gerendel.“Ya?”“Ma… maaf, Mas. Saya harus ke unit sebelah. Manggala nggak bisa dihubungi. Saya takut dia ada masalah.” Pintu hanya terbuka sedikit. Tapi melihat tamunya datang sendirian dengan wajah berantakan Shaq membuka lebar pintunya. Dan Nayara tanpa pamit lagi langsung berlari ke balkon. Mimo yang terkejut hanya mematung di samping Shaq.Shaq bergerak cepat mengejar Nayara. Dia berhasil menahan Nayara yang sudah memanjat pagar. Mimo berteriak melihat tamu tengah malamnya senekat itu. Akhirnya dia membantu Shaq menahan Nayara lalu menariknya masuk ke rumah. Mimo segera mengunci lagi pintu balkon.“Tolong, saya harus ke
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,