PAGI itu mereka berangkat bersama ke kantor. Meski masih kacau dengan berjuta pikiran, tapi Manggala merasa lebih baik. Jarak apartemen dan kantor memang tidak seberapa jauh tapi dia berkali-kali melirik gadis yang duduk di sampingnya sambil membalas chat. Tidak ada yang perlu mereka bahas sekarang.
Dia membiarkan Nayara bercerita pada sahabatnya. Apalagi yang seorang gadis ketikkan secepat itu di keyboard ponsel jika bukan curahan hati pada sahabat sejati? Dia tersenyum. Nayara beruntung memiliki Gia dan Mak Tita.
Dan hari ini belalu dengan penuh ketenangan. Tidak ada kejadian menjengkelkan yang terjadi sampai waktu pulang.
Ph Nay : Aku pulang duluan ya. Kamu nggak apa-apa?
MGP : Nanti aja sama aku.
Ph Nay : Kalau terlalu malam apa aku boleh naik grab aja?
Ph Nay : Kalau kamu antar aku dulu terlalu mutar.
MGP &nbs
Iya, Manggala serajin itu ngurus anak-anaknya. Kebayang nggak sih ketika dia jadi ayah? Saya makin suka chemistry mereka. Care-nya Nayara berasa… ah, suka aja. Makasih sudah mau mampir. Saya tunggu komen, subs, like, and follow-nya ya. Happy reading.
HARI baru di awal pekan. Setelah seharian berhibernasi berlanjut sehari berkencan. Mereka merasa lebih siap menyambut hari yang baru.Berita memang cepat sekali sampai ke telinga yang lain. Baru akhir pekan Manggala bertanya pada building management, siang itu Mahesa sudah berderap ke kantor SasMeN. Yang ketika dia tidak menemui Manggala di ruangannya dia kejar sampai ke Aksara.Manggala sedang berbincang serius dengan petinggi Aksara. Tentu tentang urusan penggabungan ruang atau bahkan pemindahan kantor. Saat itulah Mahesa datang dan langsung menatap tajam Manggala.“Belagu amat jadi anak,” ujarnya tanpa basa-basi.Melihat situasi seperti itu, tim Aksara langsung membubarkan diri. Manggala kembali tersedot ke dalam pusaran cyclone. Berusaha menenangkan diri, paling tidak, terlihat tenang, tapi sepertinya dia gagal. Dia bisa merasakan otot-otot di wajahnya menegang. Yang dia ingat saat itu hanya Nayara. Dia mau Nayara ada di
MENENANGKAN Manggala selalu menjadi episode tersulit yang harus dia jalani.“Aku dengar b*ngs*t itu ngomong apa tentang kamu, Nayara.” Manggala mendesis sambil berontak berusaha melewati tubuh Nayara.“Sudah. Biarin aja.” Nayara terus berdiri menghalangi Manggala. Tangannya memeluk, kepalanya mendorong Manggala menjauh. Hanya karena Nayaralah yang menjadi penghalang membuat Manggala tidak berlaku kasar menghalau dan mendorong.“Nggak cukup dia menghina aku?” Manggala masih berusaha melepaskan diri dari Nayara yang terus mendorongnya mundur menjauhi pintu.“Biarin, Manggala.” Mereka akan benar-benar bergulat di ruangan ini. Nayara menarik pinggang Manggala sekuat tenaga membuat Manggala oleng dan berpegangan pada tepi meja. Ketika itulah Nayara memaksanya duduk. Terengah dia berdiri menghalangi Manggala yang kembali berusaha berdiri.“Manggala. Sudah. Tenang dulu.”“Dia keterla
MASIH belum jam delapan ketika Nayara menemani Manggala mengecek satu per satu anak-anak [usaha]nya. Manggala memulai dari anak pertamanya. Aksara. Ruangan besar itu masih cukup ramai. Markas portal berita tempat yang paling jarang sepi. Mereka biasa bekerja sampai larut malam. Bahkan kabarnya sampai ada yang menginap. Deadline di sini memang gila-gilaan. Manggala masuk, membalas salam ala kadarnya lalu terdiam.Manggala menyapu pandangannya ke seluruh penjuru.“Aku mulai semuanya dari Aksara.” Manggala berjalan perlahan lebih masuk ke tengah ruang. “Aplikasi yang pertama aku buat memang Papyrus, tapi aku mulai dari Aksara.”“Aku belum pede jalanin Papyrus. Aku bukan pembaca novel online. Gambaran aplikasi baca online masih buram. Aku mulai dari Aksara karena aku biasa baca berita online. Aku tahu aku mau portal berita yang seperti apa. Sambil jalanin Aksara aku riset platform baca online termasuk bikin survey seba
MELIRIK dua pintu di samping unit Manggala sambil mengingat posisi balkon di dalam, Nayara berlari ke kanan, lalu mengetuk pintu itu. Mulanya pelan, tapi semakin lama semakin keras. Sampai akhirnya dia mendengar suara dari dalam. Tak lama sebuah wajah muncul dari balik pintu yang terbuka terhalang gerendel.“Ya?”“Ma… maaf, Mas. Saya harus ke unit sebelah. Manggala nggak bisa dihubungi. Saya takut dia ada masalah.” Pintu hanya terbuka sedikit. Tapi melihat tamunya datang sendirian dengan wajah berantakan Shaq membuka lebar pintunya. Dan Nayara tanpa pamit lagi langsung berlari ke balkon. Mimo yang terkejut hanya mematung di samping Shaq.Shaq bergerak cepat mengejar Nayara. Dia berhasil menahan Nayara yang sudah memanjat pagar. Mimo berteriak melihat tamu tengah malamnya senekat itu. Akhirnya dia membantu Shaq menahan Nayara lalu menariknya masuk ke rumah. Mimo segera mengunci lagi pintu balkon.“Tolong, saya harus ke
DAN ketika akhirnya kabar itu datang, dia kembali menangis. Kondisi Manggala membaik dan sudah bisa ke kamar perawatan. “Manggala… I’m here, Manggala. Ini aku, Manggala. Kuatlah.” Sepanjang selasar menuju ruang perawatan Nayara terus berbisik sedekat mungkin di telinga Manggala. Setelah memastikan semua sudah tertangani dengan baik, Mimo dan Shaq berpamit pulang. Tak putus terima kasih Nayara kepada mereka berdua. Dia memeluk Mimo sangat erat dan berjanji akan mengabari kondisi Manggala secepatnya. Sisa Gia yang bertahan. Nayara memaksanya pulang ketika melihat Gia pun sudah layu. Seminggu keliling berpindah kota, tentu saja dia kelelahan. Tapi bagaimana mungkin dia meninggalkan Nayara yang lelah fisik dan psikis seperti ini? Dia hanya butuh tidur, itu bisa dia lakukan di mana saja. Sedangkan Nayara, makan tak jelas, tidur pun tidak. Tak bisa memaksa Nayara tidur, Gia memaksa sahabatnya makan. Seperti biasa, keributan khas mereka berd
KETIKA Manggala membuka mata, Nayara sudah duduk di sampingnya, menyambutnya dengan senyum yang menenangkan.“Kamu tidur nggak?” tanyanya langsung.“Tidur kok. Aku baru bangun juga.”“Pulang yuk,” ajaknya yang disambut kekeh Nayara. “Kalau di rumah kamu pasti jagain aku tapi tidurnya di ranjang yang sama.”Nayara makin terkekeh. “Sabar, Pak. Sebentar lagi.” Nayara kembali meraih trolley makan dan menyuapi Manggala dengan ransum rumah sakit.“Kamu nyuapin aku terus, kamu sendiri sudah makan belum?”Nayara menunjuk bekas piring dengan dagunya yang dibalas senyum Manggala.“Nayara, kita nikah sesuai jadwal ya.”Nayara tertawa kecil. “Baru juga bangun, sudah bahas itu lagi.”“Waktunya mepet. Aku harus cepat ngurus. Nggak usah nunggu Manuskrip beres.”“Apa mereka nggak akan klaim perusahaan baru juga punya
NAYARA sungguh-sungguh tidak melepas Manggala jauh dari pandangannya. Apalagi Manggala memaksa pulang lebih cepat dari saran dokter yang membuatnya harus menandatangani surat pernyataan bertanggung jawab penuh atas apa pun yang terjadi selepas dia keluar dari rumah sakit.Sudah di tengah pekan. Pekan yang sangat berat. Besok semuanya harus selesai. Itu target yang membuat Manggala memaksa pulang dan bekerja sampai malam larut membeku. Nayara terus menggerutu tapi Manggala sekeras batu. Kepala Nayara terasa buntu tak ada yang bisa dia bantu.Manggala memang sudah lebih baik, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Dia butuh istirahat lebih banyak. Tapi dia memaksa dirinya mengerjakan persiapan penyerahan perusahaannya. Dia bahkan sudah membuat janji rapat penting dengan ketiga direktur anak usahanya. Besok. Mengabaikan gerutu panjang lebar Nayara yang menyuruhnya beristirahat total dan mengundur rapat itu sampai minggu depan lepas pernikahan mereka.Mereka berdua sama-
“YA Tuhan, kamu kenapa, Nay?” Nayara sudah tidak bisa berkata-kata. Berjuang menghadapi dirinya sendiri, melawan batinnya sendiri, bertarung dengan ketakutannya sendiri. Hanya dia sendiri yang bisa mengusir pergi kekalutan ini. Tapi kali ini, semakin dia berusaha mencuat, dia semakin merasa tenggelam. Semakin dia butuh Manggala, semakin dia merasa dia harus pergi menjauh. Pergi, sebelum ditinggal pergi. Dan kemarin Manggala hampir pergi tapi dia tidak bisa pergi.Nayara semakin tenggelam ke dasar. Tangannya menggapai berusaha mencari pegangan. Secepat itu pula Manggala meraih tangannya. Genggamannya sungguh kuat mengalirkan ketakutannya.Tak perlu kata-kata, Nayara hanya butuh ditemani. Dan itu yang Manggala berikan. Tapi hasrat untuk pergi juga begitu kuat.“Mang…ga…la… I… can’t… breathe….” Semakin dia panik semakin dia kesuli