MASIH belum jam delapan ketika Nayara menemani Manggala mengecek satu per satu anak-anak [usaha]nya. Manggala memulai dari anak pertamanya. Aksara. Ruangan besar itu masih cukup ramai. Markas portal berita tempat yang paling jarang sepi. Mereka biasa bekerja sampai larut malam. Bahkan kabarnya sampai ada yang menginap. Deadline di sini memang gila-gilaan. Manggala masuk, membalas salam ala kadarnya lalu terdiam.
Manggala menyapu pandangannya ke seluruh penjuru.
“Aku mulai semuanya dari Aksara.” Manggala berjalan perlahan lebih masuk ke tengah ruang. “Aplikasi yang pertama aku buat memang Papyrus, tapi aku mulai dari Aksara.”
“Aku belum pede jalanin Papyrus. Aku bukan pembaca novel online. Gambaran aplikasi baca online masih buram. Aku mulai dari Aksara karena aku biasa baca berita online. Aku tahu aku mau portal berita yang seperti apa. Sambil jalanin Aksara aku riset platform baca online termasuk bikin survey seba
Part ini sedih. Saya beberapa kali melakukan ini ketika akan ninggalin suatu daerah. Waktu kuliah, boci terakhir di kos, saya rekam baik-baik suasana sekitar kos. Ada pohon bambu, kos-an teman, langitnya cerah, udaranya sepoi-sepoi. Nggak semua bisa direkam dengan teknologi. Yang direkam di memori kepala lebih nyata, tapi ya gitu, susah diibagi. Part ini nyes. Sedih karena Manggala harus ngelepas anak-anaknya, sedih karena Manggala begitu tabah. Ikhlas banget.
MELIRIK dua pintu di samping unit Manggala sambil mengingat posisi balkon di dalam, Nayara berlari ke kanan, lalu mengetuk pintu itu. Mulanya pelan, tapi semakin lama semakin keras. Sampai akhirnya dia mendengar suara dari dalam. Tak lama sebuah wajah muncul dari balik pintu yang terbuka terhalang gerendel.“Ya?”“Ma… maaf, Mas. Saya harus ke unit sebelah. Manggala nggak bisa dihubungi. Saya takut dia ada masalah.” Pintu hanya terbuka sedikit. Tapi melihat tamunya datang sendirian dengan wajah berantakan Shaq membuka lebar pintunya. Dan Nayara tanpa pamit lagi langsung berlari ke balkon. Mimo yang terkejut hanya mematung di samping Shaq.Shaq bergerak cepat mengejar Nayara. Dia berhasil menahan Nayara yang sudah memanjat pagar. Mimo berteriak melihat tamu tengah malamnya senekat itu. Akhirnya dia membantu Shaq menahan Nayara lalu menariknya masuk ke rumah. Mimo segera mengunci lagi pintu balkon.“Tolong, saya harus ke
DAN ketika akhirnya kabar itu datang, dia kembali menangis. Kondisi Manggala membaik dan sudah bisa ke kamar perawatan. “Manggala… I’m here, Manggala. Ini aku, Manggala. Kuatlah.” Sepanjang selasar menuju ruang perawatan Nayara terus berbisik sedekat mungkin di telinga Manggala. Setelah memastikan semua sudah tertangani dengan baik, Mimo dan Shaq berpamit pulang. Tak putus terima kasih Nayara kepada mereka berdua. Dia memeluk Mimo sangat erat dan berjanji akan mengabari kondisi Manggala secepatnya. Sisa Gia yang bertahan. Nayara memaksanya pulang ketika melihat Gia pun sudah layu. Seminggu keliling berpindah kota, tentu saja dia kelelahan. Tapi bagaimana mungkin dia meninggalkan Nayara yang lelah fisik dan psikis seperti ini? Dia hanya butuh tidur, itu bisa dia lakukan di mana saja. Sedangkan Nayara, makan tak jelas, tidur pun tidak. Tak bisa memaksa Nayara tidur, Gia memaksa sahabatnya makan. Seperti biasa, keributan khas mereka berd
KETIKA Manggala membuka mata, Nayara sudah duduk di sampingnya, menyambutnya dengan senyum yang menenangkan.“Kamu tidur nggak?” tanyanya langsung.“Tidur kok. Aku baru bangun juga.”“Pulang yuk,” ajaknya yang disambut kekeh Nayara. “Kalau di rumah kamu pasti jagain aku tapi tidurnya di ranjang yang sama.”Nayara makin terkekeh. “Sabar, Pak. Sebentar lagi.” Nayara kembali meraih trolley makan dan menyuapi Manggala dengan ransum rumah sakit.“Kamu nyuapin aku terus, kamu sendiri sudah makan belum?”Nayara menunjuk bekas piring dengan dagunya yang dibalas senyum Manggala.“Nayara, kita nikah sesuai jadwal ya.”Nayara tertawa kecil. “Baru juga bangun, sudah bahas itu lagi.”“Waktunya mepet. Aku harus cepat ngurus. Nggak usah nunggu Manuskrip beres.”“Apa mereka nggak akan klaim perusahaan baru juga punya
NAYARA sungguh-sungguh tidak melepas Manggala jauh dari pandangannya. Apalagi Manggala memaksa pulang lebih cepat dari saran dokter yang membuatnya harus menandatangani surat pernyataan bertanggung jawab penuh atas apa pun yang terjadi selepas dia keluar dari rumah sakit.Sudah di tengah pekan. Pekan yang sangat berat. Besok semuanya harus selesai. Itu target yang membuat Manggala memaksa pulang dan bekerja sampai malam larut membeku. Nayara terus menggerutu tapi Manggala sekeras batu. Kepala Nayara terasa buntu tak ada yang bisa dia bantu.Manggala memang sudah lebih baik, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Dia butuh istirahat lebih banyak. Tapi dia memaksa dirinya mengerjakan persiapan penyerahan perusahaannya. Dia bahkan sudah membuat janji rapat penting dengan ketiga direktur anak usahanya. Besok. Mengabaikan gerutu panjang lebar Nayara yang menyuruhnya beristirahat total dan mengundur rapat itu sampai minggu depan lepas pernikahan mereka.Mereka berdua sama-
“YA Tuhan, kamu kenapa, Nay?” Nayara sudah tidak bisa berkata-kata. Berjuang menghadapi dirinya sendiri, melawan batinnya sendiri, bertarung dengan ketakutannya sendiri. Hanya dia sendiri yang bisa mengusir pergi kekalutan ini. Tapi kali ini, semakin dia berusaha mencuat, dia semakin merasa tenggelam. Semakin dia butuh Manggala, semakin dia merasa dia harus pergi menjauh. Pergi, sebelum ditinggal pergi. Dan kemarin Manggala hampir pergi tapi dia tidak bisa pergi.Nayara semakin tenggelam ke dasar. Tangannya menggapai berusaha mencari pegangan. Secepat itu pula Manggala meraih tangannya. Genggamannya sungguh kuat mengalirkan ketakutannya.Tak perlu kata-kata, Nayara hanya butuh ditemani. Dan itu yang Manggala berikan. Tapi hasrat untuk pergi juga begitu kuat.“Mang…ga…la… I… can’t… breathe….” Semakin dia panik semakin dia kesuli
“MANGGALA!” “Sshh...” Manggala mendorong Nayara. Setelah yakin Nayara menurut, dia bergegas bergerak. Setelah urusan selesai dia memanggil Nayara keluar dan mengajaknya ke ranjang. Nayara berkeryit ketika urusan Manggala sangat cepat dia kerjakan. Dia bahkan belum sempat melakukan apa-apa di kamar mandi. Ketika Nayara melengos dan kembali ke sofa, Manggala tak memaksa, dia mengekor saja di belakang. “Kamu mau aku ganti interior kamar ini lagi?” tanya Manggala ketika dia melihat Nayara menatap kosong ke arah ranjang. “Siapa tahu bisa bantu kamu hilangkan bayangan itu. Aku memang mikir mau cari rumah yang lebih besar kalau kita sudah nikah, tapi kamu kan tau kondisi keuangan aku sekarang gimana. Kita harus hold dulu urusan pindah sampai semua beres.” Nayara diam. “Apa malam ini kita check in aja ya?” Nayara masih diam tapi perlahan tubuhnya jatuh ke pangkuan Manggala dan bergelung di sana. Lelah. Setiap saat har
MENAPAKI gedung milik ayahnya, menuju lantai di mana dia habiskan waktu, tenaga, pikiran, dan perhatiannya untuk menyelesaikan semua ternyata membuat hatinya berdesir. Emosinya bergolak. Di dalam lift, dia memejamkan matanya erat, dan semakin erat menggenggam tangan Nayara. Saatnya melepaskan. Tidak ada yang abadi. Akan ada waktunya semua yang dia genggam harus dia lepas. Termasuk gadis ini? Hatinya semakin berdesir. Dia belum siap untuk itu. Butuh waktu untuk melepaskan sesuatu yang hidup dan bisa menghidupkan. Bersama Nayara dia merasa hidupnya lebih hidup. Semakin mendekati lantai… Nayara semakin merapatkan tubuhnya. Dan ketika pintu lift terbuka, sebelah tangannya yang menganggur bergerak memegang siku Manggala. “Siap?” Manggala mengangguk dan mereka melangkah bersamaan keluar lift. “Aku tunggu di Papyrus ya,” ujar Nayara ketika mereka sudah di depan ruang meeting Sastra Media. Pi
GPS tracker itu berhasil diselundupkan ke dalam tas Nayara oleh salah satu staf. Saat ini, itu cara lain Manggala menjaga Nayara. Ke depan akan dia pikirkan lagi. Dan Wirya sungguh-sungguh menjalankan permintaan Manggala. Dia sendiri yang langsung mengawasi Nayara.Di dalam, Nayara tidak bisa fokus di kubikelnya. Akhirnya dia mulai menyusun barang-barangnya yang tak banyak dalam kardus air mineral.“Lu mau ke mana, Nay?” tanya Mbak Dewi.“Mbak, maaf, gue resign mendadak ya. Suratnya nyusul, gue belum sempat bikin.”“Hah?” Editor senior dan sekaligus atasannya langsung tentu terkejut.“Kenapa, Nay?”Nayara menjatuhkan kepalanya ke meja, hanya berusaha menahan sedihnya. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Sebentar lagi semua akan tahu soal pengambilalihan Sastra MediaNesia. Maka dia menceritakan saja semuanya. Rekannya yang lain sudah mengerubungi kubikel Nayara.&ldqu