“YA Tuhan, kamu kenapa, Nay?”
Nayara sudah tidak bisa berkata-kata. Berjuang menghadapi dirinya sendiri, melawan batinnya sendiri, bertarung dengan ketakutannya sendiri. Hanya dia sendiri yang bisa mengusir pergi kekalutan ini. Tapi kali ini, semakin dia berusaha mencuat, dia semakin merasa tenggelam. Semakin dia butuh Manggala, semakin dia merasa dia harus pergi menjauh. Pergi, sebelum ditinggal pergi. Dan kemarin Manggala hampir pergi tapi dia tidak bisa pergi.
Nayara semakin tenggelam ke dasar. Tangannya menggapai berusaha mencari pegangan. Secepat itu pula Manggala meraih tangannya. Genggamannya sungguh kuat mengalirkan ketakutannya.
Tak perlu kata-kata, Nayara hanya butuh ditemani. Dan itu yang Manggala berikan. Tapi hasrat untuk pergi juga begitu kuat.
“Mang…ga…la… I… can’t… breathe….” Semakin dia panik semakin dia kesuli
Kasihan Nayara. Dia merasa bersalah banget nggak ngintilin Manggala. Tapi gimana dong, mereka kan belum nikah. Nayara tau, mereka tuh dekatnya sudah kelewatan. Kalau dulu pas ngurus Manggala mabuk mereka belum ada rasa, sekarang perasaan mereka kuat banget. Mereka bisa saling menerkam kalau lagi berantakan gini lalu berduaan aja. Kalau seperti ini, logika dan perasaan beneran berhadap-hadapan cari musuh. Tapi hidup memang sering seperti itu kok. Saling berbenturan. Makanya kita butuh tali biar kalau nyasar nggak sampai lepas jauh.
“MANGGALA!” “Sshh...” Manggala mendorong Nayara. Setelah yakin Nayara menurut, dia bergegas bergerak. Setelah urusan selesai dia memanggil Nayara keluar dan mengajaknya ke ranjang. Nayara berkeryit ketika urusan Manggala sangat cepat dia kerjakan. Dia bahkan belum sempat melakukan apa-apa di kamar mandi. Ketika Nayara melengos dan kembali ke sofa, Manggala tak memaksa, dia mengekor saja di belakang. “Kamu mau aku ganti interior kamar ini lagi?” tanya Manggala ketika dia melihat Nayara menatap kosong ke arah ranjang. “Siapa tahu bisa bantu kamu hilangkan bayangan itu. Aku memang mikir mau cari rumah yang lebih besar kalau kita sudah nikah, tapi kamu kan tau kondisi keuangan aku sekarang gimana. Kita harus hold dulu urusan pindah sampai semua beres.” Nayara diam. “Apa malam ini kita check in aja ya?” Nayara masih diam tapi perlahan tubuhnya jatuh ke pangkuan Manggala dan bergelung di sana. Lelah. Setiap saat har
MENAPAKI gedung milik ayahnya, menuju lantai di mana dia habiskan waktu, tenaga, pikiran, dan perhatiannya untuk menyelesaikan semua ternyata membuat hatinya berdesir. Emosinya bergolak. Di dalam lift, dia memejamkan matanya erat, dan semakin erat menggenggam tangan Nayara. Saatnya melepaskan. Tidak ada yang abadi. Akan ada waktunya semua yang dia genggam harus dia lepas. Termasuk gadis ini? Hatinya semakin berdesir. Dia belum siap untuk itu. Butuh waktu untuk melepaskan sesuatu yang hidup dan bisa menghidupkan. Bersama Nayara dia merasa hidupnya lebih hidup. Semakin mendekati lantai… Nayara semakin merapatkan tubuhnya. Dan ketika pintu lift terbuka, sebelah tangannya yang menganggur bergerak memegang siku Manggala. “Siap?” Manggala mengangguk dan mereka melangkah bersamaan keluar lift. “Aku tunggu di Papyrus ya,” ujar Nayara ketika mereka sudah di depan ruang meeting Sastra Media. Pi
GPS tracker itu berhasil diselundupkan ke dalam tas Nayara oleh salah satu staf. Saat ini, itu cara lain Manggala menjaga Nayara. Ke depan akan dia pikirkan lagi. Dan Wirya sungguh-sungguh menjalankan permintaan Manggala. Dia sendiri yang langsung mengawasi Nayara.Di dalam, Nayara tidak bisa fokus di kubikelnya. Akhirnya dia mulai menyusun barang-barangnya yang tak banyak dalam kardus air mineral.“Lu mau ke mana, Nay?” tanya Mbak Dewi.“Mbak, maaf, gue resign mendadak ya. Suratnya nyusul, gue belum sempat bikin.”“Hah?” Editor senior dan sekaligus atasannya langsung tentu terkejut.“Kenapa, Nay?”Nayara menjatuhkan kepalanya ke meja, hanya berusaha menahan sedihnya. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Sebentar lagi semua akan tahu soal pengambilalihan Sastra MediaNesia. Maka dia menceritakan saja semuanya. Rekannya yang lain sudah mengerubungi kubikel Nayara.&ldqu
MANGGALA menepati janjinya. Membiarkan Nayara mengemudi sepanjang hari itu. Sejak meninggalkan restoran tempat mereka makan siang sampai sekarang ketika mereka menuju rumah. Manggala membiarkan Nayara bergelut dengan kemacetan ruas tol Jagorawi di akhir pekan hanya agar pikiran Nayara tidak melayang ke mana-mana. Sepertinya gadis itu menikmati mengendalikan kemudi mobil. Sepanjang jalan Nayara terlihat santai dan tidak menunjukkan gejala kepanikan.Duduk santai di sisi penumpang, ingatannya melayang ke siang tadi ketika mereka mengantarkan berkas legalitas Sastra MediaNesia ke kantor Wiguna. Papanya tidak di tempat. Dia hanya menitipkan berkas itu pada sekertaris Wiguna lalu langsung pergi. Di dalam kotak itu terlampir surat resmi penyerahan Sastra MediaNesia darinya termasuk klausa tanpa pertukaran apa pun.Sebesar apa rasa syukur Manggala atas keberadaan gadisnya sepanjang minggu ini terasa di tubuhnya yang baik-baik saja dengan mengabaikan dua kali kejadian mimisan
BESOK adalah hari H. Tapi pagi ini mereka bertiga santai saja menyiapkan makan pagi di dapur. Gia sebenarnya ingin keluar melihat kebun, tapi yang lain tak mau. Manggala bahkan tidak bermaksud mengurus tanamannya hari ini. Berhubung dia sedang bertugas menjadi orang ketiga, terpaksa dia bertahan menjadi obat nyamuk. Berasap berputar sendirian sementara dua yang lain asyik sendiri.Sebenarnya tidak juga asyik sendiri. Mereka tetap mengajak Gia berbincang, tapi ketika yang mereka bicarakan adalah urusan kantor, calon startup, atau bahkan keluarga mereka, Gia merasa bukan ranah dia untuk ikut berbicara.“Nay, muka lu kusam banget. Gue bisa umpetin pake foundation sepuluh lapis, tapi rambut lu nggak ada harapan gue beresin. Sudah terlalu berantakan. Kecuali lu mau berkonde. Gue bisa umpetin juga.” Gia berdiri di belakang sambil memegang rambut Nayara yang sedang menikmati roti bakar.“Awas aja lu kondein gue. Nggak matching
GIA terpaksa mengalah tidak jadi ke kebun karena Nayara memaksa Manggala beristirahat dan dia berjaga seperti pitbull. Nayara memang mempersilahkan Gia ke kebun, tapi Gia tidak mau meninggalkan mereka berdua saja apa pun alasannya. Terpaksa dia kembali berkencan dengan ponsel di sofa ruang tamu sementara Nayara dan Manggala tidur di kamar yang berbeda.Dua orang itu begitu santai di hari H. Malah Gia yang repot memastikan semua akan berjalan lancar. Sejak pagi, dia sudah mengecek ulang semua daftar termasuk menelepon kesiapan semua lini. Sampai akhirnya ajakan Nayara ke tubir mampu mengalihkan konsentrasinya.“Astaga… Ini lebih keren daripada di foto.” Gia segera memberikan ponselnya lalu bergaya di tubir. “Pantas lu seneng banget ngelihatin foto Manggala di sini. Pasti lu bayangin background-nya juga deh.”Nayara hanya tersenyum. Foto itu masih menjadi wallpaper ponselnya.“Gimana kalian? Sudah
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap