DUA hari kemudian, siang itu mereka baru saja kembali ke kantor. Manggala bermaksud akan mengantar Nayara sampai pintu Papyrus. Nayara masih tertawa-tawa kecil ketika dia merasa tubuh di sampingnya menegang. Dia ikuti tatapan Manggala.
Wiguna.
Dan Mahesa.
Nayara bermaksud menjauh. Memberi jeda pada ayah dan anak berbincang. Tapi tangannya tertahan genggaman Manggala yang tiba-tiba menguat.
“Lu masih sama dia?” ujar kakaknya.
“Gue sama siapa itu urusan gue.” Jawaban singkat yang ditanggapi dengan satu kali anggukan.
“Papa dengar kamu mau buka lini baru?”
“Gosip cepat tersebar ya,” Manggala menjawab sinis mendesis.
“Bukan gosip kalau benar.” Mahesa ikut bersuara.
“Itu untuk target tiga tahunan.” Manggala sudah tahu siapa yang membocorkan rahasia itu. Tapi memang dia tidak bermaksud merahasiakan. Hanya tidak ingin memberitahu Wiguna saja. Toh waktunya masih panjang.
“Tumben nggak dekat deadline. Bi
Cerita ini punya beberapa klimaks. Ngerasa nggak? Nayara sudah ngelamar, Manggala oke mereka nikah secepatnya. Manggala sudah cerita gimana dia kemarin. Sudah antiklimaks di sana. Tapi hidup nggak seperti dongeng-dongeng Kakek Hans Christian Anderson. Ketika orang sudah nikah justru masalahnya makin variatif. Tapi kata saya solusinya sih simpel. Jujur dan terbuka. So, here you are. Nanjak lagi yuks. Tapi untuk nurunin tensi, mereka kan sudah akur tuh, scene-scene sweet-nya makin jleb aja loh.
APA yang harus aku lakukan? Yang ingin dia lakukan sekarang hanya memeluk Manggala. Tapi apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Akhirnya Nayara mengikuti instingnya. Perlahan dia mendekati Manggala, berdiri tepat di hadapannya, mengganggu fokus Manggala. Dia mengambil tangan yang mengepal kaku, mengelus buku jarinya, lalu menarik tangan itu ke arah sofa lalu membantunya duduk. Manggala harus relaks. Pun ketika duduk dia masih sekaku papan. “Manggala…” Nayara mengelus bahunya. Tapi Manggala masih diam. Ini menakutkan. Bukan Manggala yang menakutinya tapi kediamannya yang membuat Nayara gentar. “Manggala…” Tangannya naik mengelus rambutnya. Merapikan anak rambutnya. Mengelus rahangnya yang menegang kaku. Tubuhnya semakin merapat. Dia hanya duduk di ujung sofa demi bisa melihat wajah Manggala. “Manggala…” Tangan Nayara semakin berani. Dia harus meneguhkan hatinya untuk seberani ini menghadapi Manggala yang mungkin tidak sad
MALAMNYA Manggala gelisah di ranjang. Sudah dini hari. Nyaris tengah malam baru dia sampai di flat setelah mengantar Nayara pulang dari Mak. Dia memang biasa tak tidur sampai pagi, tapi hanya tak bisa tidur dan gelisah tapi pikirannya kosong. Kali ini kepalanya penuh. Rencana pindah kantor, pernikahannya, Manuskrip, anak-anaknya yang lama, Nayara, dan yang lain berhimpitan mengisi kepalanya sampai terasa sangat penuh. Kepalanya berdenyut. Dia harus mencari pengalih perhatian.Melirik ponsel di nakas, dia tahu, cahaya ponsel akan semakin membuatnya sulit tidur. Tapi cuma melalui ponsel dia bisa terhubung dengan Nayara. Sambil mendengus, dia menyambar ponsel, langsung membuka chat dengan Nayara.Last seen dua menit lalu.Dia belum tidur.MGP : Kenapa belum tidur?Tanda ceklis yang langsung berubah warna bisa langsung membentuk senyum di wajahnya.&
PAGI itu mereka berangkat bersama ke kantor. Meski masih kacau dengan berjuta pikiran, tapi Manggala merasa lebih baik. Jarak apartemen dan kantor memang tidak seberapa jauh tapi dia berkali-kali melirik gadis yang duduk di sampingnya sambil membalas chat. Tidak ada yang perlu mereka bahas sekarang.Dia membiarkan Nayara bercerita pada sahabatnya. Apalagi yang seorang gadis ketikkan secepat itu di keyboard ponsel jika bukan curahan hati pada sahabat sejati? Dia tersenyum. Nayara beruntung memiliki Gia dan Mak Tita.Dan hari ini belalu dengan penuh ketenangan. Tidak ada kejadian menjengkelkan yang terjadi sampai waktu pulang.Ph Nay : Aku pulang duluan ya. Kamu nggak apa-apa?MGP : Nanti aja sama aku.Ph Nay : Kalau terlalu malam apa aku boleh naik grab aja? Ph Nay : Kalau kamu antar aku dulu terlalu mutar. MGP &nbs
HARI baru di awal pekan. Setelah seharian berhibernasi berlanjut sehari berkencan. Mereka merasa lebih siap menyambut hari yang baru.Berita memang cepat sekali sampai ke telinga yang lain. Baru akhir pekan Manggala bertanya pada building management, siang itu Mahesa sudah berderap ke kantor SasMeN. Yang ketika dia tidak menemui Manggala di ruangannya dia kejar sampai ke Aksara.Manggala sedang berbincang serius dengan petinggi Aksara. Tentu tentang urusan penggabungan ruang atau bahkan pemindahan kantor. Saat itulah Mahesa datang dan langsung menatap tajam Manggala.“Belagu amat jadi anak,” ujarnya tanpa basa-basi.Melihat situasi seperti itu, tim Aksara langsung membubarkan diri. Manggala kembali tersedot ke dalam pusaran cyclone. Berusaha menenangkan diri, paling tidak, terlihat tenang, tapi sepertinya dia gagal. Dia bisa merasakan otot-otot di wajahnya menegang. Yang dia ingat saat itu hanya Nayara. Dia mau Nayara ada di
MENENANGKAN Manggala selalu menjadi episode tersulit yang harus dia jalani.“Aku dengar b*ngs*t itu ngomong apa tentang kamu, Nayara.” Manggala mendesis sambil berontak berusaha melewati tubuh Nayara.“Sudah. Biarin aja.” Nayara terus berdiri menghalangi Manggala. Tangannya memeluk, kepalanya mendorong Manggala menjauh. Hanya karena Nayaralah yang menjadi penghalang membuat Manggala tidak berlaku kasar menghalau dan mendorong.“Nggak cukup dia menghina aku?” Manggala masih berusaha melepaskan diri dari Nayara yang terus mendorongnya mundur menjauhi pintu.“Biarin, Manggala.” Mereka akan benar-benar bergulat di ruangan ini. Nayara menarik pinggang Manggala sekuat tenaga membuat Manggala oleng dan berpegangan pada tepi meja. Ketika itulah Nayara memaksanya duduk. Terengah dia berdiri menghalangi Manggala yang kembali berusaha berdiri.“Manggala. Sudah. Tenang dulu.”“Dia keterla
MASIH belum jam delapan ketika Nayara menemani Manggala mengecek satu per satu anak-anak [usaha]nya. Manggala memulai dari anak pertamanya. Aksara. Ruangan besar itu masih cukup ramai. Markas portal berita tempat yang paling jarang sepi. Mereka biasa bekerja sampai larut malam. Bahkan kabarnya sampai ada yang menginap. Deadline di sini memang gila-gilaan. Manggala masuk, membalas salam ala kadarnya lalu terdiam.Manggala menyapu pandangannya ke seluruh penjuru.“Aku mulai semuanya dari Aksara.” Manggala berjalan perlahan lebih masuk ke tengah ruang. “Aplikasi yang pertama aku buat memang Papyrus, tapi aku mulai dari Aksara.”“Aku belum pede jalanin Papyrus. Aku bukan pembaca novel online. Gambaran aplikasi baca online masih buram. Aku mulai dari Aksara karena aku biasa baca berita online. Aku tahu aku mau portal berita yang seperti apa. Sambil jalanin Aksara aku riset platform baca online termasuk bikin survey seba
MELIRIK dua pintu di samping unit Manggala sambil mengingat posisi balkon di dalam, Nayara berlari ke kanan, lalu mengetuk pintu itu. Mulanya pelan, tapi semakin lama semakin keras. Sampai akhirnya dia mendengar suara dari dalam. Tak lama sebuah wajah muncul dari balik pintu yang terbuka terhalang gerendel.“Ya?”“Ma… maaf, Mas. Saya harus ke unit sebelah. Manggala nggak bisa dihubungi. Saya takut dia ada masalah.” Pintu hanya terbuka sedikit. Tapi melihat tamunya datang sendirian dengan wajah berantakan Shaq membuka lebar pintunya. Dan Nayara tanpa pamit lagi langsung berlari ke balkon. Mimo yang terkejut hanya mematung di samping Shaq.Shaq bergerak cepat mengejar Nayara. Dia berhasil menahan Nayara yang sudah memanjat pagar. Mimo berteriak melihat tamu tengah malamnya senekat itu. Akhirnya dia membantu Shaq menahan Nayara lalu menariknya masuk ke rumah. Mimo segera mengunci lagi pintu balkon.“Tolong, saya harus ke
DAN ketika akhirnya kabar itu datang, dia kembali menangis. Kondisi Manggala membaik dan sudah bisa ke kamar perawatan. “Manggala… I’m here, Manggala. Ini aku, Manggala. Kuatlah.” Sepanjang selasar menuju ruang perawatan Nayara terus berbisik sedekat mungkin di telinga Manggala. Setelah memastikan semua sudah tertangani dengan baik, Mimo dan Shaq berpamit pulang. Tak putus terima kasih Nayara kepada mereka berdua. Dia memeluk Mimo sangat erat dan berjanji akan mengabari kondisi Manggala secepatnya. Sisa Gia yang bertahan. Nayara memaksanya pulang ketika melihat Gia pun sudah layu. Seminggu keliling berpindah kota, tentu saja dia kelelahan. Tapi bagaimana mungkin dia meninggalkan Nayara yang lelah fisik dan psikis seperti ini? Dia hanya butuh tidur, itu bisa dia lakukan di mana saja. Sedangkan Nayara, makan tak jelas, tidur pun tidak. Tak bisa memaksa Nayara tidur, Gia memaksa sahabatnya makan. Seperti biasa, keributan khas mereka berd