“Jangan terlalu memercayai Kevin. Aku takut dia memanfaatkan situasi,” bisik Fabian pada Dewa. Kedua pria tampan dan mapan itu mengamati interaksi Kevin dan Mathilda. Tampaknya kakak kandung Rosalyn menanamkan kebencian sangat dalam pada sang ibu. Bahkan, Kevin tegas menghempas tangn Mathilda yang menyentuhnya. “Kasar sekali!” geram Fabian sembari melangkah menuju gerbang depan. Akan tetapi, Dewa mencekal pergelangan tangan mantan rival lalu menggeleng pelan. Sebenarnya ia tidak ingin membuat keributan di area ini. “Itu urusan mereka, sebaiknya kita tidak perlu ikut campur. Di sana juga ada Paman Felix.” Ucapan Dewa diangguki Fabian. Tidak lama kemudian keduanya melihat Kevin telah menjauh dan mengemudikan kendaraan roda dua. Sama halnya dengan Mathilda, langsung masuk mobil lalu meninggalkan kawasan ini. Sedangkan Rosalyn masih berjongkok di samping pusara Vinsensia. Netra hazel menatap dalam pada batu nisan yang baru saja terpasang. Ia menghela napas panjang, lalu Anna mengusap
Satu bulan berlalu, kehidupan Rosalyn dan Dewa berjalan mulus. Sama halnya dengan Fabian dan Anna. Setiap akhir pekan, kedua pasangan itu selalu double date. Entah itu sekadar makan atau menonton film komedi di bioskop. Seperti saat ini, mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan.“Besok Janeta boleh pulang. Aku tidak sabar melihatnya. Kak Kevin bilang jam sepuluh pagi bertemu di pusat medis,” ujar Rosalyn bernada antusias.Selama sebulan ini juga ia rajin bertukar kabar dengan sang kakak. Rosalyn bahagia karena Kevin telah mendapat pekerjaan layak dan hidupnya tampak sangat baik. Ia percaya kakaknya mampu merawat bayi mungil itu.“Benarkah? Janeta pasti senang Papanya mau jemput. Apa aku boleh melihat anak itu di rumah sakit?” pinta Anna sambil menggenggam tangan Rosalyn.Rosalyn melirik Fabian lantas bertutur, “Itu tergantung suamimu. Ingat, sekarang kamu seorang istri.”Sebelum Anna bertanya, Fabian lebih dulu bersuara. “Aku izinkan asalkan kamu melihat Janeta bukan Kevin!”Men
“Sebenarnya aku salah apa?” gumam pemilik bibir tipis merah muda. Saat ini Rosalyn berdiri di balkon kamar.Dua hari ini Rosalyn merasa ada yang aneh dengan kehidupannya. Dewa selalu pulang larut malam, dan wajah pria itu sangatlah masam. Bahkan anak-anak menjauh, mereka lebih senang menghabiskan waktu bersama para kakek dan nenek.Netra berbentuk almond ini menatap ke bawah, di mana dua anak kembar sedang berlarian bersama Dewa. Ia mengembus napas pelan dan menangkup pipinya lalu mengeluh, “Mereka tidak mengajakku bermain.”“Arimbi, Brahma, Papa … Mama ikut main, ya?” teriak Rosalyn sekuat tenaga. Padahal ia sudah mengeluarkan suara keras, tetapi tak satu pun dari mereka menoleh padanya. Sungguh keterlaluan! Rosalyn menekuk bibir lantas masuk dalam kamar.Ia menyalakan laptop dan membuka email pekerjaan yang dikirim oleh Lily. Alangkah terkejutnya Rosalyn sebab terjadi masalah dan laporan yang diterimanya semua salah. Satu tangan wanita itu meremas kuat rambut panjang.Lagi, kejadia
“Akting kalian benar-benar meyakinkan,” kata Rosalyn sambil memandangi seluruh anggota keluarga berbagi cerita, tawa serta kasih sayang di depannya. Ia juga bersandar di bahu kokoh suami.“Ya berterima kasihlah pada anak-anak. Apalagi Brahma—"Mulut Dewa langsung terkatup rapat karena melihat lirikan tajam dari sang putra. Pria itu mengangguk paham bahwa anaknya ingin memberikan seseuatu yang istimewa.Rosalyn mensyukuri kehangatan ini, kedua mertuanya bercengkerama bersama Feli dan Tuan Jack. Kemudian, para ipar turut meramaikan dengan menari-nari, sedangkan pasangan pengantin baru bernyanyi di panggung kecil.Semua sangat sempurna, kehadiran Kevin dan Janeta menjadi pelengkap. Ini merupakan anugerah tak ternilai bagi Rosalyn.“Bagaimana caranya kamu membujuk Kak Kevin? Lalu bosnya bagaimana?” Pertanyaan Rosalyn membuat Dewa nyaris memuntahkan air minum dari rongga mulut.Bos Cwell Grup itu terbatuk-batuk sambil menepuk dada, lantas menyengir dan berkata, “Memangnya kamu lupa siapa s
Sepanjang perjalanan menuju Vila Caldwell, Rosalyn lebih banyak diam. Pandangannya lebih tertarik pada objek kendaraan di luar sana. Tadi, dia memutuskan pulang, enggan berdebat apa pun bersama Kevin dan Dewa. Apalagi Mathilda, percuma menanggapi ocehan ibu sambungnya yang tidak mau mengalah.“Sudah sampai di vila, Nyonya,” ucap seorang sopir. Ya, Rosalyn enggan mengemudi sendiri, ia merasa suasana hatinya sedang buruk.“Hu’um, terima kasih.” Wanita berambut panjang ini keluar dari mobil.Bertepatan dengan ia menutup pintu bagian belakang, mobil sport mewah milik Dewa memasuki halaman. Pria itu tergesa-gesa menghampiri Rosalyn. Dewa tidak mau ucapan Mathilda merusak rumah tangganya.“Aku bisa jelaskan semuanya, Sayang. Jangan marah lagi, ya.” Dewa meraih satu tangan Rosalyn lalu mengecupnya.Tidak ada penolakan atau tanggapan apa pun dari bibir tipis merah muda membuat Dewa cemas.“Ayo masuk dulu,” ajak pria itu.Rosalyn berjalan tepat di samping sang suami. Kemudian, keduanya masuk ru
“Aku kasihan melihat kondisi Kak Kevin saat ini. Dia berjuang merawat Janeta sendirian tanpa mau meminta tolong,” kata Rosalyn. Ia merebut paksa ponsel dari tangan suami.Dewa tertegun mendengar ucapan berirama sendu itu. Memang beberapa hari ini ia juga menerima informasi bahwa Kevin sulit membayar biaya asuransi kesehatan Janeta. Alhasil pria itu terpaksa menjual sisa barang berharga untuk melunasi pengobatan putri kecilnya.“Selama ini aku tidak membantu Kak Kevin. Apakah Ayah akan marah padaku dari alam kubur? Aku harus bagaimana, Dewa?” Rosalyn mengguncang lengar kekar pria itu.Helaan napas berat keluar dari celah bibir sensual. Dewa mendekap erat tubuh Rosalyn lantas membelai surai panjang nan lembut.“Sepulang dari sini kita membesuk Janeta. Kamu rindu dengannya bukan?”Sebagai tanggapan, Rosalyn mengangguk kecil.Dua hari ini Rosalyn benar-benar sibuk menangani proyek konstruksi serta peluncuran p
[Kapan kamu ambil alih Bma Corp? Ibu tidak sabar tinggal di mansion.][Sekarang dia lebih banyak di Kota Zurich, ini kesempatan emas mengambil perusahaannya. Siapa lagi orang yang bisa dipercaya selain kamu, kakaknya. Berjuanlah, Nak, demi keluarga kita!][Kalau sudah kaya raya, kamu bisa menikah lagi. Janeta butuh sosok ibu.]Kevin mendengus kasar membaca notifikasi pesan beruntun dari sang ibu. Ia meletakan ponselnya di dalam laci meja kerja. Kemudian beranjak menuju ruang manajer sambil membawa laporan hasil penjualan.Setelah Janeta dinyatakan sehat, Kevin memboyong putri tercinta ke Kota Milan. Ia menyewa pengasuh untuk merawat bayi kecil itu dan tinggal di rumah fasilitas kantor. Ya, sudah sepuluh hari kakak kandung Rosalyn bekerja di Bma sebagai staf pemasaran. Pria itu enggan mendapat posisi tinggi secara Cuma-Cuma, merasa tidak pantas.Bahkan Kevin mengajukan syarat pada Rosalyn, bersedia bergabung bersama Bma Corp asalkan biaya pengobatan Janeta yang telah lunas dipotong dar
Memasuki musim panas, suhu malam hari di permukan bumi menjadi lebih dingin. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi Dewa. Setelah makan malam, justru ia melepas kaos putih yang membingkai tubuh atletis, sehingga menampakkan garis-garis tegas terpahat sempurna.Ia duduk di ruang keluarga sembari menemani kedua buah hati menyusun puzzle dinosaurus.“Belum selesai juga?” tanya Dewa lalu geleng-geleng kepala.“Sabar, dong, Pa. Ini ‘kan ada 500 keping!” seloroh Arimbi dengan gaya khasnya yang sangat mirip Rosalyn.“Baik, waktu kalian masih 15 menit lagi. Kalau gagal, liburan musim panas ke Bali dibatalkan, ya,” kata Dewa, menikmati wajah gusar dua buah hati.Tidak lama kemmudian, Rosalyn datang membawa nampan berisi camilan yang menggoda indera penciuman. Ia meletakkan di atas meja, lalu tersenyum melihat keseriusan dua orang anak.“Kamu keterlaluan, bisa-bisanya memberi tantangan seperti itu pada anak kecil.” Rosalyn duduk berseberangan dengan Dewa.“Tidak apa Sayang. Supaya mereka berjuan
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh