Setelah mengunci pintu kamar. Avanthe segera meletakkan Hope di antara bantal, mengatur posisi putri kecilnya bersandar di kepala ranjang, lalu menyerahkan boneka gajah untuk dimainkan.
Tarikan napas Avanthe panjang, lelah dan nyaris tidak bisa mengatakan apa pun. Dia segera mengambil tindakan membuka ikatan rambut di kepala. Kemudian pelan – pelan meluruh ke bawah; duduk di atas lantai sambil melipat tangan di pinggir kasur dan menyangga wajah di sana.Untuk beberapa saat waktu berjalan begitu hening. Rasanya Avanthe akan terlelap jika dia tak memikirkan Hope masih diliputi keinginan begadang. Mata terang itu melentik lebar; sementara Avanthe diam memperhatikan putri kecilnya yang mulai sibuk sendiri. Terkadang dia akan tersenyum ketika Hope berteriak gemas seraya menarik kuping gajah yang lebar.Tidak ada yang bisa menandingi sulut kebahagiaan di benak Avanthe selain mendapati putri kecilnya semakin pintar dan menggemaskan. Sesekali Avanthe juga akan bergerak saat Ho“Hope – Hope-nya Mommy wangi sekali.” Avanthe dengan telaten menyematkan kancing – kancing pada pakaian berlengan panjang di tubuh Hope, sesekali akan mencium ceruk leher putri kecilnya hingga Hope akan menanggapi diliputi tawa menggemaskan.Dia melirik jam di dinding. Jarum – jarum hitam yang bergerak menunjukkan seharusnya saat ini Shilom akan meninggalkan rumah untuk bekerja. Avanthe memang sengaja mengambil waktu sedikit lebih siang, karena saat kali pertama terbangun dan mematut diri di depan cermin; dia menemukan luka lebam di sudut bibir terlihat begitu jelas. Tidak cukup berani menunjukkan semua itu di depan wanita yang Avanthe sendiri tidak tahu; sedang apa Shlom sekarang ini? Apakah menunggu jemputan atau justru melakukan kegiatan lainnya? Dia tak berani langsung memastikan. Bahkan ketika harus memandikan Hope. Avanthe harus menemukan waktu yang tepat; ketika Shilom menyiapkan diri di kamar. Betapa pun seperti itu caranya, dia harus melakukan segala sesuatu secara terburu, d
Selesai menidurkan Hope. Avanthe menyibukkan diri melakukan perkerjaan lainnya; melipat pakaian – pakaian kecil dan menyusun ke keranjang yang diletakkan di sudut kamar; menyapu ruangan—dari dapur menuju halaman depan; kemudian membersihkan perangkat – perangkat yang ada di dapur—memastikan dia tak melewatkan sedikitpun perkejaan agar ketika Shilom pulang, wanita itu tidak akan menghadapi pekerjaan rumah setelah lelah harus mengurus gedung mentereng milik pria yang ....Tiba – tiba Avanthe meletakkan satu piring di tangannya sedikit kasar. Dia mengerjap. Menghela napas lalu melangkahkan kaki menuju kamar. Semua sudah selesai. Avanthe pikir dia bisa sedikit beristirahat menenangkan pikiran yang sejak awal tidak pernah berakhir baik – baik saja. Avanthe tak mengerti mengapa dia terus – terus diliputi rasa takut. Barangkali karena pesan yang dititipkan untuk disampaikan kepada Hores menjadi salah satu tolak ukurnya. Avanthe takut kalau keputusan yang dia ambil tidak pernah dis
“Tadinya aku pikir tamparanku membuatmu sakit sehingga Shilom membenarkan berita tentang kau yang tak masuk kerja hari ini.” Detil bisikan Hores luar biasa begitu dekat di wajah Avanthe setelah pria itu membantingnya dengan kasar ke atas ranjang.Tidak banyak yang bisa Avanthe lakukan saat sementara kedua lengannya masih terpenjara oleh genggaman Hores yang mencekam. Pria itu bahkan duduk di perut bagian bawahnya. Avanthe menggeleng beberapa kali demi menolak bibir Hores yang semakin tak berjarak di sekitar pendengaran. Seringai pria itu sangat licik. Avanthe tidak berdaya, bergetar ketika Hores akan melunjutkan kata – kata yang belum usai.“Aku pikir tidak apa – apa mengunjungimu sebentar. Tapi saat melihat kau ternyata sangat sehat, rasanya semua itu berubah.”Embusan napas begitu panas menyapu di kulit wajah Avanthe. Dia masih mencoba menolak keberadaan pria yang memiliki kuasa penuh atas dirinya. Tenaga Avanthe tak akan pernah sebanding dari badan kekar dan liat
Kelopak mata Avanthe mengerjap beberapa kali mendapati pemandangan yang berputar di iris keunguan miliknya; dia menatap langit – langit kamar seraya mengambil sisa ingatan menyedihkan yang Hores ciptakan. Pria itu meninggalkan begitu banyak hal buruk.Sesaat wajah Avanthe berpaling ke sekitar; pikirannya begitu kosong merasakan rongga dada yang begitu sesak. Sekadar bernapas pun, dia harus menghadapi sebuah kesulitan besar. Dengan bibir setengah terbuka Avanthe mencoba menghirup segenap udara yang bahkan masih memiliki kesan memilukan. Mendapati tangannya masih terikat begitu erat. Lengan Avanthe segera bergerak; dia sedikit memberontak hingga bekas merah—membiru di pergelangannya cukup mencolok. Hores tidak terlihat di mana pun setelah melakukan tindakan kotor. Ntahlah, alih – alih membuat Avanthe lega. Dia justru menerima firasat buruk. Secara absolut tubuh Avanthe melakukan satu tindakan lainnya yang secara pasti melibatkan bibir untuk meringis saat seluruh bagian dalam
“Yakin tidak mau kutemani?”Kai bertanya setelah Avanthe berpamitan turun. Tidak ada yang salah dari sikap tanggung jawab Kai selama pria itu merasa sesuatu yang buruk sedang mencoba melumpuhkan keteguhan Avanthe. Hanya senyum tipis, takut dan ragu – ragu yang paling berani Avanthe serahkan ketika dia akan menolak tawaran pria itu. Kai tidak seharusnya direpotkan terlalu banyak. Avanthe tidak ingin melibatkan Kai ke dalam masalah hanya dengan alasan mereka bertetangga. Pria itu akan selalu mengetahui bagaimana keadaannya lewat jarak rumah yang begitu dekat. Hal tersebut sudah lebih daripada cukup. Avanthe segera bersiap membuka pintu mobil.Dia berhenti sebelum benar – benar akan meninggalkan Kai. “Kau basah kuyup gara – gara aku, Kai. Lebih baik kau mandi, atau kalau tidak kau akan sakit. Aku sangat berterima kasih atas tumpanganmu.”Memang sepanjang perjalanan, hujan beranjak menjadi rintik – rintik. Avanthe melambaikan tangan ke arah pria yang masih menatapnya skeptis
Dengan gugupnya Avanthe meninggalkan Kai seorang diri. Beranjak masuk ke dalam kamar diliputi kebutuhan menarik napas yang dalam. Dia langsung mencari pakaian yang pantas. Celana kain panjang dan pakaian hangat merah muda. Rambutnya yang lembab – basah, dibiarkan menjuntai di belakang punggung. Avanthe mematut diri sebentar di depan cermin. Memperhatikan wajah pucat dengan sudut bibir tersisa samar – samar bekas tamparan, dan senyum getir yang mencoba menghias di sana. Untuk keberkian kali Avanthe menarik napas dalam; tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang dirinya. Paling tidak itu yang coba dia lakukan untuk mendorong sebuah naluri bertahan; sebuah naluri supaya dia tahu kapan harus menyerah dan tidak. Segera Avanthe mengembuskan secara perlahan kemudian memutuskan satu tekad menemui Kai yang mungkin sedang menunggunya di luar. Persis demikian yang masih Kai lakukan. Senyum pria itu ramah saat Avanthe mendatangi ruang tamu. “Kau mau minum apa, Kau? Teh hangat atau kopi?” ta
“Apa ...? Ava masuk rumah sakit?”Suara Shilom sarat nada khawatir mengetahui Avanthe mengalami sebuah masalah; dia mendadak tidak bisa bersikap sebagaimana akan sangat sunyi di gedung mentereng ini; bukan sebuah kebiasaan ketika Shilom jauh lebih sering menghadapi pekerjaan sendiri – sendiri, kecuali di saat – saat tertentu akan bertemu Freed, tukang kebun. Dan sekarang rasanya Shilom tak bisa tinggal diam. Tanpa sadar dia meletakkan tangan di bagian dada; merasakan detak jantung yang meraung keras. Kai menghubunginya untuk memberitahu terkait kondisi terakhir Avanthe, yang seharusnya Shilom segera menyiapkan diri untuk berpamitan pulang.“Kirimkan alamat rumah sakit ke ponselku, Kai. Aku akan pergi ke sana sekarang.”Tidak butuh waktu yang lama Shilom sudah menerima sebuah pesan. Sambungan telepon terputus, dia langsung menyelesaikan tahap terakhir dari sisa pekerjaan membersihkan bercak kotor di meja bar.Shilom meletakkan kain yang digunakan setelah melipat denga
“Akhirnya kau sadar, Ava.”Beberapa kali Avanthe mengerjap, mencoba memahami situasi di sekitarnya tetapi hanya Kai yang dia dapati baru saja menutup sebuah halaman buku. Tubuh Kai terlihat tegap; duduk di pinggir blankar meski sudah tersedia satu kursi di samping.“Aku di mana?” tanya Avanthe lambat, merasakan sebagian tubuhnya begitu putus asa. Dia ingin bangun. Namun harus menyerah saat pusing di kepala seolah sedang melarang melakukan satu pun gerakan.Senyum Kai begitu tipis ketika akhirnya tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Avanthe dengan lembut.“Jangan dipaksakan,” ucap Kai setengah berbisik. Masih diliputi senyum yang sama pria itu melanjutkan. “Kau tiba – tiba pingsan dan sekarang ada di rumah sakit.”Sebuah jawaban yang khas, itulah hal paling terakhir Avanthe ingat. Setidaknya dia bersyukur Kai masih mau untuk menanggapi pertanyaan yang telah diberikan terdahulu. “Terima kasih.” Avanthe bisa mendengar suaranya sendiri begitu lirih. Be