“Akhirnya kau sadar, Ava.”
Beberapa kali Avanthe mengerjap, mencoba memahami situasi di sekitarnya tetapi hanya Kai yang dia dapati baru saja menutup sebuah halaman buku. Tubuh Kai terlihat tegap; duduk di pinggir blankar meski sudah tersedia satu kursi di samping.“Aku di mana?” tanya Avanthe lambat, merasakan sebagian tubuhnya begitu putus asa. Dia ingin bangun. Namun harus menyerah saat pusing di kepala seolah sedang melarang melakukan satu pun gerakan.Senyum Kai begitu tipis ketika akhirnya tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Avanthe dengan lembut.“Jangan dipaksakan,” ucap Kai setengah berbisik. Masih diliputi senyum yang sama pria itu melanjutkan. “Kau tiba – tiba pingsan dan sekarang ada di rumah sakit.”Sebuah jawaban yang khas, itulah hal paling terakhir Avanthe ingat. Setidaknya dia bersyukur Kai masih mau untuk menanggapi pertanyaan yang telah diberikan terdahulu. “Terima kasih.”Avanthe bisa mendengar suaranya sendiri begitu lirih. Be“Aku tak percaya jika Shilom masih betah bekerja untuk mantan suamimu.”Suara Kai meliputi keheningan. Tampaknya pria itu tidak cukup terkejut setelah merasa familiar terhadap perjalanan menuju mansion besar yang saat ini menjulang tinggi di hadapan mereka, meskipun mobil dihentikan sedikit dengan cara tak terduga. Avanthe menoleh, tatapannya bertemu Kai; dia melirik sangat tajam. Harus berapa kali Avanthe memberitahu pria itu supaya tidak menyebut Hores dengan nada – nada yang mengerikan. Tetapi, kendati demikian, Avanthe bisa merasakan tubuh Kai menegang. Raut wajah pria itu menunjukkan suatu hal, seolah Kai benar – benar tidak senang memikirkan kenyataan ini, ntah mengenai Shilom atau mansio besar Hores.“Jadi kita akan langsung menghadapnya?”Begitulah yang Kai tanyakan ketika Avanthe memastikan Shilom sedang menyiapkan diri turun. Dia mengangguk membenarkan apa yang barangkali sedang Kai susun di benak pria itu, kemudian hati – hati begeser dan beranjak keluar
Dengan desakan tak terungkap. Avanthe ketakutan mencoba memisahkan dua pria dewasa; Kai mendapat beberapa pukulan mutlak, tubuh pria itu terseret mundur beberapa langkah sehingga Avanthe segera memastikan bahwa Shilom akan mengerti lewat isyarat mata darinya.Bersyukurlah Kai hanya mengalami pendarahan di sudut bibir dan remuk - remuk di sekitar badan. Shilom segera membantu pria itu berdiri. Rasanya Avanthe tidak tahan ingin menghampiri pria yang sedang menyeka serembes darah di sudut mulutnya, tetapi Hores tiba – tiba mencegah langkah yang nyaris terangkat untuk tetap diam di tempat.“Lepaskan aku!” Avanthe menatap Hores garang. Pria pembuat onar! Dia benci terlalu lama bersamanya, berusaha berontak meski cengkeraman Hores luar biasa memberikan satu rasa sakit yang seakan ingin segera memecahkan pergelangan tangan Avanthe yang sama sekali tak sebanding terhadap kepalan tangan pria itu.“Satu kali saja kau bergerak, maka aku pastikan Hope tidak akan pernah kembali padam
“Tidak, Hores. Aku mohon, jangan ....”Kain – kain ditubuh Avanthe sudah terobek parah, sementara dia masih meminta pengampunan dari pria yang bahkan tidak memiliki simpatisan untuk mengakhiri tindakan keji. Hores jauh lebih tamak lewat satu hasrat ingin menjadikan Avanthe sebagai wanita paling merana. Sebuah rantai yang diambil dari laci adalah bagian paling menyakitkan; Avanthe berusaha menolak. Dia tahu kebutuhan menghadapi perlakuan Hores cukup mustahil. Perlahan – lahan mulai bergetar ketika satu pergelangannya terikat utuh, kemudian tangan yang lain segera menyusul.“Hentikan ini, Hores ....”Avanthe terisak di hadapan pria tak berperasaan. Mata mereka bertemu di bawah cahaya terang dan dia mendapati sekelebat bayangan di wajah Hores yang tak bisa dirangkai menjadi suatu ulasan menyedihkan. Napas Avanthe tercekat; masih berjuang, mencoba memberontak tetapi tatapan Hores menyapu seluruh tubuhnya dengan liar. Seringai di sudut bibir pria itu menciptakan sat
Avanthe segera menahan napas ketika Hores menutup pintu kamar; iris matanya tidak pernah meninggalkan satu titik di mana sebuah tindakan dari pria di hadapannya secara absolut membawa Hope masuk; betapa gadis kecil itu mungil dan sempurna di dalam dekapan tubuh yang liat, tetapi Avanthe tidak memiliki keinginan untuk mengagumi pemandangan indah tersebut. Dia khawatir terhadap Hope yang masih menangis sangat keras; mendeteksi sesuatu yang tidak nyaman sedang putri kecilnya rasakan. Lewat tindakan paling berani, Avanthe berusaha bangun dan ingin menggapai Hope. Ironi sekali Hores tidak pernah membiarkan apa yang sedang Avanthe pikirkan terjadi. Tatapan dari iris gelap itu sangatlah tajam. Setiap detil dan cara Hores mengamatinya, seolah ingin menembus dan merobek tubuh Avanthe. “Aku tidak memintamu bangun. Tetap di tempatmu dan jangan lakukan apa pun.”Suara pria itu membuat Avanthe menelan ludah kasar. Dia gugup; ketakutan, walau diliputi rasa ingin membawa Hope, sement
“Tidak, Hores. Aku mohon hentikan.”Tangan Avanthe bergerak, mencegah apa pun yang barangkali akan terjadi. Bagian paling menyakitkan adalah saat – saat tubuhnya sudah separuh bertelanjang, sementara Hores telah mendesak supaya dia telentang di atas lantai. Lengan Avanthe segera menyilang, menghindari tatap mata Hores yang kelaparan. Sudut bibir yang berkedut sinis nyaris membuat setengah kewarasan Avanthe lenyap. Dia berjuang keras tetapi pria itu telah menyingkirkan segala bentuk perlindungan yang dibuat.Napas Avanthe terengah ketika ujung jarinya mencoba menjauhkan wajah Hores. Namun, itu justru memberi Avanthe sebuah peringatan besar. Hores segera menekan tangan yang bersikeras menghalangi dan menyingkirkan di puncak kepala, sementara mulut pria itu mendesis; mulai melumat di payudaranya.“Hores, hentikan ....”Betapa suara Avanthe diliputi nada lirih menghadapi suatu krisis rasa takut yang besar. Dia tidak bergerak setelah menyadari upaya pemberontakan yan
Sepeninggalan Hores, situasi di sekitar kamar terasa luar biasa hening. Tidak tahu ke mana pria itu pergi; Avanthe tidak berusaha memikirkannya. Hanya sesekali tersenyum, menggerakkan ujung jari secara perlahan menyentuh bulu mata Hope yang panjang. Tanpa Hores. Tanpa segala tindakan jahat yang akan pria itu lakukan, Avanthe merasa sangat tenang di sini, berdua saja bersama putri kecilnya. Dia cukup lega mendapati Hope akan segera tidur, walau sisa – sisa air yang membasah di wajah menggemaskan itu sedikit menyergap perasaan Avanthe. Dia bertanya – tanya apakah Hope masih merasa tidak nyaman? Bertanya – tanya haruskah dia beranjak pergi sekadar mencari minyak yang dibutuhkan? Tidak. Avanthe segera mengerjap menghadapi pemikiran di puncak kepala. Siapa yang akan menganggapnya waras dengan keadaan seperti ini? Dalam balutan selimut tebal kemudian berjalan menyusuri ruang – ruang yang mentereng, barangkali itu hanya akan mengundang kegilaan Hores. Ketakutan absurd di benak Avanthe terus
Dengan satu hentakan mengejutkan, sesuatu dalam diri Avanthe seolah mendorongnya untuk terbangun. Dia mengerjap beberapa kali diliputi napas terengah menatap di sekitar ruang yang hening. Sebuah mimpi menyedihkan membuat debaran dada Avanthe berontak keras. Tanpa sadar kedua kakinya menekuk; memeluk tubuh sendiri tetapi dia tidak akan memiliki waktu lebih panjang sekadar merenungi momen – momen jahat yang berkilat di mimpinya semalam. Momen yang silih berganti menjadikan ketakutan Avanthe sebagai suatu hal yang rusak. Rasanya adegan berkepanjangan itu tidak pernah berhenti sampai ....Kesadaran di benak Avanthe sekali lagi membuat matanya mengerjap. Sulur – sulur cahaya merambat masuk dari tirai kain yang tipis. Napas Avanthe tercekat, dan reaksi berikutnya adalah menghadapi kebutuhan menyentuh tubuhnya dengan cepat. Udara langsung menyergap masuk ke rongga dada saat dia menemukan sehelai kain polos hitam membalut kebesaran. Avanthe tidak tahu siapa yang memakaikan baju unt
“Lepaskan aku, Hores!”Avanthe berteriak histeris merasakan guncangan dari setiap langkah lebar Hores. Pria itu berjalan meninggalkan lorong yang pernah membuat Avanthe tersesat. Posisi tidak menyenangkan seolah membiarkan darah mengalir dan menumpuk satu gumpalan di kepala. Avanthe mengerjap menghadapi perasaan tidak nyaman, tetapi Hores sama sekali tidak memiliki sikap peduli. Masih dengan langkah tentatif walau Avanthe sudah berusaha menyerahkan beberapa pukulan di tubuh liat pria itu.Semacam suatu harapan ketika samar – samar Avanthe menemukan cara; sedikit saja untuk mengubah posisinya lebih baik. Dia mencengkeram kain di tubuh Hores. Mendorong tubuhnya ke atas—tanpa perlu menjuntai – juntai lagi seperti momen buruk terdahulu.Yang tidak Avanthe sadari bahwa dia akan menemukan Shilom sedang tercengang sembari menutup mata Hope saat Hores melewati tubuh wanita itu. Ekspresi malu tak tertahan langsung menghinggap. Avanthe merasakan wajahnya memerah saat kontak mata b
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h