“Tidak, Hores. Aku mohon hentikan.”
Tangan Avanthe bergerak, mencegah apa pun yang barangkali akan terjadi. Bagian paling menyakitkan adalah saat – saat tubuhnya sudah separuh bertelanjang, sementara Hores telah mendesak supaya dia telentang di atas lantai.Lengan Avanthe segera menyilang, menghindari tatap mata Hores yang kelaparan. Sudut bibir yang berkedut sinis nyaris membuat setengah kewarasan Avanthe lenyap. Dia berjuang keras tetapi pria itu telah menyingkirkan segala bentuk perlindungan yang dibuat.Napas Avanthe terengah ketika ujung jarinya mencoba menjauhkan wajah Hores. Namun, itu justru memberi Avanthe sebuah peringatan besar. Hores segera menekan tangan yang bersikeras menghalangi dan menyingkirkan di puncak kepala, sementara mulut pria itu mendesis; mulai melumat di payudaranya.“Hores, hentikan ....”Betapa suara Avanthe diliputi nada lirih menghadapi suatu krisis rasa takut yang besar. Dia tidak bergerak setelah menyadari upaya pemberontakan yanSepeninggalan Hores, situasi di sekitar kamar terasa luar biasa hening. Tidak tahu ke mana pria itu pergi; Avanthe tidak berusaha memikirkannya. Hanya sesekali tersenyum, menggerakkan ujung jari secara perlahan menyentuh bulu mata Hope yang panjang. Tanpa Hores. Tanpa segala tindakan jahat yang akan pria itu lakukan, Avanthe merasa sangat tenang di sini, berdua saja bersama putri kecilnya. Dia cukup lega mendapati Hope akan segera tidur, walau sisa – sisa air yang membasah di wajah menggemaskan itu sedikit menyergap perasaan Avanthe. Dia bertanya – tanya apakah Hope masih merasa tidak nyaman? Bertanya – tanya haruskah dia beranjak pergi sekadar mencari minyak yang dibutuhkan? Tidak. Avanthe segera mengerjap menghadapi pemikiran di puncak kepala. Siapa yang akan menganggapnya waras dengan keadaan seperti ini? Dalam balutan selimut tebal kemudian berjalan menyusuri ruang – ruang yang mentereng, barangkali itu hanya akan mengundang kegilaan Hores. Ketakutan absurd di benak Avanthe terus
Dengan satu hentakan mengejutkan, sesuatu dalam diri Avanthe seolah mendorongnya untuk terbangun. Dia mengerjap beberapa kali diliputi napas terengah menatap di sekitar ruang yang hening. Sebuah mimpi menyedihkan membuat debaran dada Avanthe berontak keras. Tanpa sadar kedua kakinya menekuk; memeluk tubuh sendiri tetapi dia tidak akan memiliki waktu lebih panjang sekadar merenungi momen – momen jahat yang berkilat di mimpinya semalam. Momen yang silih berganti menjadikan ketakutan Avanthe sebagai suatu hal yang rusak. Rasanya adegan berkepanjangan itu tidak pernah berhenti sampai ....Kesadaran di benak Avanthe sekali lagi membuat matanya mengerjap. Sulur – sulur cahaya merambat masuk dari tirai kain yang tipis. Napas Avanthe tercekat, dan reaksi berikutnya adalah menghadapi kebutuhan menyentuh tubuhnya dengan cepat. Udara langsung menyergap masuk ke rongga dada saat dia menemukan sehelai kain polos hitam membalut kebesaran. Avanthe tidak tahu siapa yang memakaikan baju unt
“Lepaskan aku, Hores!”Avanthe berteriak histeris merasakan guncangan dari setiap langkah lebar Hores. Pria itu berjalan meninggalkan lorong yang pernah membuat Avanthe tersesat. Posisi tidak menyenangkan seolah membiarkan darah mengalir dan menumpuk satu gumpalan di kepala. Avanthe mengerjap menghadapi perasaan tidak nyaman, tetapi Hores sama sekali tidak memiliki sikap peduli. Masih dengan langkah tentatif walau Avanthe sudah berusaha menyerahkan beberapa pukulan di tubuh liat pria itu.Semacam suatu harapan ketika samar – samar Avanthe menemukan cara; sedikit saja untuk mengubah posisinya lebih baik. Dia mencengkeram kain di tubuh Hores. Mendorong tubuhnya ke atas—tanpa perlu menjuntai – juntai lagi seperti momen buruk terdahulu.Yang tidak Avanthe sadari bahwa dia akan menemukan Shilom sedang tercengang sembari menutup mata Hope saat Hores melewati tubuh wanita itu. Ekspresi malu tak tertahan langsung menghinggap. Avanthe merasakan wajahnya memerah saat kontak mata b
Napas Avanthe tercekat mendeteksi sebuah masalah besar. Dia ketakutan ketika Hores sengaja menekan wajahnya yang menyamping untuk tenggelam di antara bantal. Sementara pria itu sedang mengesahkan satu tindakan tak bermoral dengan melucuti celana kain panjang dan memaksa pinggul Avanthe terangkat tinggi sekadar memuaskan hasrat ‘memukul’ yang pria itu rasakan. Tubuh Avanthe sering kali tersentak mendapati telapak tangan Hores akan menepuk kasar; meninggalkan bekas memanas di bokongnya. Rasanya benar – benar menyedihkan. Avanthe tidak berani bersuara ketika desakan dari pukulan tangan Hores kembali menciptakan bunyi mengerikan. Dia yakin kulit tubuhnya mungkin telah bermunculan bekas kemerahan. Hores seperti tidak mengira – ngira ketika akan memukul. Yang pria itu tahu adalah cara memuaskan gairah. Sangat dengan sengaja menjadikan Avanthe sebagai wahana pelampiasan. Dia sungguh tidak bisa bertahan lebih lama. Merasa telah direndahkan dan bagaimanapun ... Hores selalu berlaku luar bia
“Kai sudah menunggumu. Sekarang kau akan langsung pergi, Ava?”Avanthe terpaku sesaat mendapati bagaimana suara Shilom sarat nada khawatir, sesekali wanita itu akan melirik ke sekitar; mungkin ketakutan mengenai kemunculan Hores yang secara mendadak, sedang meliputi pemikirannya.Avanthe segera mengangguk, lalu menyentuh lengan Shilom dengan tujuan menenangkan. Mereka sepakat melakukan satu rencana bersama. Lewat sisa waktu yang ada Shilom akan meminta Carlo mengantarnya ke pasar; berpura – pura membelanjakan sesuatu di sana saat sementara Avanthe melarikan diri atas bantuan Kai. Hores tidak akan menyadari hal itu, yang pria tersebut tahu hanyalah Avanthe sengaja membawa Hope meninggalkan mansion mentereng ini, kemudian semua akan berakhir baik – baik saja. Shilom akan kembali. Bebas dari segala bentuk tuduhan. Napas Shilom berembus kasar. “Baiklah. Kita pergi sekarang. Peluang kita tidak banyak lagi setelah berhasil memancing para bawahan Tuan Roarke meninggalkan gerba
Hores kesal karena mengira Avanthe mengabaikan suara teriakannya dari kamar mandi. Berulang kali dia meminta wanita itu membuka pintu, dan sejauh yang diketahui, hanya Avanthe-lah satu – satunya orang yang memiliki akses berada di ruang tidur; mungkin sedang meringkuk di atas ranjang meratapi nasib malang; atau menangis tersedu – sedu menghadapi rasa sakit teramat yang dia berikan. Hores tidak ingin membayangkan bagian terburuknya. Dia benci setiap kali mengingat wajah cantik itu, yang sialnya selalu meninggalkan hasrat tak berkesudahan. Rasanya Hores ingin mencekik leher dan melenyapkan kemampuan Avanthe sekadar bernapas. Ingin menyaksikan wajah itu membiru padam ketika sedang kehilangan pasokan udara di rongga dada. Semua detil keinginan makin membara saat Avanthe tidak kunjung pula menanggapi setiap perintah yang terucap dari bibirnya. Membuat Hores disergap hasrat brutal dan memberontak.“Ava, buka pintunya!”Dia akan kehilangan puncak kesabaran. Ketika hal itu tela
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kita akan mengenakan jet pribadi untuk sampai di sini?”Setelah cukup lama memendam rasa ingin tahu yang membludak di puncak kepalanya. Avanthe akhirnya tidak tahan sekadar mengajukan pertanyaan kepada pria yang berjalan di sampingnya. Mereka sedang melangkah di atas tumpukan tanah berbatuan di sepanjang pohon – pohon menjulang mengelilingi. Kai hanya tersenyum, lalu menatap Avanthe dengan sorot mata berkabut geli.“Memangnya kenapa kalau menggunakan jet pribadi?” Pria itu bertanya sekaligus membuat bibir Avanthe menipis tanpa sadar. Sesekali dia harus menghadapi tubuh Hope yang menggeliat setelah beberapa saat lalu terbangun oleh kebutuhan untuk melewati undakan tangga jet mewah itu.“Aku hanya bertanya, dan heran ... jet pribadi siapa yang kau pakai?”Pertanyaan Avanthe menggantung ke udara. Dia mengangkat sebelah alis tinggi saat Kai terkekeh samar. “Joey meminjamkannya, karena tidak semua kendaraan diizinkan masuk ke pul
“Apa yang ingin kau katakan?”Di satu ruang khusus Hores menunggu Zola bicara. Pria itu membungkuk sebagaimana menyerahkan sikap hormat kepada sang atasan. Mereka akan membicarakan ‘bisnis’. Beberapa urusan memang diserahkan secara khusus, kemudian Zola memiliki kebutuhan wajib untuk memberitahu. Dia menarik napas sesaat, menatap tuan-nya diliputi sedikit perasaan ragu tetapi tidak mungkin mengambil tindakan urung.“Mengenai permasalahan tentang hak kepemilikan yang diangkat ke permukaan oleh Tuan Romanov. Pengacaranya mengatakan akan menuntut Anda secara perdata, Tuan.”Sekelebat ekspresi yang berubah di wajah Hores membuat Zola sedikit tegang. Dia menelan ludah kasar, meskipun itu tak menghentikan Hores sekadar menunjukkan sikap dingin tak tersentuh. “Lalu?”Suara berat dan dalam itu bertanya skeptis. Zola sekali lagi menunduk patuh.“Dengan tanpa adanya bukti. Saya sudah memastikan mereka tidak akan bisa melakukan apa pun. Sebagai ganti, agar pulau Anda t