“Lepaskan aku, Hores!”
Avanthe berteriak histeris merasakan guncangan dari setiap langkah lebar Hores. Pria itu berjalan meninggalkan lorong yang pernah membuat Avanthe tersesat. Posisi tidak menyenangkan seolah membiarkan darah mengalir dan menumpuk satu gumpalan di kepala. Avanthe mengerjap menghadapi perasaan tidak nyaman, tetapi Hores sama sekali tidak memiliki sikap peduli. Masih dengan langkah tentatif walau Avanthe sudah berusaha menyerahkan beberapa pukulan di tubuh liat pria itu.Semacam suatu harapan ketika samar – samar Avanthe menemukan cara; sedikit saja untuk mengubah posisinya lebih baik. Dia mencengkeram kain di tubuh Hores. Mendorong tubuhnya ke atas—tanpa perlu menjuntai – juntai lagi seperti momen buruk terdahulu.Yang tidak Avanthe sadari bahwa dia akan menemukan Shilom sedang tercengang sembari menutup mata Hope saat Hores melewati tubuh wanita itu. Ekspresi malu tak tertahan langsung menghinggap. Avanthe merasakan wajahnya memerah saat kontak mata bNapas Avanthe tercekat mendeteksi sebuah masalah besar. Dia ketakutan ketika Hores sengaja menekan wajahnya yang menyamping untuk tenggelam di antara bantal. Sementara pria itu sedang mengesahkan satu tindakan tak bermoral dengan melucuti celana kain panjang dan memaksa pinggul Avanthe terangkat tinggi sekadar memuaskan hasrat ‘memukul’ yang pria itu rasakan. Tubuh Avanthe sering kali tersentak mendapati telapak tangan Hores akan menepuk kasar; meninggalkan bekas memanas di bokongnya. Rasanya benar – benar menyedihkan. Avanthe tidak berani bersuara ketika desakan dari pukulan tangan Hores kembali menciptakan bunyi mengerikan. Dia yakin kulit tubuhnya mungkin telah bermunculan bekas kemerahan. Hores seperti tidak mengira – ngira ketika akan memukul. Yang pria itu tahu adalah cara memuaskan gairah. Sangat dengan sengaja menjadikan Avanthe sebagai wahana pelampiasan. Dia sungguh tidak bisa bertahan lebih lama. Merasa telah direndahkan dan bagaimanapun ... Hores selalu berlaku luar bia
“Kai sudah menunggumu. Sekarang kau akan langsung pergi, Ava?”Avanthe terpaku sesaat mendapati bagaimana suara Shilom sarat nada khawatir, sesekali wanita itu akan melirik ke sekitar; mungkin ketakutan mengenai kemunculan Hores yang secara mendadak, sedang meliputi pemikirannya.Avanthe segera mengangguk, lalu menyentuh lengan Shilom dengan tujuan menenangkan. Mereka sepakat melakukan satu rencana bersama. Lewat sisa waktu yang ada Shilom akan meminta Carlo mengantarnya ke pasar; berpura – pura membelanjakan sesuatu di sana saat sementara Avanthe melarikan diri atas bantuan Kai. Hores tidak akan menyadari hal itu, yang pria tersebut tahu hanyalah Avanthe sengaja membawa Hope meninggalkan mansion mentereng ini, kemudian semua akan berakhir baik – baik saja. Shilom akan kembali. Bebas dari segala bentuk tuduhan. Napas Shilom berembus kasar. “Baiklah. Kita pergi sekarang. Peluang kita tidak banyak lagi setelah berhasil memancing para bawahan Tuan Roarke meninggalkan gerba
Hores kesal karena mengira Avanthe mengabaikan suara teriakannya dari kamar mandi. Berulang kali dia meminta wanita itu membuka pintu, dan sejauh yang diketahui, hanya Avanthe-lah satu – satunya orang yang memiliki akses berada di ruang tidur; mungkin sedang meringkuk di atas ranjang meratapi nasib malang; atau menangis tersedu – sedu menghadapi rasa sakit teramat yang dia berikan. Hores tidak ingin membayangkan bagian terburuknya. Dia benci setiap kali mengingat wajah cantik itu, yang sialnya selalu meninggalkan hasrat tak berkesudahan. Rasanya Hores ingin mencekik leher dan melenyapkan kemampuan Avanthe sekadar bernapas. Ingin menyaksikan wajah itu membiru padam ketika sedang kehilangan pasokan udara di rongga dada. Semua detil keinginan makin membara saat Avanthe tidak kunjung pula menanggapi setiap perintah yang terucap dari bibirnya. Membuat Hores disergap hasrat brutal dan memberontak.“Ava, buka pintunya!”Dia akan kehilangan puncak kesabaran. Ketika hal itu tela
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kita akan mengenakan jet pribadi untuk sampai di sini?”Setelah cukup lama memendam rasa ingin tahu yang membludak di puncak kepalanya. Avanthe akhirnya tidak tahan sekadar mengajukan pertanyaan kepada pria yang berjalan di sampingnya. Mereka sedang melangkah di atas tumpukan tanah berbatuan di sepanjang pohon – pohon menjulang mengelilingi. Kai hanya tersenyum, lalu menatap Avanthe dengan sorot mata berkabut geli.“Memangnya kenapa kalau menggunakan jet pribadi?” Pria itu bertanya sekaligus membuat bibir Avanthe menipis tanpa sadar. Sesekali dia harus menghadapi tubuh Hope yang menggeliat setelah beberapa saat lalu terbangun oleh kebutuhan untuk melewati undakan tangga jet mewah itu.“Aku hanya bertanya, dan heran ... jet pribadi siapa yang kau pakai?”Pertanyaan Avanthe menggantung ke udara. Dia mengangkat sebelah alis tinggi saat Kai terkekeh samar. “Joey meminjamkannya, karena tidak semua kendaraan diizinkan masuk ke pul
“Apa yang ingin kau katakan?”Di satu ruang khusus Hores menunggu Zola bicara. Pria itu membungkuk sebagaimana menyerahkan sikap hormat kepada sang atasan. Mereka akan membicarakan ‘bisnis’. Beberapa urusan memang diserahkan secara khusus, kemudian Zola memiliki kebutuhan wajib untuk memberitahu. Dia menarik napas sesaat, menatap tuan-nya diliputi sedikit perasaan ragu tetapi tidak mungkin mengambil tindakan urung.“Mengenai permasalahan tentang hak kepemilikan yang diangkat ke permukaan oleh Tuan Romanov. Pengacaranya mengatakan akan menuntut Anda secara perdata, Tuan.”Sekelebat ekspresi yang berubah di wajah Hores membuat Zola sedikit tegang. Dia menelan ludah kasar, meskipun itu tak menghentikan Hores sekadar menunjukkan sikap dingin tak tersentuh. “Lalu?”Suara berat dan dalam itu bertanya skeptis. Zola sekali lagi menunduk patuh.“Dengan tanpa adanya bukti. Saya sudah memastikan mereka tidak akan bisa melakukan apa pun. Sebagai ganti, agar pulau Anda t
“Hati – hati di jalan, Uncle.”Sambil menggendong Hope dengan posisi gadis kecil itu menghadap ke depan. Avanthe tersenyum menggerakan lengan mungil yang terasa begitu padat untuk melambai ke arah Kai.Pagi menyongsong terlalu cepat dan saat ini Kai berdiri di depan pintu—siap melakukan perjalanan ke Meksiko setelah mobil jemputan sudah menunggu. Semacam sebuah perpisahan mengesankan; pria itu mengembuskan napas sedikit kasar.Avanthe tidak mengerti mengapa Kai akan menyerahkan tatapan tajam, walau itu cenderung tidak serius ketika akhirnya lengan Kai terulur, kemudian ujung pria tersebut menyentuh wajah mungil Hope, yang ntah mengapa lebih sering menghadap ke sisi lainnya daripada pemandangan di depan. Wajah Kai seperti menahan sesuatu, sehingga Avanthe menautkan kedua alis, berharap hal ganjil yang sedang pria itu tunjukkan segera berakhir. Hanya tarikan napas kasar kembali terdengar. Avanthe menelan ludah mendapati Kai akhirnya menegakkan tubuh usai puas menyentu
“Ada satu hal lagi yang membuatku sangat muak dengan tingkahmu, Ava.”Ini jelas tidak akan segera berakhir. Terjebak di suatu pulau bersama Hores adalah kebodohan paling mutlak, dan sampai saat ini Avanthe tidak tahu bagaimana cara merangkak lebih baik meninggalkan bahu pria itu. Hores menyusul nyaris tidak membiarkan waktu berjalan lambat, membiarkan napas Avanthe tercekat saat setelah dia meletakkan Hope di atas ranjang. Avanthe berusaha keras mengabaikan pria yang masih menjulang tinggi di depan pintu kamar. Memperhatikan setiap gerakanya lewat percikan begitu detil. Dia tidak tahu apa maksud Hores barusan. Tak ingin tahu apa pun mengenai pemikiran konyol yang mungkin sedang – sedang bersarang di puncak kepala pria itu. Avanthe memutuskan untuk mengambil kotak mainan yang Kai bawa dari rumah. Ujung jarinya begitu fokus memisahkan perekat walau sesekali Hope akan mengacaukan tindakan tersebut dengan gadis kecil itu memukul – memukul di udara. Bunyi gemerincing dari t
“Kau harus membawaku dan Hope keluar dari tempat ini.”Avanthe benar – benar melakukannya. Membantah Hores. Menyangkal apa pun yang ingin pria itu lakukan, dan di sinilah dia berakhir; menggendong Hope untuk berhadap – hadapan bersama bajingan yang sedang menautkan alis heran usai melirik ke arahanya, lalu menghentikan percakapan dengan seseorang di balik ponsel. Raut wajah meneliti pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak Avanthe mengerti. Hores seperti menimbang tetapi tidak langsung mengatakan sesuatu secara gamblang. Hanya sudut bibir yang berkedut, kemudian dengan tidak tahu malunya—dan bahkan begitu mudah—Hores mengambil mainan milik Hope meski gadis kecil itu sedang menggenggam erat di tangan.“Pulang ke mana? Ke istanaku atau—““Ke rumah Shilom.”Sebelum membiarkan Hores melanjutkan kata – kata, Avanthe sudah mendeteksi apa yang sedang bersarang di dalam pemikiran pria itu. Tidak akan ada istana di mana Avanthe bisa bernaung dan mencari hiburan sakit. Dia tidak mau, tidak akan p