“Ada satu hal lagi yang membuatku sangat muak dengan tingkahmu, Ava.”
Ini jelas tidak akan segera berakhir. Terjebak di suatu pulau bersama Hores adalah kebodohan paling mutlak, dan sampai saat ini Avanthe tidak tahu bagaimana cara merangkak lebih baik meninggalkan bahu pria itu.Hores menyusul nyaris tidak membiarkan waktu berjalan lambat, membiarkan napas Avanthe tercekat saat setelah dia meletakkan Hope di atas ranjang. Avanthe berusaha keras mengabaikan pria yang masih menjulang tinggi di depan pintu kamar. Memperhatikan setiap gerakanya lewat percikan begitu detil. Dia tidak tahu apa maksud Hores barusan. Tak ingin tahu apa pun mengenai pemikiran konyol yang mungkin sedang – sedang bersarang di puncak kepala pria itu.Avanthe memutuskan untuk mengambil kotak mainan yang Kai bawa dari rumah. Ujung jarinya begitu fokus memisahkan perekat walau sesekali Hope akan mengacaukan tindakan tersebut dengan gadis kecil itu memukul – memukul di udara. Bunyi gemerincing dari t“Kau harus membawaku dan Hope keluar dari tempat ini.”Avanthe benar – benar melakukannya. Membantah Hores. Menyangkal apa pun yang ingin pria itu lakukan, dan di sinilah dia berakhir; menggendong Hope untuk berhadap – hadapan bersama bajingan yang sedang menautkan alis heran usai melirik ke arahanya, lalu menghentikan percakapan dengan seseorang di balik ponsel. Raut wajah meneliti pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak Avanthe mengerti. Hores seperti menimbang tetapi tidak langsung mengatakan sesuatu secara gamblang. Hanya sudut bibir yang berkedut, kemudian dengan tidak tahu malunya—dan bahkan begitu mudah—Hores mengambil mainan milik Hope meski gadis kecil itu sedang menggenggam erat di tangan.“Pulang ke mana? Ke istanaku atau—““Ke rumah Shilom.”Sebelum membiarkan Hores melanjutkan kata – kata, Avanthe sudah mendeteksi apa yang sedang bersarang di dalam pemikiran pria itu. Tidak akan ada istana di mana Avanthe bisa bernaung dan mencari hiburan sakit. Dia tidak mau, tidak akan p
Berulang kali Avanthe menarik embuskan napas putus asa saat mematut diri di depan cermin. Dia seperti tidak berpakaian, tetapi hanya membiarkan tubuhnya dililit oleh kain. Dua warna kontras—hitam-putih—yang mengetat secara konsisten, menunjukkan riwayat dari lekuk – lekuk tersembunyi dan paling mencolok adalah bagian dada yang terbungkus tidak sempurna. Avanthe sudah berusaha keras menarik kain yang dia kira bisa digunakan menutup keterbukaan dari dirinya, tetapi itu menjadi hal sia – sia. Sudah menjelang malam—beberapa kali Avanthe bahkan sayup – sayup mendengar suara yang memecah hening; cukup banyak orang di luar.Mengenai Hope ....Gadis kecil itu selalu bersama ayahnya. Hores segera mengambil andil setelah Hope dipakaikan kostum anak kucing—sesuai permintaan, pelbagai tuntutan yang pria itu lakukan dan Avanthe tidak punya upaya menolak segala bentuk keinginan Hores.Untuk terakhir kali dia menarik napas dalam. Mendesah, lalu memutuskan mengejar keharusannya sekadar melibatkan diri
Suara Avanthe tercekat tepat setelah Hores mendorongnya jatuh ke atas ranjang. Tatapan mata yang buas merupakan satu dari sekian cara pria itu mengintimidasi. Avanthe menelan ludah kasar acapkali Hores menggerakkan bibir—sengaja menyentuh denyut di lehernya untuk meninggalkan kesan yang Avanthe sendiri tak bisa membayangkan.Setiap gerakan secara spesifik telah mengunci keseluruhan kemampuan untuk memberontak. Wajah Avanthe terangkat begitu mulut Hores berjalan pelan, mengecup inci demi inci bagian bawah rahangnya yang tegang. Tidak ada yang lebih baik dari tindakan seorang bajingan—Hores memerkosa sekaligus meminta Avanthe menikmatinya. Pria itu menyalakan bara ke dalam api—gairah menjadi sesuatu yang meledak – ledak, demikian pula fungsi dari tangan – tangan Hores yang lain; meremas kedua payudara Avanthe secara bergilir dan sekarang pria itu sedang menggeram puas. Avanthe kembali terkejut mendapati dress pada bagian atasan, dikoyak Hores dengan cara begitu brutal. Pria itu seolah t
“Roarke, pelayan-mu hanya memakai baju tidur panjang? Ini sangat tidak menarik.”Seorang pria tua tambun mengeluhkan sisi keberatannya tidak lama setelah Avanthe kembali muncul; setengah membungkuk hormat sambil meletakkan beberapa botol brandy tambahan. Dia sudah berangkut—bolak – balik dari dapur menuju halaman depan sebagaimana memiliki kesibukkan sebagai seorang pelayan. Dan sekarang mendapati Hores tidak mengatakan apa pun untuk menanggapi protes yang terungkap; di dalam diri pria itu semacam terdapat krisis yang sangat hening; menatap setiap gerakan Avanthe begitu tajam. Barangkali sedang menunggu kesalahan akan terjadi. Namun, Avanthe memastikan hal tersebut tidak akan pernah berakhir sesuai keinginan. Dia memang terpaksa harus melayani tujuh orang pria dengan pakaian tidur berkancing, yang juga tidak dapat mengatakan apa – apa walau diliputi sisi muak yang terjal. Atau membantah, barangkali.Avanthe menunduk menyadari Hores masih menatap sangat serius. Keputusan
Avanthe berulang kali sudah memastikan bahwa Hores akan selalu tertahan di halaman depan. Koper dan segala perlengkapan telah dia persiapkan. Hanya perlu membungkus tubuh Hope rapat – rapat dengan pakaian tebal; memakaikan topi lalu mengangkat putri kecilnya—menggendong Hope menyamping, sementara satu tangan yang lain menyeret koper menuju halaman belakang.Ini waktu yang tepat, walau terkadang Avanthe masih akan mengendarkan pandangan. Dia segera berjalan secepatnya melewati pintu belakang dapur. Burak sudah menunggu—menawarkan bantuan—mengambil alih tugas menyeret koper, lalu menuntun Avanthe menuju ke belantara hutan. Mereka melewati banyak keheningan untuk beberapa waktu. Kebutuhan menjadi takut sering kali merupakan sesuatu yang Avanthe hadapi. Dia mencoba fokus terhadap setiap langkah yang menapak di tanah bebatuan, melewati pohon – pohon tinggi menjulang di sekitar, dan sesekali pula akan menarik napas panjang sambil mencoba memikirkan beberapa hal.Avanthe melirik Bu
Burak menggertakkan gigi diliputi mata menatap nyalang. Gestur yang luar biasa nyata segera memberitahu Avanthe terhadap apa yang akan Burak lakukan. Pria itu nyaris berbalik menamparnya. Dia sudah menunduk takut, tetapi tiba – tiba udara terasa begitu hening.Avanthe terpaku. Ragu – ragu memalingkan pandangan menatap ekspresi tegang Burak dan satu tangan seseorang yang menahan di pergelangan pria itu. Dia segera menengadah. Menahan napas saat matanya bertemu iris gelap berbahaya. Kemarahan di wajah Hores jelas tidak sembunyi – sembunyi. Avanthe membeku setiap saat Hores mendelik tajam ke arahnya. Burak berbahaya, secara absolut itu benar. Tetapi di satu waktu yang sama Avanthe merasakan atmosfer yang tak jauh berbeda. Hores adalah tembok tak tertandingi. Berada di samping pria tersebut merupakan bagian paling mencekam, seperti di waktu tertentu Avanthe mendeteksi Hores tampak ingin melenyapkan nyawanya. Kemudian hal demikian akan segera berubah—ntah dengan alasan seperti apa.
Hampir bermenit – menit runtut diliputi pemikiran tidak tenang, Avanthe terus memainkan jari – jari tangannya; berulang kali merasa ingin menerjang pergi, tetapi dia tak memiliki upaya untuk memenuhi dorongan yang mendesak deras. Masih tentang Hope ....Masih menunggu kapan dia akan mendengar kembali ocehan bayi yang menggemaskan. Masih berharap Hores menggendong tubuh padat dan berisi Hope, lalu menyerahkan gadis kecil itu untuk disusui. Avanthe yakin Hope akan sangat membutuhkan kehangatan, barangkali si bayi akan sangat lapar. Dia hanya berharap tidak ada satu pun yang akan kurang dari Hope. Ntahlah, ketakutan Avanthe seolah merembes semakin terjal memikirkan ... haruskah Hores selama ini membawa Hope pulang? Dan tentang luka pria itu, apakah pisau yang menancap dalam telah memberi Hores, setidaknya sedikit pengaruh?Avanthe memang tidak pernah menyukai Hores lagi. Namun, dia tak bisa mengabaikan pria yang telah menyelamatkannya dari seseorang yang mencoba
Tindakan Avanthe secara kontinu hampir menghentikan rembesan darah di luka tusuk Hores. Dia sesekali akan melirik bahu lebar pria itu. Terpaku sesaat pada garis liat yang berlekuk, dan akan mengamati saat – saat wajah Hores bergerak, seperti sedang menikmati setiap sentuhan darinya, sekaligus sedang menahan diri. Mungkin amarah, atau emosi negatif lainnya. Ntahlah, Avanthe tidak tahu. Hanya merasakan sesuatu sedikit bergemuruh di benaknya. Dia mencoba mempertimbangkan beberapa hal. Masih dengan desakan ingin tahu yang sama. Masih diliputi pertanyaan – pertanyaan deras di puncak kepalanya. Avanthe berjuang keras mengeluarkan kalimat yang seolah menggantung di ujung tenggorokan.“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?”Dia bicara sangat lambat. Menunggu tanggapan Hores, tetapi pria itu hanya sekelebat memalingkan wajah, dan diam tak acuh seakan – akan keberadaan Avanthe tidak pernah ada.“Seorang manusia melukaimu. Kau terluka. Bukankah seharusnya kau kebal terhadap benda