Tindakan Avanthe secara kontinu hampir menghentikan rembesan darah di luka tusuk Hores. Dia sesekali akan melirik bahu lebar pria itu. Terpaku sesaat pada garis liat yang berlekuk, dan akan mengamati saat – saat wajah Hores bergerak, seperti sedang menikmati setiap sentuhan darinya, sekaligus sedang menahan diri. Mungkin amarah, atau emosi negatif lainnya. Ntahlah, Avanthe tidak tahu. Hanya merasakan sesuatu sedikit bergemuruh di benaknya. Dia mencoba mempertimbangkan beberapa hal. Masih dengan desakan ingin tahu yang sama. Masih diliputi pertanyaan – pertanyaan deras di puncak kepalanya. Avanthe berjuang keras mengeluarkan kalimat yang seolah menggantung di ujung tenggorokan.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?”Dia bicara sangat lambat. Menunggu tanggapan Hores, tetapi pria itu hanya sekelebat memalingkan wajah, dan diam tak acuh seakan – akan keberadaan Avanthe tidak pernah ada.“Seorang manusia melukaimu. Kau terluka. Bukankah seharusnya kau kebal terhadap bendaKepekatan di satu ruang temaram terasa sangat nyata. Siraman lampu kuning bahkan tak berdaya untuk secara konsisten memperlihatkan wajah – wajah penuh luka lebam—berdarah – darah hingga sobekan di sudut bibir yang begitu menyedihkan.Hores menunggu penyiksaan terus berlangsung dan raungan kesakitan melengkapi kengerian di sana. Ada bara yang menyala – nyala mewakili sisa sekumpulan kegelapan; untuk menunjukkan betapa kesakitan dua orang pria itu—nyaris hanya bisa meringkuk, tetapi bawahan Hores akan segera menyerahkan terjangan hebat—memaksa mereka untuk tetap bersujud-bungkuk di atas lantai—lalu sekali lagi menerima cambukan besi tanpa sedikitpun pengampunan. Hukuman memang diberikan secara bergilir. Paling pertama dimulai dari pria yang ditugaskan menyambut Hope, dan membawa bayi kecil itu ke perbatasan pulau. Hores tidak suka sikap pecundang, yang bergerak secara sembunyi – sembunyi, seolah bisa meninggalkan sejengkal jarak menghirup udara segar. Beruntunglah mereka tak melakukan
Avanthe mengerjap beberapa kali merasakan gerakan tangan Hope samar – samar menyentuh di wajahnya. Dia bergerak sebentar diliputi sisa rasa ngantuk dan segera bangun saat mendapati mata Hope terbuka lebar. Sebentar – sebentar gadis kecil itu akan mengoceh, meskipun tiba – tiba Hope mengguling untuk menelungkup—mengangkat turunkan wajah kemudian tersenyum khas wajah bayi dengan gusi yang tampak cermelang.“Kau akan mengajak Mommy bergadang malam ini?”Avanthe mengambil tempat untuk menyesuaikan diri; persis duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengawasi Hope yang sering kali pula menggerakkan kaki dan tangan. Antusiasme dalam diri Hope ketikq menggenggam ujung bantal tanpa sadar membuat Avanthe tertawa, lalu dia secepatnya bergerak saat Hope akan memasukkan benda empuk itu ke dalam mulut.“Apa kau lapar, Hope – Hope?”Suara Avanthe lembut memenuhi seisi kamar. Situasi hening rasanya membuat bunyi apa pun terdengar lebih besar. Avanthe tertawa pelan saat Hope menarik kerah pakaian t
Ini bukan kali pertama. Dia dibenci hanya karena sayap-nya terlalu indah. Dibenci atas kelahiran dari benih yang berbeda. Tak pernah sedikitpun, sikap istimewa ditunjukkan. Bahkan guci yang telah menjadi keping – keping tidak secara utuh menjadi salahnya. Sebuah permainan diperankan bersama. Berdua terlibat atas tanggung jawab yang harus dialami sendiri. Namun, anak laki – laki yang lain hanya bisa menyaksikan setiap detil tubuh saudara lelakinya sedang menghadapi masa sulit.Tak seorang anak pun meminta untuk dilahirkan. Akan tetapi, jika suatu kepuasan segera didapatkan dari cara keji seperti ini. Tidak apa – apa merasakan betapa sakitnya menghadapi tingkat kasih sayang yang dibeda – bedakan.Hanya ada satu kasih sayang yang terasa cukup. Pemimpin kerajaan bawah tanah, Raja Vanderox, menarik tubuh anak lelaki dalam setiap hukuman untuk diberi perlindungan. Geraman tertahan dari sang wanita tampaknya habis tak tersisa oleh sisi muak yang akhirnya berujung.“Kau terus sa
Sesuatu yang terasa bergerak sangat lambat di wajah Avanthe meningalkan sepucuk perasaan bingung ketika dia mencoba memikirkan hal apa saja yang terjadi dalam semalam sehingga ranjang yang seharusnya terasa empuk menjadi samar – samar keras dan liat. Avanthe masih berusaha mengumpulkan seluruh informasi di benaknya. Bahkan semerbak wangi menenangkan seolah begitu ingin melarutkan sisa – sisa dari kelopak mata yang sedikit lagi akan kembali memejam. Aroma maskulin ....Suara – suara berbisik di kepala Avanthe. Dalam bayangan kewarasannya, tiba – tiba desakan serius membuat wajah Avanthe menjauh. Dia sudah benar dengan mengangkat separuh tubuhnya diliputi kedua telapak tangan menekan di dada Hores.Apa yang terjadi?Avanthe bertanya – tanya dalam hati. Mengapa dia bisa tidur sambil mendekap tubuh, bahkan menindih Hores sebegitu lekat. Apakah semalam pria itu menyelinap ke kamar secara diam – diam, lalu mengambil kesempatan untuk menikmati kehangatan tubuhnya?Isi kepala Avanthe mendada
Avanthe mengerjakan sisa kebutuhannya secepat yang bisa dia lakukan. Sesuatu di benaknya selalu merambah secara serius saat membiarkan Hope bersama Hores. Avanthe seharusnya tidak setuju, tetapi saat dia sudah mendandani Hope dengan harum mewangi khas seorang bayi, Hores tiba – tiba muncul ke kamar dan menculik gadis kecilnya tanpa izin, atau paling tidak mengatakan sesuatu. Yang paling Avanthe tidak suka adalah Hores yang pergi sesuka hati tanpa pernah mau berdiskusi. Dia tidak tahu ke mana pria itu membawa Hope sehingga merasa perlu mencari putri kecilnya. Ketakutan Avanthe semakin menjadi saat dia tidak mendengar suara Hope di sekitar kamar.Setelah mengikat rambutnya menjadi kuncir satu ke belakang. Avanthe sudah bersiap pergi melangkahkan kaki. Hanya saja, keinginannya mendadak urung ketika suara getar dan layar ponsel menyala segera memberi tahu siapa yang menghubunginya.Kai ....Sudut bibir Avanthe tanpa sadar melekuk tipis. Kai mengirimkan pesan. Kata – kata manis yang terung
Sudah ditemukan satu, tetapi saat Avanthe akan menekan tombol kirim, tiba – tiba sebentuk tubuh jangkung muncul di sekitarnya. Perubahan udara secara signifikan membuat Avanthe gusar. Dia bingung bagaimana Hores bisa beranjak masuk tanpa memberi peringatan, dan bahkan sekarang dengan tamaknya pria itu merenggut ponsel yang dia genggaman.Bibir Avanthe setengah terbuka ingin melayangkan protes. Dia hanya tak tahu bahwa tiba – tiba pula pria itu akan merangkul bahunya, mengajukan kamera depan persis menangkap tubuh mereka—bertiga—bersama Hope yang begitu polos menatap ke arah layar, sementara Avanthe ... masih butuh waktu lebih banyak untuk memahami kalau – kalau Hores sengaja melakukan hal tersebut. Pria itu terang – terangan mengirim foto dengan wajah mereka di sana kepada Kai. Avanthe nyaris tak percaya mengamati setiap kegiatan Hores, yang semakin menjadi dengan tujuan tertentu memperbesar wajah Avanthe yang linglung, dan sungguh dia tampak terlalu menyedihkan dibandingkan Hop
Tadinya Avanthe tidak setuju terhadap keputusan Hores membawa Hope menaiki yacht sampai ke tengah laut. Dia sudah membayangkan angin yang berderai tidaklah bagus untuk bayi berusia awal enam bulan. Hope setidaknya masih terlalu kecil, tetapi apa yang bisa Avanthe lakukan kalau pada akhirnya Hope memiliki ayah yang bodoh, yang tak mau kalah sepanjang perdebatan mereka dengan mengatakan bahwa Hope sudah cukup umur untuk berada di sini—dibiarkan menghinggap di bagian setir.Betapa persis Hores mengatur kaki Hope menembus pada dua lubangan yang dibatasi tiga batang besi, jari – jari tangan mungil dan gemuk milik Hope menggenggam sangat pintar di bagian tertentu. Tubuh gadis kecil itu merekat seperti anak koala, sementara tangan Hores sibuk mengatur kemudi. Avanthe meringis memperhatikan keduanya—semakin tidak tahan saat sayup – sayup suara tawa Hope menembus di udara. Jika Hope terus membuka mulut, dia tidak yakin putrinya akan tetap baik – baik saja setelah sampai di daratan.A
Avanthe tersentak bangun ketika tiba – tiba satu desakan serius mengingatkannya pada perkataan Hores untuk menemui pria itu di luar. Dia tidak tahu seberapa lama membiarkan Hores menunggu. Tetapi sungguh, terlalu ngantuk membuatnya jatuh tertidur. Sesuatu yang secara naluri tidak Avanthe rencanakan. Dia mengerjap. Setelah mengamati Hope yang sedang terlelap puas, tubuh Avanthe segera beringsut, pelan sekali supaya tidak meninggalkan sekecil apa pun suara sekadar membangunkan Hope. Sedikit terburu dia menarik turun kain yang tersibak di sekitar dada, kemudian mengambil beberapa bantal demi mengganjal sisa jarak antara Hope dan pinggir ranjang. Masih dengan keputusan ‘hanya sebentar’, akhirnya Avanthe memutuskan untuk melangkahkan kaki. Sebelum benar – benar meninggalkan kamar, dia mengintip Hope sebentar, sekali lagi, dan akhirnya lewat satu tujuan ambigu, bingung, bertanya – tanya apa yang ingin Hores bicarakan, itu menuntut Avanthe supaya tidak memiliki pilihan selain did