Suara Avanthe tercekat tepat setelah Hores mendorongnya jatuh ke atas ranjang. Tatapan mata yang buas merupakan satu dari sekian cara pria itu mengintimidasi. Avanthe menelan ludah kasar acapkali Hores menggerakkan bibir—sengaja menyentuh denyut di lehernya untuk meninggalkan kesan yang Avanthe sendiri tak bisa membayangkan.Setiap gerakan secara spesifik telah mengunci keseluruhan kemampuan untuk memberontak. Wajah Avanthe terangkat begitu mulut Hores berjalan pelan, mengecup inci demi inci bagian bawah rahangnya yang tegang. Tidak ada yang lebih baik dari tindakan seorang bajingan—Hores memerkosa sekaligus meminta Avanthe menikmatinya. Pria itu menyalakan bara ke dalam api—gairah menjadi sesuatu yang meledak – ledak, demikian pula fungsi dari tangan – tangan Hores yang lain; meremas kedua payudara Avanthe secara bergilir dan sekarang pria itu sedang menggeram puas. Avanthe kembali terkejut mendapati dress pada bagian atasan, dikoyak Hores dengan cara begitu brutal. Pria itu seolah t
“Roarke, pelayan-mu hanya memakai baju tidur panjang? Ini sangat tidak menarik.”Seorang pria tua tambun mengeluhkan sisi keberatannya tidak lama setelah Avanthe kembali muncul; setengah membungkuk hormat sambil meletakkan beberapa botol brandy tambahan. Dia sudah berangkut—bolak – balik dari dapur menuju halaman depan sebagaimana memiliki kesibukkan sebagai seorang pelayan. Dan sekarang mendapati Hores tidak mengatakan apa pun untuk menanggapi protes yang terungkap; di dalam diri pria itu semacam terdapat krisis yang sangat hening; menatap setiap gerakan Avanthe begitu tajam. Barangkali sedang menunggu kesalahan akan terjadi. Namun, Avanthe memastikan hal tersebut tidak akan pernah berakhir sesuai keinginan. Dia memang terpaksa harus melayani tujuh orang pria dengan pakaian tidur berkancing, yang juga tidak dapat mengatakan apa – apa walau diliputi sisi muak yang terjal. Atau membantah, barangkali.Avanthe menunduk menyadari Hores masih menatap sangat serius. Keputusan
Avanthe berulang kali sudah memastikan bahwa Hores akan selalu tertahan di halaman depan. Koper dan segala perlengkapan telah dia persiapkan. Hanya perlu membungkus tubuh Hope rapat – rapat dengan pakaian tebal; memakaikan topi lalu mengangkat putri kecilnya—menggendong Hope menyamping, sementara satu tangan yang lain menyeret koper menuju halaman belakang.Ini waktu yang tepat, walau terkadang Avanthe masih akan mengendarkan pandangan. Dia segera berjalan secepatnya melewati pintu belakang dapur. Burak sudah menunggu—menawarkan bantuan—mengambil alih tugas menyeret koper, lalu menuntun Avanthe menuju ke belantara hutan. Mereka melewati banyak keheningan untuk beberapa waktu. Kebutuhan menjadi takut sering kali merupakan sesuatu yang Avanthe hadapi. Dia mencoba fokus terhadap setiap langkah yang menapak di tanah bebatuan, melewati pohon – pohon tinggi menjulang di sekitar, dan sesekali pula akan menarik napas panjang sambil mencoba memikirkan beberapa hal.Avanthe melirik Bu
Burak menggertakkan gigi diliputi mata menatap nyalang. Gestur yang luar biasa nyata segera memberitahu Avanthe terhadap apa yang akan Burak lakukan. Pria itu nyaris berbalik menamparnya. Dia sudah menunduk takut, tetapi tiba – tiba udara terasa begitu hening.Avanthe terpaku. Ragu – ragu memalingkan pandangan menatap ekspresi tegang Burak dan satu tangan seseorang yang menahan di pergelangan pria itu. Dia segera menengadah. Menahan napas saat matanya bertemu iris gelap berbahaya. Kemarahan di wajah Hores jelas tidak sembunyi – sembunyi. Avanthe membeku setiap saat Hores mendelik tajam ke arahnya. Burak berbahaya, secara absolut itu benar. Tetapi di satu waktu yang sama Avanthe merasakan atmosfer yang tak jauh berbeda. Hores adalah tembok tak tertandingi. Berada di samping pria tersebut merupakan bagian paling mencekam, seperti di waktu tertentu Avanthe mendeteksi Hores tampak ingin melenyapkan nyawanya. Kemudian hal demikian akan segera berubah—ntah dengan alasan seperti apa.
Hampir bermenit – menit runtut diliputi pemikiran tidak tenang, Avanthe terus memainkan jari – jari tangannya; berulang kali merasa ingin menerjang pergi, tetapi dia tak memiliki upaya untuk memenuhi dorongan yang mendesak deras. Masih tentang Hope ....Masih menunggu kapan dia akan mendengar kembali ocehan bayi yang menggemaskan. Masih berharap Hores menggendong tubuh padat dan berisi Hope, lalu menyerahkan gadis kecil itu untuk disusui. Avanthe yakin Hope akan sangat membutuhkan kehangatan, barangkali si bayi akan sangat lapar. Dia hanya berharap tidak ada satu pun yang akan kurang dari Hope. Ntahlah, ketakutan Avanthe seolah merembes semakin terjal memikirkan ... haruskah Hores selama ini membawa Hope pulang? Dan tentang luka pria itu, apakah pisau yang menancap dalam telah memberi Hores, setidaknya sedikit pengaruh?Avanthe memang tidak pernah menyukai Hores lagi. Namun, dia tak bisa mengabaikan pria yang telah menyelamatkannya dari seseorang yang mencoba
Tindakan Avanthe secara kontinu hampir menghentikan rembesan darah di luka tusuk Hores. Dia sesekali akan melirik bahu lebar pria itu. Terpaku sesaat pada garis liat yang berlekuk, dan akan mengamati saat – saat wajah Hores bergerak, seperti sedang menikmati setiap sentuhan darinya, sekaligus sedang menahan diri. Mungkin amarah, atau emosi negatif lainnya. Ntahlah, Avanthe tidak tahu. Hanya merasakan sesuatu sedikit bergemuruh di benaknya. Dia mencoba mempertimbangkan beberapa hal. Masih dengan desakan ingin tahu yang sama. Masih diliputi pertanyaan – pertanyaan deras di puncak kepalanya. Avanthe berjuang keras mengeluarkan kalimat yang seolah menggantung di ujung tenggorokan.“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?”Dia bicara sangat lambat. Menunggu tanggapan Hores, tetapi pria itu hanya sekelebat memalingkan wajah, dan diam tak acuh seakan – akan keberadaan Avanthe tidak pernah ada.“Seorang manusia melukaimu. Kau terluka. Bukankah seharusnya kau kebal terhadap benda
Kepekatan di satu ruang temaram terasa sangat nyata. Siraman lampu kuning bahkan tak berdaya untuk secara konsisten memperlihatkan wajah – wajah penuh luka lebam—berdarah – darah hingga sobekan di sudut bibir yang begitu menyedihkan.Hores menunggu penyiksaan terus berlangsung dan raungan kesakitan melengkapi kengerian di sana. Ada bara yang menyala – nyala mewakili sisa sekumpulan kegelapan; untuk menunjukkan betapa kesakitan dua orang pria itu—nyaris hanya bisa meringkuk, tetapi bawahan Hores akan segera menyerahkan terjangan hebat—memaksa mereka untuk tetap bersujud-bungkuk di atas lantai—lalu sekali lagi menerima cambukan besi tanpa sedikitpun pengampunan. Hukuman memang diberikan secara bergilir. Paling pertama dimulai dari pria yang ditugaskan menyambut Hope, dan membawa bayi kecil itu ke perbatasan pulau. Hores tidak suka sikap pecundang, yang bergerak secara sembunyi – sembunyi, seolah bisa meninggalkan sejengkal jarak menghirup udara segar. Beruntunglah mereka tak melakukan
Avanthe mengerjap beberapa kali merasakan gerakan tangan Hope samar – samar menyentuh di wajahnya. Dia bergerak sebentar diliputi sisa rasa ngantuk dan segera bangun saat mendapati mata Hope terbuka lebar. Sebentar – sebentar gadis kecil itu akan mengoceh, meskipun tiba – tiba Hope mengguling untuk menelungkup—mengangkat turunkan wajah kemudian tersenyum khas wajah bayi dengan gusi yang tampak cermelang.“Kau akan mengajak Mommy bergadang malam ini?”Avanthe mengambil tempat untuk menyesuaikan diri; persis duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengawasi Hope yang sering kali pula menggerakkan kaki dan tangan. Antusiasme dalam diri Hope ketikq menggenggam ujung bantal tanpa sadar membuat Avanthe tertawa, lalu dia secepatnya bergerak saat Hope akan memasukkan benda empuk itu ke dalam mulut.“Apa kau lapar, Hope – Hope?”Suara Avanthe lembut memenuhi seisi kamar. Situasi hening rasanya membuat bunyi apa pun terdengar lebih besar. Avanthe tertawa pelan saat Hope menarik kerah pakaian t