“Kai sudah menunggumu. Sekarang kau akan langsung pergi, Ava?”Avanthe terpaku sesaat mendapati bagaimana suara Shilom sarat nada khawatir, sesekali wanita itu akan melirik ke sekitar; mungkin ketakutan mengenai kemunculan Hores yang secara mendadak, sedang meliputi pemikirannya.Avanthe segera mengangguk, lalu menyentuh lengan Shilom dengan tujuan menenangkan. Mereka sepakat melakukan satu rencana bersama. Lewat sisa waktu yang ada Shilom akan meminta Carlo mengantarnya ke pasar; berpura – pura membelanjakan sesuatu di sana saat sementara Avanthe melarikan diri atas bantuan Kai. Hores tidak akan menyadari hal itu, yang pria tersebut tahu hanyalah Avanthe sengaja membawa Hope meninggalkan mansion mentereng ini, kemudian semua akan berakhir baik – baik saja. Shilom akan kembali. Bebas dari segala bentuk tuduhan. Napas Shilom berembus kasar. “Baiklah. Kita pergi sekarang. Peluang kita tidak banyak lagi setelah berhasil memancing para bawahan Tuan Roarke meninggalkan gerba
Hores kesal karena mengira Avanthe mengabaikan suara teriakannya dari kamar mandi. Berulang kali dia meminta wanita itu membuka pintu, dan sejauh yang diketahui, hanya Avanthe-lah satu – satunya orang yang memiliki akses berada di ruang tidur; mungkin sedang meringkuk di atas ranjang meratapi nasib malang; atau menangis tersedu – sedu menghadapi rasa sakit teramat yang dia berikan. Hores tidak ingin membayangkan bagian terburuknya. Dia benci setiap kali mengingat wajah cantik itu, yang sialnya selalu meninggalkan hasrat tak berkesudahan. Rasanya Hores ingin mencekik leher dan melenyapkan kemampuan Avanthe sekadar bernapas. Ingin menyaksikan wajah itu membiru padam ketika sedang kehilangan pasokan udara di rongga dada. Semua detil keinginan makin membara saat Avanthe tidak kunjung pula menanggapi setiap perintah yang terucap dari bibirnya. Membuat Hores disergap hasrat brutal dan memberontak.“Ava, buka pintunya!”Dia akan kehilangan puncak kesabaran. Ketika hal itu tela
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kita akan mengenakan jet pribadi untuk sampai di sini?”Setelah cukup lama memendam rasa ingin tahu yang membludak di puncak kepalanya. Avanthe akhirnya tidak tahan sekadar mengajukan pertanyaan kepada pria yang berjalan di sampingnya. Mereka sedang melangkah di atas tumpukan tanah berbatuan di sepanjang pohon – pohon menjulang mengelilingi. Kai hanya tersenyum, lalu menatap Avanthe dengan sorot mata berkabut geli.“Memangnya kenapa kalau menggunakan jet pribadi?” Pria itu bertanya sekaligus membuat bibir Avanthe menipis tanpa sadar. Sesekali dia harus menghadapi tubuh Hope yang menggeliat setelah beberapa saat lalu terbangun oleh kebutuhan untuk melewati undakan tangga jet mewah itu.“Aku hanya bertanya, dan heran ... jet pribadi siapa yang kau pakai?”Pertanyaan Avanthe menggantung ke udara. Dia mengangkat sebelah alis tinggi saat Kai terkekeh samar. “Joey meminjamkannya, karena tidak semua kendaraan diizinkan masuk ke pul
“Apa yang ingin kau katakan?”Di satu ruang khusus Hores menunggu Zola bicara. Pria itu membungkuk sebagaimana menyerahkan sikap hormat kepada sang atasan. Mereka akan membicarakan ‘bisnis’. Beberapa urusan memang diserahkan secara khusus, kemudian Zola memiliki kebutuhan wajib untuk memberitahu. Dia menarik napas sesaat, menatap tuan-nya diliputi sedikit perasaan ragu tetapi tidak mungkin mengambil tindakan urung.“Mengenai permasalahan tentang hak kepemilikan yang diangkat ke permukaan oleh Tuan Romanov. Pengacaranya mengatakan akan menuntut Anda secara perdata, Tuan.”Sekelebat ekspresi yang berubah di wajah Hores membuat Zola sedikit tegang. Dia menelan ludah kasar, meskipun itu tak menghentikan Hores sekadar menunjukkan sikap dingin tak tersentuh. “Lalu?”Suara berat dan dalam itu bertanya skeptis. Zola sekali lagi menunduk patuh.“Dengan tanpa adanya bukti. Saya sudah memastikan mereka tidak akan bisa melakukan apa pun. Sebagai ganti, agar pulau Anda t
“Hati – hati di jalan, Uncle.”Sambil menggendong Hope dengan posisi gadis kecil itu menghadap ke depan. Avanthe tersenyum menggerakan lengan mungil yang terasa begitu padat untuk melambai ke arah Kai.Pagi menyongsong terlalu cepat dan saat ini Kai berdiri di depan pintu—siap melakukan perjalanan ke Meksiko setelah mobil jemputan sudah menunggu. Semacam sebuah perpisahan mengesankan; pria itu mengembuskan napas sedikit kasar.Avanthe tidak mengerti mengapa Kai akan menyerahkan tatapan tajam, walau itu cenderung tidak serius ketika akhirnya lengan Kai terulur, kemudian ujung pria tersebut menyentuh wajah mungil Hope, yang ntah mengapa lebih sering menghadap ke sisi lainnya daripada pemandangan di depan. Wajah Kai seperti menahan sesuatu, sehingga Avanthe menautkan kedua alis, berharap hal ganjil yang sedang pria itu tunjukkan segera berakhir. Hanya tarikan napas kasar kembali terdengar. Avanthe menelan ludah mendapati Kai akhirnya menegakkan tubuh usai puas menyentu
“Ada satu hal lagi yang membuatku sangat muak dengan tingkahmu, Ava.”Ini jelas tidak akan segera berakhir. Terjebak di suatu pulau bersama Hores adalah kebodohan paling mutlak, dan sampai saat ini Avanthe tidak tahu bagaimana cara merangkak lebih baik meninggalkan bahu pria itu. Hores menyusul nyaris tidak membiarkan waktu berjalan lambat, membiarkan napas Avanthe tercekat saat setelah dia meletakkan Hope di atas ranjang. Avanthe berusaha keras mengabaikan pria yang masih menjulang tinggi di depan pintu kamar. Memperhatikan setiap gerakanya lewat percikan begitu detil. Dia tidak tahu apa maksud Hores barusan. Tak ingin tahu apa pun mengenai pemikiran konyol yang mungkin sedang – sedang bersarang di puncak kepala pria itu. Avanthe memutuskan untuk mengambil kotak mainan yang Kai bawa dari rumah. Ujung jarinya begitu fokus memisahkan perekat walau sesekali Hope akan mengacaukan tindakan tersebut dengan gadis kecil itu memukul – memukul di udara. Bunyi gemerincing dari t
“Kau harus membawaku dan Hope keluar dari tempat ini.”Avanthe benar – benar melakukannya. Membantah Hores. Menyangkal apa pun yang ingin pria itu lakukan, dan di sinilah dia berakhir; menggendong Hope untuk berhadap – hadapan bersama bajingan yang sedang menautkan alis heran usai melirik ke arahanya, lalu menghentikan percakapan dengan seseorang di balik ponsel. Raut wajah meneliti pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak Avanthe mengerti. Hores seperti menimbang tetapi tidak langsung mengatakan sesuatu secara gamblang. Hanya sudut bibir yang berkedut, kemudian dengan tidak tahu malunya—dan bahkan begitu mudah—Hores mengambil mainan milik Hope meski gadis kecil itu sedang menggenggam erat di tangan.“Pulang ke mana? Ke istanaku atau—““Ke rumah Shilom.”Sebelum membiarkan Hores melanjutkan kata – kata, Avanthe sudah mendeteksi apa yang sedang bersarang di dalam pemikiran pria itu. Tidak akan ada istana di mana Avanthe bisa bernaung dan mencari hiburan sakit. Dia tidak mau, tidak akan p
Berulang kali Avanthe menarik embuskan napas putus asa saat mematut diri di depan cermin. Dia seperti tidak berpakaian, tetapi hanya membiarkan tubuhnya dililit oleh kain. Dua warna kontras—hitam-putih—yang mengetat secara konsisten, menunjukkan riwayat dari lekuk – lekuk tersembunyi dan paling mencolok adalah bagian dada yang terbungkus tidak sempurna. Avanthe sudah berusaha keras menarik kain yang dia kira bisa digunakan menutup keterbukaan dari dirinya, tetapi itu menjadi hal sia – sia. Sudah menjelang malam—beberapa kali Avanthe bahkan sayup – sayup mendengar suara yang memecah hening; cukup banyak orang di luar.Mengenai Hope ....Gadis kecil itu selalu bersama ayahnya. Hores segera mengambil andil setelah Hope dipakaikan kostum anak kucing—sesuai permintaan, pelbagai tuntutan yang pria itu lakukan dan Avanthe tidak punya upaya menolak segala bentuk keinginan Hores.Untuk terakhir kali dia menarik napas dalam. Mendesah, lalu memutuskan mengejar keharusannya sekadar melibatkan diri
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h