“Yakin tidak mau kutemani?”
Kai bertanya setelah Avanthe berpamitan turun. Tidak ada yang salah dari sikap tanggung jawab Kai selama pria itu merasa sesuatu yang buruk sedang mencoba melumpuhkan keteguhan Avanthe. Hanya senyum tipis, takut dan ragu – ragu yang paling berani Avanthe serahkan ketika dia akan menolak tawaran pria itu. Kai tidak seharusnya direpotkan terlalu banyak. Avanthe tidak ingin melibatkan Kai ke dalam masalah hanya dengan alasan mereka bertetangga. Pria itu akan selalu mengetahui bagaimana keadaannya lewat jarak rumah yang begitu dekat. Hal tersebut sudah lebih daripada cukup. Avanthe segera bersiap membuka pintu mobil.Dia berhenti sebelum benar – benar akan meninggalkan Kai. “Kau basah kuyup gara – gara aku, Kai. Lebih baik kau mandi, atau kalau tidak kau akan sakit. Aku sangat berterima kasih atas tumpanganmu.”Memang sepanjang perjalanan, hujan beranjak menjadi rintik – rintik. Avanthe melambaikan tangan ke arah pria yang masih menatapnya skeptisDengan gugupnya Avanthe meninggalkan Kai seorang diri. Beranjak masuk ke dalam kamar diliputi kebutuhan menarik napas yang dalam. Dia langsung mencari pakaian yang pantas. Celana kain panjang dan pakaian hangat merah muda. Rambutnya yang lembab – basah, dibiarkan menjuntai di belakang punggung. Avanthe mematut diri sebentar di depan cermin. Memperhatikan wajah pucat dengan sudut bibir tersisa samar – samar bekas tamparan, dan senyum getir yang mencoba menghias di sana. Untuk keberkian kali Avanthe menarik napas dalam; tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang dirinya. Paling tidak itu yang coba dia lakukan untuk mendorong sebuah naluri bertahan; sebuah naluri supaya dia tahu kapan harus menyerah dan tidak. Segera Avanthe mengembuskan secara perlahan kemudian memutuskan satu tekad menemui Kai yang mungkin sedang menunggunya di luar. Persis demikian yang masih Kai lakukan. Senyum pria itu ramah saat Avanthe mendatangi ruang tamu. “Kau mau minum apa, Kau? Teh hangat atau kopi?” ta
“Apa ...? Ava masuk rumah sakit?”Suara Shilom sarat nada khawatir mengetahui Avanthe mengalami sebuah masalah; dia mendadak tidak bisa bersikap sebagaimana akan sangat sunyi di gedung mentereng ini; bukan sebuah kebiasaan ketika Shilom jauh lebih sering menghadapi pekerjaan sendiri – sendiri, kecuali di saat – saat tertentu akan bertemu Freed, tukang kebun. Dan sekarang rasanya Shilom tak bisa tinggal diam. Tanpa sadar dia meletakkan tangan di bagian dada; merasakan detak jantung yang meraung keras. Kai menghubunginya untuk memberitahu terkait kondisi terakhir Avanthe, yang seharusnya Shilom segera menyiapkan diri untuk berpamitan pulang.“Kirimkan alamat rumah sakit ke ponselku, Kai. Aku akan pergi ke sana sekarang.”Tidak butuh waktu yang lama Shilom sudah menerima sebuah pesan. Sambungan telepon terputus, dia langsung menyelesaikan tahap terakhir dari sisa pekerjaan membersihkan bercak kotor di meja bar.Shilom meletakkan kain yang digunakan setelah melipat denga
“Akhirnya kau sadar, Ava.”Beberapa kali Avanthe mengerjap, mencoba memahami situasi di sekitarnya tetapi hanya Kai yang dia dapati baru saja menutup sebuah halaman buku. Tubuh Kai terlihat tegap; duduk di pinggir blankar meski sudah tersedia satu kursi di samping.“Aku di mana?” tanya Avanthe lambat, merasakan sebagian tubuhnya begitu putus asa. Dia ingin bangun. Namun harus menyerah saat pusing di kepala seolah sedang melarang melakukan satu pun gerakan.Senyum Kai begitu tipis ketika akhirnya tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Avanthe dengan lembut.“Jangan dipaksakan,” ucap Kai setengah berbisik. Masih diliputi senyum yang sama pria itu melanjutkan. “Kau tiba – tiba pingsan dan sekarang ada di rumah sakit.”Sebuah jawaban yang khas, itulah hal paling terakhir Avanthe ingat. Setidaknya dia bersyukur Kai masih mau untuk menanggapi pertanyaan yang telah diberikan terdahulu. “Terima kasih.” Avanthe bisa mendengar suaranya sendiri begitu lirih. Be
“Aku tak percaya jika Shilom masih betah bekerja untuk mantan suamimu.”Suara Kai meliputi keheningan. Tampaknya pria itu tidak cukup terkejut setelah merasa familiar terhadap perjalanan menuju mansion besar yang saat ini menjulang tinggi di hadapan mereka, meskipun mobil dihentikan sedikit dengan cara tak terduga. Avanthe menoleh, tatapannya bertemu Kai; dia melirik sangat tajam. Harus berapa kali Avanthe memberitahu pria itu supaya tidak menyebut Hores dengan nada – nada yang mengerikan. Tetapi, kendati demikian, Avanthe bisa merasakan tubuh Kai menegang. Raut wajah pria itu menunjukkan suatu hal, seolah Kai benar – benar tidak senang memikirkan kenyataan ini, ntah mengenai Shilom atau mansio besar Hores.“Jadi kita akan langsung menghadapnya?”Begitulah yang Kai tanyakan ketika Avanthe memastikan Shilom sedang menyiapkan diri turun. Dia mengangguk membenarkan apa yang barangkali sedang Kai susun di benak pria itu, kemudian hati – hati begeser dan beranjak keluar
Dengan desakan tak terungkap. Avanthe ketakutan mencoba memisahkan dua pria dewasa; Kai mendapat beberapa pukulan mutlak, tubuh pria itu terseret mundur beberapa langkah sehingga Avanthe segera memastikan bahwa Shilom akan mengerti lewat isyarat mata darinya.Bersyukurlah Kai hanya mengalami pendarahan di sudut bibir dan remuk - remuk di sekitar badan. Shilom segera membantu pria itu berdiri. Rasanya Avanthe tidak tahan ingin menghampiri pria yang sedang menyeka serembes darah di sudut mulutnya, tetapi Hores tiba – tiba mencegah langkah yang nyaris terangkat untuk tetap diam di tempat.“Lepaskan aku!” Avanthe menatap Hores garang. Pria pembuat onar! Dia benci terlalu lama bersamanya, berusaha berontak meski cengkeraman Hores luar biasa memberikan satu rasa sakit yang seakan ingin segera memecahkan pergelangan tangan Avanthe yang sama sekali tak sebanding terhadap kepalan tangan pria itu.“Satu kali saja kau bergerak, maka aku pastikan Hope tidak akan pernah kembali padam
“Tidak, Hores. Aku mohon, jangan ....”Kain – kain ditubuh Avanthe sudah terobek parah, sementara dia masih meminta pengampunan dari pria yang bahkan tidak memiliki simpatisan untuk mengakhiri tindakan keji. Hores jauh lebih tamak lewat satu hasrat ingin menjadikan Avanthe sebagai wanita paling merana. Sebuah rantai yang diambil dari laci adalah bagian paling menyakitkan; Avanthe berusaha menolak. Dia tahu kebutuhan menghadapi perlakuan Hores cukup mustahil. Perlahan – lahan mulai bergetar ketika satu pergelangannya terikat utuh, kemudian tangan yang lain segera menyusul.“Hentikan ini, Hores ....”Avanthe terisak di hadapan pria tak berperasaan. Mata mereka bertemu di bawah cahaya terang dan dia mendapati sekelebat bayangan di wajah Hores yang tak bisa dirangkai menjadi suatu ulasan menyedihkan. Napas Avanthe tercekat; masih berjuang, mencoba memberontak tetapi tatapan Hores menyapu seluruh tubuhnya dengan liar. Seringai di sudut bibir pria itu menciptakan sat
Avanthe segera menahan napas ketika Hores menutup pintu kamar; iris matanya tidak pernah meninggalkan satu titik di mana sebuah tindakan dari pria di hadapannya secara absolut membawa Hope masuk; betapa gadis kecil itu mungil dan sempurna di dalam dekapan tubuh yang liat, tetapi Avanthe tidak memiliki keinginan untuk mengagumi pemandangan indah tersebut. Dia khawatir terhadap Hope yang masih menangis sangat keras; mendeteksi sesuatu yang tidak nyaman sedang putri kecilnya rasakan. Lewat tindakan paling berani, Avanthe berusaha bangun dan ingin menggapai Hope. Ironi sekali Hores tidak pernah membiarkan apa yang sedang Avanthe pikirkan terjadi. Tatapan dari iris gelap itu sangatlah tajam. Setiap detil dan cara Hores mengamatinya, seolah ingin menembus dan merobek tubuh Avanthe. “Aku tidak memintamu bangun. Tetap di tempatmu dan jangan lakukan apa pun.”Suara pria itu membuat Avanthe menelan ludah kasar. Dia gugup; ketakutan, walau diliputi rasa ingin membawa Hope, sement
“Tidak, Hores. Aku mohon hentikan.”Tangan Avanthe bergerak, mencegah apa pun yang barangkali akan terjadi. Bagian paling menyakitkan adalah saat – saat tubuhnya sudah separuh bertelanjang, sementara Hores telah mendesak supaya dia telentang di atas lantai. Lengan Avanthe segera menyilang, menghindari tatap mata Hores yang kelaparan. Sudut bibir yang berkedut sinis nyaris membuat setengah kewarasan Avanthe lenyap. Dia berjuang keras tetapi pria itu telah menyingkirkan segala bentuk perlindungan yang dibuat.Napas Avanthe terengah ketika ujung jarinya mencoba menjauhkan wajah Hores. Namun, itu justru memberi Avanthe sebuah peringatan besar. Hores segera menekan tangan yang bersikeras menghalangi dan menyingkirkan di puncak kepala, sementara mulut pria itu mendesis; mulai melumat di payudaranya.“Hores, hentikan ....”Betapa suara Avanthe diliputi nada lirih menghadapi suatu krisis rasa takut yang besar. Dia tidak bergerak setelah menyadari upaya pemberontakan yan