Selesai menidurkan Hope. Avanthe menyibukkan diri melakukan perkerjaan lainnya; melipat pakaian – pakaian kecil dan menyusun ke keranjang yang diletakkan di sudut kamar; menyapu ruangan—dari dapur menuju halaman depan; kemudian membersihkan perangkat – perangkat yang ada di dapur—memastikan dia tak melewatkan sedikitpun perkejaan agar ketika Shilom pulang, wanita itu tidak akan menghadapi pekerjaan rumah setelah lelah harus mengurus gedung mentereng milik pria yang ....Tiba – tiba Avanthe meletakkan satu piring di tangannya sedikit kasar. Dia mengerjap. Menghela napas lalu melangkahkan kaki menuju kamar. Semua sudah selesai. Avanthe pikir dia bisa sedikit beristirahat menenangkan pikiran yang sejak awal tidak pernah berakhir baik – baik saja. Avanthe tak mengerti mengapa dia terus – terus diliputi rasa takut. Barangkali karena pesan yang dititipkan untuk disampaikan kepada Hores menjadi salah satu tolak ukurnya. Avanthe takut kalau keputusan yang dia ambil tidak pernah dis
“Tadinya aku pikir tamparanku membuatmu sakit sehingga Shilom membenarkan berita tentang kau yang tak masuk kerja hari ini.” Detil bisikan Hores luar biasa begitu dekat di wajah Avanthe setelah pria itu membantingnya dengan kasar ke atas ranjang.Tidak banyak yang bisa Avanthe lakukan saat sementara kedua lengannya masih terpenjara oleh genggaman Hores yang mencekam. Pria itu bahkan duduk di perut bagian bawahnya. Avanthe menggeleng beberapa kali demi menolak bibir Hores yang semakin tak berjarak di sekitar pendengaran. Seringai pria itu sangat licik. Avanthe tidak berdaya, bergetar ketika Hores akan melunjutkan kata – kata yang belum usai.“Aku pikir tidak apa – apa mengunjungimu sebentar. Tapi saat melihat kau ternyata sangat sehat, rasanya semua itu berubah.”Embusan napas begitu panas menyapu di kulit wajah Avanthe. Dia masih mencoba menolak keberadaan pria yang memiliki kuasa penuh atas dirinya. Tenaga Avanthe tak akan pernah sebanding dari badan kekar dan liat
Kelopak mata Avanthe mengerjap beberapa kali mendapati pemandangan yang berputar di iris keunguan miliknya; dia menatap langit – langit kamar seraya mengambil sisa ingatan menyedihkan yang Hores ciptakan. Pria itu meninggalkan begitu banyak hal buruk.Sesaat wajah Avanthe berpaling ke sekitar; pikirannya begitu kosong merasakan rongga dada yang begitu sesak. Sekadar bernapas pun, dia harus menghadapi sebuah kesulitan besar. Dengan bibir setengah terbuka Avanthe mencoba menghirup segenap udara yang bahkan masih memiliki kesan memilukan. Mendapati tangannya masih terikat begitu erat. Lengan Avanthe segera bergerak; dia sedikit memberontak hingga bekas merah—membiru di pergelangannya cukup mencolok. Hores tidak terlihat di mana pun setelah melakukan tindakan kotor. Ntahlah, alih – alih membuat Avanthe lega. Dia justru menerima firasat buruk. Secara absolut tubuh Avanthe melakukan satu tindakan lainnya yang secara pasti melibatkan bibir untuk meringis saat seluruh bagian dalam
“Yakin tidak mau kutemani?”Kai bertanya setelah Avanthe berpamitan turun. Tidak ada yang salah dari sikap tanggung jawab Kai selama pria itu merasa sesuatu yang buruk sedang mencoba melumpuhkan keteguhan Avanthe. Hanya senyum tipis, takut dan ragu – ragu yang paling berani Avanthe serahkan ketika dia akan menolak tawaran pria itu. Kai tidak seharusnya direpotkan terlalu banyak. Avanthe tidak ingin melibatkan Kai ke dalam masalah hanya dengan alasan mereka bertetangga. Pria itu akan selalu mengetahui bagaimana keadaannya lewat jarak rumah yang begitu dekat. Hal tersebut sudah lebih daripada cukup. Avanthe segera bersiap membuka pintu mobil.Dia berhenti sebelum benar – benar akan meninggalkan Kai. “Kau basah kuyup gara – gara aku, Kai. Lebih baik kau mandi, atau kalau tidak kau akan sakit. Aku sangat berterima kasih atas tumpanganmu.”Memang sepanjang perjalanan, hujan beranjak menjadi rintik – rintik. Avanthe melambaikan tangan ke arah pria yang masih menatapnya skeptis
Dengan gugupnya Avanthe meninggalkan Kai seorang diri. Beranjak masuk ke dalam kamar diliputi kebutuhan menarik napas yang dalam. Dia langsung mencari pakaian yang pantas. Celana kain panjang dan pakaian hangat merah muda. Rambutnya yang lembab – basah, dibiarkan menjuntai di belakang punggung. Avanthe mematut diri sebentar di depan cermin. Memperhatikan wajah pucat dengan sudut bibir tersisa samar – samar bekas tamparan, dan senyum getir yang mencoba menghias di sana. Untuk keberkian kali Avanthe menarik napas dalam; tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang dirinya. Paling tidak itu yang coba dia lakukan untuk mendorong sebuah naluri bertahan; sebuah naluri supaya dia tahu kapan harus menyerah dan tidak. Segera Avanthe mengembuskan secara perlahan kemudian memutuskan satu tekad menemui Kai yang mungkin sedang menunggunya di luar. Persis demikian yang masih Kai lakukan. Senyum pria itu ramah saat Avanthe mendatangi ruang tamu. “Kau mau minum apa, Kau? Teh hangat atau kopi?” ta
“Apa ...? Ava masuk rumah sakit?”Suara Shilom sarat nada khawatir mengetahui Avanthe mengalami sebuah masalah; dia mendadak tidak bisa bersikap sebagaimana akan sangat sunyi di gedung mentereng ini; bukan sebuah kebiasaan ketika Shilom jauh lebih sering menghadapi pekerjaan sendiri – sendiri, kecuali di saat – saat tertentu akan bertemu Freed, tukang kebun. Dan sekarang rasanya Shilom tak bisa tinggal diam. Tanpa sadar dia meletakkan tangan di bagian dada; merasakan detak jantung yang meraung keras. Kai menghubunginya untuk memberitahu terkait kondisi terakhir Avanthe, yang seharusnya Shilom segera menyiapkan diri untuk berpamitan pulang.“Kirimkan alamat rumah sakit ke ponselku, Kai. Aku akan pergi ke sana sekarang.”Tidak butuh waktu yang lama Shilom sudah menerima sebuah pesan. Sambungan telepon terputus, dia langsung menyelesaikan tahap terakhir dari sisa pekerjaan membersihkan bercak kotor di meja bar.Shilom meletakkan kain yang digunakan setelah melipat denga
“Akhirnya kau sadar, Ava.”Beberapa kali Avanthe mengerjap, mencoba memahami situasi di sekitarnya tetapi hanya Kai yang dia dapati baru saja menutup sebuah halaman buku. Tubuh Kai terlihat tegap; duduk di pinggir blankar meski sudah tersedia satu kursi di samping.“Aku di mana?” tanya Avanthe lambat, merasakan sebagian tubuhnya begitu putus asa. Dia ingin bangun. Namun harus menyerah saat pusing di kepala seolah sedang melarang melakukan satu pun gerakan.Senyum Kai begitu tipis ketika akhirnya tangan pria itu terulur mengusap puncak kepala Avanthe dengan lembut.“Jangan dipaksakan,” ucap Kai setengah berbisik. Masih diliputi senyum yang sama pria itu melanjutkan. “Kau tiba – tiba pingsan dan sekarang ada di rumah sakit.”Sebuah jawaban yang khas, itulah hal paling terakhir Avanthe ingat. Setidaknya dia bersyukur Kai masih mau untuk menanggapi pertanyaan yang telah diberikan terdahulu. “Terima kasih.” Avanthe bisa mendengar suaranya sendiri begitu lirih. Be
“Aku tak percaya jika Shilom masih betah bekerja untuk mantan suamimu.”Suara Kai meliputi keheningan. Tampaknya pria itu tidak cukup terkejut setelah merasa familiar terhadap perjalanan menuju mansion besar yang saat ini menjulang tinggi di hadapan mereka, meskipun mobil dihentikan sedikit dengan cara tak terduga. Avanthe menoleh, tatapannya bertemu Kai; dia melirik sangat tajam. Harus berapa kali Avanthe memberitahu pria itu supaya tidak menyebut Hores dengan nada – nada yang mengerikan. Tetapi, kendati demikian, Avanthe bisa merasakan tubuh Kai menegang. Raut wajah pria itu menunjukkan suatu hal, seolah Kai benar – benar tidak senang memikirkan kenyataan ini, ntah mengenai Shilom atau mansio besar Hores.“Jadi kita akan langsung menghadapnya?”Begitulah yang Kai tanyakan ketika Avanthe memastikan Shilom sedang menyiapkan diri turun. Dia mengangguk membenarkan apa yang barangkali sedang Kai susun di benak pria itu, kemudian hati – hati begeser dan beranjak keluar
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h