Jangan lupa dukung karyaku ya :) Thank you ~
Javier menatap Viona dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Vio, kita sudah sering membicarakan ini. Kau sudah menerima keberadaan Dylan di rumah kita, bukan? Jadi, mengapa kau membuatnya merasa tidak nyaman?" tanyanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewa.Viona mendengus, wajahnya menegang. "Aku sudah katakan padamu, Javier. Anak itu jatuh sendiri. Aku bahkan mencoba membantunya, tapi kau malah menuduhku yang membuatnya terjatuh."Javier memalingkan wajah, menghela nafas panjang sebelum kembali menatap istrinya. "Meskipun Dylan bukan anak kandungmu, aku harap kau bisa menyayanginya seperti putramu sendiri. Kita sudah merawatnya sejak dia bayi, Vio. Dia pantas mendapatkan kasih sayangmu."Ucapan Javier seolah menekan Viona, menuduh bahwa ia tidak tulus dalam merawat Dylan. Rasa kesalnya semakin membuncah, tapi ia tahu harus pandai menyembunyikannya demi menjaga hubungan baik dengan suaminya. Lima tahun telah berlalu, dan kehadiran Dylan di rumah mereka sudah menjadi beba
Pesta pernikahan keluarga David dilakukan secara sederhana, hanya ada keluarga dan teman dekat yang hadir. David dan Freya sama-sama orang dengan latar belakang tidak memiliki keluarga, saat mereka bisa merayakan sebuah pesta dengan orang yang menganggapnya keluarga, itu adalah kebahagiaan tersendiri.Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Malam harinya setelah pesta berakhir dan semua orang kembali ke rumah, Dylan mendadak jatuh sakit. Freya mencoba untuk menurunkan panas putranya dengan cara yang biasa ia lakukan. Tapi, rasa cemas semakin menguasai Freya ketika suhu tubuh Dylan terus meningkat."David, tolong bantu aku. Kita harus segera membawa Felix ke rumah sakit," seru Freya dengan suara gemetar.Tanpa pikir panjang, David segera mengantar mereka ke rumah sakit di tengah malam. Sepanjang perjalanan, Freya memegang tangan Dylan, berharap panas tubuhnya segera turun. Freya masih belum sadar bahwa Felix dan Dylan adalah dua anak yang berbeda meski terlahir dari rahim yang sama
David tahu bahwa situasi yang dihadapinya semakin rumit. Dia harus menemukan cara untuk menjaga agar Felix dan Dylan tidak bertemu dengan Freya secara bersamaan. Ini cukup sulit karena Dylan masih di rumah sakit. Sementara Javier pasti akan mencari putranya, kemungkinan besar dia akan bertemu dengan Freya kembali."Paman, kenapa paman jadi khawatir? Aku hanya ingin bertemu dengan ibu," ucap Felix, dia tampaknya memperhatikan David yang tengah frustasi sejak tadi.David menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Felix. Dia meraih bahu anak itu dengan hati-hati, mencoba berbicara dengan tenang. "Felix, kamu mau bekerja sama dengan Paman? Ayo kita buat agar ibumu dan ayah Dylan tidak saling bertemu."Wajah Felix terlihat heran, "Kenapa kita tidak boleh membuat mereka bertemu?"David mencoba memikirkan alasan yang tepat agar bisa membujuk Felix. "Paman akan membawamu bertemu ibumu, tapi kita harus menjauhkan Dylan dari ibumu dulu. Kalau ayah Dylan tahu kamu bukan putranya, dia pasti akan m
"Dylan, berapa kali ayah harus mengingatkan untuk tidak pergi terlalu jauh? Dan sekarang kau malah masuk ke dalam mobil orang asing. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?" suara Javier penuh kecemasan saat dia tiba di rumah, meskipun sedikit lega melihat Dylan dalam keadaan baik-baik saja.Bibir Dylan tertutup rapat, ingin sekali memberitahu Javier kalau ada anak seusianya yang sangat mirip dengan wajahnya. Tapi Dylan khawatir, ia takut bahwa pengakuannya akan membuat Javier marah besar ketika tahu anak yang bersamanya beberapa hari terakhir bukanlah Dylan yang asli."Sudah aku beritahu padamu, Dylan mulai tidak bisa diatur beberapa hari ini. Kau harus bertindak lebih tegas padanya, Javier." sahut Viona yang baru turun dari tangga.Dylan menelan ludah, pikirannya berputar mencari cara agar dia bisa membuat wanita itu pergi. Selama ini, saat Javier tidak ada di rumah, Viona selalu bersikap kejam kepadanya. Tindakannya sering kali melewati batas membuat Dylan merasa tidak nyaman dan t
Freya terkejut melihat Javier, dan tubuhnya seolah membeku di tempat. Namun begitu kesadarannya kembali, ia mulai bergerak perlahan, mencoba mundur untuk melarikan diri. Sayangnya Javier sudah membaca gerakannya. Tanpa ragu, pria itu meraih lengannya dengan kasar.“Kau mau ke mana?!” bentak Javier, suaranya penuh amarah.“Lepaskan, Javier. Kita sudah tidak punya urusan apa-apa lagi,” balas Freya memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman Javier tidak sedikit pun melonggar. Matanya memancarkan kemarahan yang dalam.Wajah Javier penuh dengan emosi yang tersulut, ia teringat kembali ucapan Pamela yang mengatakan bahwa Freya pergi demi sejumlah uang dan tidak mau bertanggung jawab atas anak yang sudah dilahirkannya.Itu membuat Javier sangat marah, tidak menyangka kalau harga diri Freya semurah itu sampai dia membiarkan putranya tanpa pernah menjenguknya sekalipun. Bahkan sekarang, Javier melihat dengan sendiri bahwa Freya tidak ada niat untuk bertanya bagaimana kondisi Dylan.
Freya menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menghela napas panjang sambil menyapukan tangan ke rambutnya yang kusut. Hatinya masih berdebar kencang, pikirannya penuh dengan kekacauan. Pertemuannya dengan Javier tadi benar-benar di luar dugaan.Kota sebesar Manhattan yang seolah tak pernah tidur, rupanya tetap bisa mempertemukan mereka. Freya mengira setelah sekian lama, dia sudah bebas dari bayang-bayang Javier. Tapi entah mengapa, takdir tampak senang mempermainkannya."Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi?" pikir Freya, mengusap wajah dengan lelah. "Hidupku seolah terus diarahkan untuk bertemu Javier?"Saat pikirannya masih berkecamuk dengan perasaan campur aduk, David datang menghampiri."Felix baru saja tidur. Kau sudah mendapatkan vitaminnya?" tanya David sambil mengamatinya dengan saksama.Freya menoleh perlahan sambil mengangguk. Lelah begitu terasa menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya hanya bisa menyandarkan bahu ke sofa. Sejenak dia terdiam, memikirkan kembali kehidupan tenan
Keesokan paginya, Freya mengajak Felix meninggalkan rumah David, sebuah keputusan besar yang telah ia buat demi masa depan putranya. Meski hatinya dipenuhi kecemasan, Freya tahu ia tak punya pilihan lain. Pendidikan Felix harus dilanjutkan di Manhattan, meskipun kota ini membawa kenangan pahit yang ingin ia lupakan.Sambil berjalan Felix menatap ibunya dengan mata penuh tanda tanya. “Ibu, apa kita akan pulang?” tanyanya polos, berharap mereka akan kembali ke Flemington.Freya tersenyum tipis, "Kita tidak akan kembali ke Flemington, sayang. Mulai sekarang kita akan tinggal di Manhattan. Hari ini kita akan menempati rumah baru."Felix mengikuti ibunya, meski tampak kebingungan. Mereka tiba di sebuah unit apartemen sederhana. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Saat mereka memasuki apartemen, Freya memandang sekitar dengan tatapan penuh keyakinan.“Kita akan tinggal di sini mulai sekarang,” ucap Freya dengan lembut.Felix mengerutkan kening, tampak tidak puas de
Javier membuka pintu kamar Dylan dengan keras, napasnya memburu. Di dalam, Dylan masih sibuk, fokus pada layar komputernya yang menampilkan proses transfer file dari ponsel rusak milik Viona. Namun, sebelum Dylan sempat menyembunyikan tindakannya, Javier telah mencabut koneksi internet, membuat transfer yang hampir selesai itu terhenti mendadak.“Apa yang kau lakukan, Dylan!” bentak Javier, lalu mematikan komputer dengan kasar.Dylan hanya bisa terdiam dan menunduk. Ia tahu ayahnya sedang marah, tapi ia juga merasa kesal karena usahanya gagal hanya beberapa detik sebelum selesai. Tanpa sadar, tangannya bergerak ke arah buku gambarnya, di baliknya tersembunyi ponsel Viona yang rusak, namun Javier belum menyadari keberadaan ponsel itu.“Kamu tahu berapa kali ayah sudah bilang, jangan sembarangan transfer data! Itu bisa berbahaya!” suara Javier meninggi dengan nada marah.“Itu bukan sesuatu yang berbahaya…” gumam Dylan pelan, hampir tidak terdengar.Javier langsung memotong, “Cukup! Tida
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu
Suasana menjadi terasa ganjil bagi Eloise. Setelah menyadari pria di depannya adalah Dylan, bukan Felix seperti yang ia duga sebelumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan kesal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah kedua pria ini telah bersekongkol untuk mengujinya? Betapa menyebalkannya situasi seperti ini, seolah-olah ia sedang dipermainkan.“Tunggu,” Eloise menyipitkan matanya, menatap Dylan dengan curiga. “Bukankah kau tadi masih tidur saat aku keluar dari kamar? Bagaimana mungkin secepat ini kau sudah ada di luar?”Dylan tersenyum samar, sorot matanya lembut namun penuh arti. “Aku dan Felix sudah bertukar posisi sejak makan malam tadi,” ujarnya tenang. “Dan lihat, kau sama sekali tidak bisa membedakan aku dengan Felix. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih lega. Kau tetap setia padaku meskipun kami memiliki wajah yang sama. Itu cukup membuktikan segalanya.”Eloise tercengang mendengar pengakuan itu. Rasa marah dan kesal sempat berkecamuk dalam dirinya, tapi sebelum ia sempa
Dua hari sebelumnya...Setelah mereka tiba di tempat liburan, Felix memilih lebih banyak diam untuk berperang dengan pikirannya sendiri. Ia adalah orang yang cukup keras pada pilihannya, tapi untuk keinginan yang selalu mengganggu pikirannya terhadap mendekati Eloise, itu selalu ia tahan.Terkadang, sisi egoisnya menyuruh Felix untuk melakukan tindakan yang jahat. Tapi tidak, sekali lagi tidak. Dylan tumbuh dan besar bersamanya, seorang wanita tak boleh merusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak kecil. Kesalahan sepele saja bisa membuat benteng yang besar bisa rusak, dan Felix tak mau melakukan kesalahan itu. Sekitar pukul tiga sore, Felix mengirim pesan pada Dylan untuk menemuinya.“Hai, Dude. Ada apa?” Dylan bertanya santai, meski nada suaranya mengandung sedikit kekhawatiran.Felix menoleh perlahan, menatap saudara kembarnya dengan ekspresi serius. “Ada hal yang harus aku katakan padamu,” katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Dylan mengerutkan kening, tapi men
Tatapan dingin Felix berubah menjadi sesuatu yang lebih mengancam, seolah dia tahu bagaimana caranya membuat Eloise merasa terkunci di tempat itu. Eloise merasa tubuhnya menegang, udara di sekitarnya terasa berat. Setiap langkah mundur yang ia ambil, Felix maju setengah langkah lebih dekat, membuatnya semakin sulit menjaga jarak.“Aku ingin memberitahumu sesuatu,” suara Felix rendah, namun ada nada licik di dalamnya. “Sejak malam itu, kau sudah mengubah caraku melihat dirimu.”Eloise menggeleng pelan, hatinya penuh penyesalan atas kesalahan fatal yang terjadi malam itu. Sebuah malam yang terjadi di bawah pengaruh alkohol, ketika pikirannya kabur dan ia keliru mengira Felix adalah Dylan, kekasihnya. Itu adalah malam yang tak ingin ia kenang, apalagi dibahas oleh pria yang berdiri di depannya sekarang.“Kau tahu aku kekasih Dylan. Mengapa kau terus bersikeras melakukan ini?” tanyanya dengan nada bergetar, sebuah perpaduan antara takut dan marah.Felix menyeringai lebar, tatapan matanya
Freya menunggu di depan penginapan dengan raut wajah setengah cemas. Begitu melihat Avery muncul di kejauhan, Freya segera melangkah mendekat."Kau dari mana?" tanyanya, nadanya terdengar tajam namun penuh perhatian.Avery hanya melirik sekilas, menghela nafas panjang seperti menahan beban yang tak ingin ia ceritakan. "Bu, pulau ini tidak terlalu luas. Memangnya aku bisa pergi kemana?" jawabnya, nada suaranya datar dan tak bersemangat. Tanpa menunggu tanggapan, Avery melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Freya yang berdiri terpaku.Freya menggeleng pelan, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa putrinya bercerita. Sebaliknya, matanya beralih ke meja sarapan di luar penginapan, di mana Eloise duduk dengan tenang menikmati pagi. Eloise tampak anggun, sementara Dylan terlihat baru datang dari olahraga paginya. Melihat pemandangan itu, senyum kecil menghiasi wajah Freya. Ia memutuskan untuk mendekat."Kau menikmati liburanmu, Eloise
Matahari mulai menyapa dengan sinar keemasannya, menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Katie membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa hangat dari malam yang penuh gairah. Namun, ketika ia melirik ke samping, yang ia temui hanyalah tempat tidur kosong dan pakaian yang berantakan di lantai.Sebuah senyum kecil terukir di wajah Katie. Ia duduk sambil menarik selimut, membayangkan kembali malam yang penuh intensitas."Pria itu semakin menarik," gumamnya pada dirinya sendiri, nada suaranya mengandung kepuasan atas ingatan menyenangkan bersama Felix tadi malam.Di sisi lain, Felix berjalan kembali ke penginapannya dengan langkah yang cepat. Udara pagi yang segar tidak mampu meredam pikirannya yang penuh dengan kejadian semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa dari belakang."Hei, Dude. Kau membuatku kaget. Kenapa sepagi ini kau buru-buru sekali?" tanya Dylan, muncul entah dari mana.Felix sedikit tersentak, tapi ia cepat menguasai diri. "Aku? Bu
Perlahan Felix membuka matanya, tapi ia kaget karena ia sudah berbaring di atas kasur dengan kedua tangan teringat di setiap sisi tempat tidur, kedua kakinya pun bernasib sama sementara tubuhnya sudah tak memakai baju lagi.Tangannya mencoba melepaskan borgol yang mengikatnya, tapi Katie sangat licik, dia tidak hanya menggunakan satu borgol pada tangan Felix, melainkan menggunakan dua sekaligus pada masing-masing tangan."Sial, kau lebih liar dari dugaanku." ucap Felix, ia tak mengira kalau dirinya malah terperangkap oleh wanita yang baru ia temui beberapa kali, dan sekarang ia tengah berbaring di tempat tidur dalam kondisi tak berdaya.Katie mendekat, perempuan itu melihat jam di ponselnya. "Kau tidur lama sekali, sudah dua jam sejak kau memejamkan mata. Padahal aku sudah menunggu dirimu sadar, untuk memulai permainan.""Ternyata ini rencanamu setelah berhasil mengalahkanku, harusnya kau katakan saja kalau dirimu ingin tidur denganku. Bukan hal sulit untuk aku lakukan, aku hanya perlu
Katie menjauh dari Felix dengan senyum kemenangan, karena ia tau kalau Felix tidak akan melarikan diri untuk menghindari hukuman karena kekalahannya. Setelah Katie pergi, Dylan mendekat."Apa yang terjadi diantara kalian? Kau kalah dari seorang perempuan?" tanya Dylan, ekspresi wajah seakan mengejek sementara Felix mengabaikan Dylan dan menjauh dari area tempat penyewaan jetski.Melihat bahu Felix yang menjauh, Dylan cuman bisa menggelengkan kepalanya. Sementara Eloise muncul di belakang Dylan sambil melepaskan baju pelampungnya. "Kelihatannya mereka sangat dekat.""Aku harap juga begitu," kekeh Dylan, "Ayo ke penginapan, kita belum melihat kamar yang akan kita gunakan nanti." katanya sambil berjalan lebih dulu.Sejenak Eloise terdiam, memandangi bahu Dylan sebelum mengikuti pria itu. Sebenarnya, Eloise sedikit cemas kalau Felix benar-benar menunggunya pukul sembilan malam nanti. Apa yang harus ia lakukan agar Dylan tidak mencurigainya bertemu Felix diam-diam?Saat ini, ia hanya berha