“Dylan!” teriakan Viona menggema di seluruh ruangan, suaranya penuh kemarahan. Ponsel yang dipegangnya ia lempar ke sofa dengan kasar, frustrasi melihat anak itu berhasil melarikan diri. "Ke mana anak itu pergi?" gumamnya sambil berkacak pinggang. Pandangan Viona beralih, mencari keberadaan Felix. Tak jauh dari sana, Felix tampak asyik bermain di dekat kolam ikan, sibuk mengamati ikan-ikan kecil yang berenang. "Ah, di sini kau rupanya," ujar Viona dengan nada kesal. Namun begitu melihat Viona mendekat, Felix langsung bangkit dan berlari secepat kilat. Ia tahu persis, jika tertangkap takkan ada hal baik yang menantinya. Kakinya melangkah cepat menuju jauh ke area belakang rumah meski ranting-ranting di jalan setapak menggores kakinya, ia tak peduli. Wajah Viona semakin merah karena kesal. Sejak pulang dari Flemington, anak yang dulu penurut kini menjadi lebih gesit dan sulit diatur. Viona mencurigai bahwa perubahan drastis ini pasti ada hubungannya dengan Javier. Apa yang sudah dia
Javier menatap Viona dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Vio, kita sudah sering membicarakan ini. Kau sudah menerima keberadaan Dylan di rumah kita, bukan? Jadi, mengapa kau membuatnya merasa tidak nyaman?" tanyanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan rasa kecewa.Viona mendengus, wajahnya menegang. "Aku sudah katakan padamu, Javier. Anak itu jatuh sendiri. Aku bahkan mencoba membantunya, tapi kau malah menuduhku yang membuatnya terjatuh."Javier memalingkan wajah, menghela nafas panjang sebelum kembali menatap istrinya. "Meskipun Dylan bukan anak kandungmu, aku harap kau bisa menyayanginya seperti putramu sendiri. Kita sudah merawatnya sejak dia bayi, Vio. Dia pantas mendapatkan kasih sayangmu."Ucapan Javier seolah menekan Viona, menuduh bahwa ia tidak tulus dalam merawat Dylan. Rasa kesalnya semakin membuncah, tapi ia tahu harus pandai menyembunyikannya demi menjaga hubungan baik dengan suaminya. Lima tahun telah berlalu, dan kehadiran Dylan di rumah mereka sudah menjadi beba
Pesta pernikahan keluarga David dilakukan secara sederhana, hanya ada keluarga dan teman dekat yang hadir. David dan Freya sama-sama orang dengan latar belakang tidak memiliki keluarga, saat mereka bisa merayakan sebuah pesta dengan orang yang menganggapnya keluarga, itu adalah kebahagiaan tersendiri.Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Malam harinya setelah pesta berakhir dan semua orang kembali ke rumah, Dylan mendadak jatuh sakit. Freya mencoba untuk menurunkan panas putranya dengan cara yang biasa ia lakukan. Tapi, rasa cemas semakin menguasai Freya ketika suhu tubuh Dylan terus meningkat."David, tolong bantu aku. Kita harus segera membawa Felix ke rumah sakit," seru Freya dengan suara gemetar.Tanpa pikir panjang, David segera mengantar mereka ke rumah sakit di tengah malam. Sepanjang perjalanan, Freya memegang tangan Dylan, berharap panas tubuhnya segera turun. Freya masih belum sadar bahwa Felix dan Dylan adalah dua anak yang berbeda meski terlahir dari rahim yang sama
David tahu bahwa situasi yang dihadapinya semakin rumit. Dia harus menemukan cara untuk menjaga agar Felix dan Dylan tidak bertemu dengan Freya secara bersamaan. Ini cukup sulit karena Dylan masih di rumah sakit. Sementara Javier pasti akan mencari putranya, kemungkinan besar dia akan bertemu dengan Freya kembali."Paman, kenapa paman jadi khawatir? Aku hanya ingin bertemu dengan ibu," ucap Felix, dia tampaknya memperhatikan David yang tengah frustasi sejak tadi.David menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Felix. Dia meraih bahu anak itu dengan hati-hati, mencoba berbicara dengan tenang. "Felix, kamu mau bekerja sama dengan Paman? Ayo kita buat agar ibumu dan ayah Dylan tidak saling bertemu."Wajah Felix terlihat heran, "Kenapa kita tidak boleh membuat mereka bertemu?"David mencoba memikirkan alasan yang tepat agar bisa membujuk Felix. "Paman akan membawamu bertemu ibumu, tapi kita harus menjauhkan Dylan dari ibumu dulu. Kalau ayah Dylan tahu kamu bukan putranya, dia pasti akan m
"Dylan, berapa kali ayah harus mengingatkan untuk tidak pergi terlalu jauh? Dan sekarang kau malah masuk ke dalam mobil orang asing. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?" suara Javier penuh kecemasan saat dia tiba di rumah, meskipun sedikit lega melihat Dylan dalam keadaan baik-baik saja.Bibir Dylan tertutup rapat, ingin sekali memberitahu Javier kalau ada anak seusianya yang sangat mirip dengan wajahnya. Tapi Dylan khawatir, ia takut bahwa pengakuannya akan membuat Javier marah besar ketika tahu anak yang bersamanya beberapa hari terakhir bukanlah Dylan yang asli."Sudah aku beritahu padamu, Dylan mulai tidak bisa diatur beberapa hari ini. Kau harus bertindak lebih tegas padanya, Javier." sahut Viona yang baru turun dari tangga.Dylan menelan ludah, pikirannya berputar mencari cara agar dia bisa membuat wanita itu pergi. Selama ini, saat Javier tidak ada di rumah, Viona selalu bersikap kejam kepadanya. Tindakannya sering kali melewati batas membuat Dylan merasa tidak nyaman dan t
Freya terkejut melihat Javier, dan tubuhnya seolah membeku di tempat. Namun begitu kesadarannya kembali, ia mulai bergerak perlahan, mencoba mundur untuk melarikan diri. Sayangnya Javier sudah membaca gerakannya. Tanpa ragu, pria itu meraih lengannya dengan kasar.“Kau mau ke mana?!” bentak Javier, suaranya penuh amarah.“Lepaskan, Javier. Kita sudah tidak punya urusan apa-apa lagi,” balas Freya memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman Javier tidak sedikit pun melonggar. Matanya memancarkan kemarahan yang dalam.Wajah Javier penuh dengan emosi yang tersulut, ia teringat kembali ucapan Pamela yang mengatakan bahwa Freya pergi demi sejumlah uang dan tidak mau bertanggung jawab atas anak yang sudah dilahirkannya.Itu membuat Javier sangat marah, tidak menyangka kalau harga diri Freya semurah itu sampai dia membiarkan putranya tanpa pernah menjenguknya sekalipun. Bahkan sekarang, Javier melihat dengan sendiri bahwa Freya tidak ada niat untuk bertanya bagaimana kondisi Dylan.
Freya menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menghela napas panjang sambil menyapukan tangan ke rambutnya yang kusut. Hatinya masih berdebar kencang, pikirannya penuh dengan kekacauan. Pertemuannya dengan Javier tadi benar-benar di luar dugaan.Kota sebesar Manhattan yang seolah tak pernah tidur, rupanya tetap bisa mempertemukan mereka. Freya mengira setelah sekian lama, dia sudah bebas dari bayang-bayang Javier. Tapi entah mengapa, takdir tampak senang mempermainkannya."Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi?" pikir Freya, mengusap wajah dengan lelah. "Hidupku seolah terus diarahkan untuk bertemu Javier?"Saat pikirannya masih berkecamuk dengan perasaan campur aduk, David datang menghampiri."Felix baru saja tidur. Kau sudah mendapatkan vitaminnya?" tanya David sambil mengamatinya dengan saksama.Freya menoleh perlahan sambil mengangguk. Lelah begitu terasa menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya hanya bisa menyandarkan bahu ke sofa. Sejenak dia terdiam, memikirkan kembali kehidupan tenan
Keesokan paginya, Freya mengajak Felix meninggalkan rumah David, sebuah keputusan besar yang telah ia buat demi masa depan putranya. Meski hatinya dipenuhi kecemasan, Freya tahu ia tak punya pilihan lain. Pendidikan Felix harus dilanjutkan di Manhattan, meskipun kota ini membawa kenangan pahit yang ingin ia lupakan.Sambil berjalan Felix menatap ibunya dengan mata penuh tanda tanya. “Ibu, apa kita akan pulang?” tanyanya polos, berharap mereka akan kembali ke Flemington.Freya tersenyum tipis, "Kita tidak akan kembali ke Flemington, sayang. Mulai sekarang kita akan tinggal di Manhattan. Hari ini kita akan menempati rumah baru."Felix mengikuti ibunya, meski tampak kebingungan. Mereka tiba di sebuah unit apartemen sederhana. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Saat mereka memasuki apartemen, Freya memandang sekitar dengan tatapan penuh keyakinan.“Kita akan tinggal di sini mulai sekarang,” ucap Freya dengan lembut.Felix mengerutkan kening, tampak tidak puas de
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da