Keesokan paginya, Freya mengajak Felix meninggalkan rumah David, sebuah keputusan besar yang telah ia buat demi masa depan putranya. Meski hatinya dipenuhi kecemasan, Freya tahu ia tak punya pilihan lain. Pendidikan Felix harus dilanjutkan di Manhattan, meskipun kota ini membawa kenangan pahit yang ingin ia lupakan.Sambil berjalan Felix menatap ibunya dengan mata penuh tanda tanya. “Ibu, apa kita akan pulang?” tanyanya polos, berharap mereka akan kembali ke Flemington.Freya tersenyum tipis, "Kita tidak akan kembali ke Flemington, sayang. Mulai sekarang kita akan tinggal di Manhattan. Hari ini kita akan menempati rumah baru."Felix mengikuti ibunya, meski tampak kebingungan. Mereka tiba di sebuah unit apartemen sederhana. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memulai kehidupan baru. Saat mereka memasuki apartemen, Freya memandang sekitar dengan tatapan penuh keyakinan.“Kita akan tinggal di sini mulai sekarang,” ucap Freya dengan lembut.Felix mengerutkan kening, tampak tidak puas de
Javier membuka pintu kamar Dylan dengan keras, napasnya memburu. Di dalam, Dylan masih sibuk, fokus pada layar komputernya yang menampilkan proses transfer file dari ponsel rusak milik Viona. Namun, sebelum Dylan sempat menyembunyikan tindakannya, Javier telah mencabut koneksi internet, membuat transfer yang hampir selesai itu terhenti mendadak.“Apa yang kau lakukan, Dylan!” bentak Javier, lalu mematikan komputer dengan kasar.Dylan hanya bisa terdiam dan menunduk. Ia tahu ayahnya sedang marah, tapi ia juga merasa kesal karena usahanya gagal hanya beberapa detik sebelum selesai. Tanpa sadar, tangannya bergerak ke arah buku gambarnya, di baliknya tersembunyi ponsel Viona yang rusak, namun Javier belum menyadari keberadaan ponsel itu.“Kamu tahu berapa kali ayah sudah bilang, jangan sembarangan transfer data! Itu bisa berbahaya!” suara Javier meninggi dengan nada marah.“Itu bukan sesuatu yang berbahaya…” gumam Dylan pelan, hampir tidak terdengar.Javier langsung memotong, “Cukup! Tida
Ketenangan Javier yang berada di kantor mendadak saja terganggu saat menerima panggilan dari Viona yang berkata, "Dylan menghilang di taman, Javier. Aku tak bisa menemukannya!"Tanpa berpikir dua kali, Javier menghentikan pekerjaannya dan bergegas keluar kantor meninggalkan pekerjaan yang masih berlangsung.Cemas menguasai pikirannya, akhir-akhir ini Dylan tidak bisa diatur. Selalu menghilang dengan tiba-tiba, bahkan kali ini anak itu kembali hilang di tempat yang sama. Apakah taman seburuk itu sampai membuat Dylan sering kali kabur saat ada kesempatan.Javier turun dari mobil menghampiri Viona, "Dimana Dylan?""Aku juga sedang mencarinya, tadi kami bermain di taman dan tiba-tiba saja Dylan pergi tanpa sepengetahuanku." kata Viona, padahal dia sengaja meninggalkan Dylan di taman untuk bertemu dengan Eben.Namun, Viona tentu saja tidak akan mengatakan dengan jujur bahwa ia meninggalkan Dylan di taman sendirian dengan sengaja.Javier mengerutkan kening, hatinya semakin cemas. Ia langsung
Javier masih belum bisa percaya apa yang ia lihat, putranya ada dua. Dan salah satunya baru ia ketahui hari ini, sekarang Javier tengah duduk memperhatikan Dylan dan Felix bergantian. Tak ada perbedaan diantara mereka, benar-benar kembar identik yang sama persis.Frustasi, Javier mengusap wajahnya. "Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" tanyanya, mencoba memahami situasi yang dihadapinya.Dylan mengangkat bahu, menatap ayahnya dengan polos. "Kami bertemu di Flemington," jawabnya dengan tenang, sementara Felix tetap diam, takut berbicara di hadapan Javier yang terlihat serius.Javier menarik napas panjang, lalu berdiri. "Kalian berdua ikut denganku," perintahnya singkat, berjalan lebih dulu menuju pintu.Dylan segera berdiri, mengajak Felix ikut serta. Di sela-sela langkah mereka, Felix berbisik pelan, "Apa ayah akan marah kalau dia tahu kita pernah bertukar tempat?"Dylan melirik Felix sekilas, lalu menjawab pelan, "Selama kita tidak bicara, ayah tidak akan tahu."Keduanya bergegas
Kalimat Felix menggema di kepala Javier, membuatnya bergegas menuju mobilnya yang terparkir. Namun, saat tiba di sana, jantungnya serasa berhenti, Dylan sudah tidak ada. Matanya mencari ke segala arah, tetapi tak ada jejak putranya.Sementara Freya yang masih kebingungan, tersentak mendengar suara Felix. "Ibu, ayo kita cari Dylan," kata Felix, menarik-narik tangan Freya dengan penuh kegelisahan.Dalam benak Freya, muncul pertanyaan besar, siapa Dylan? Mengapa Felix begitu mengenalnya, dan mengapa Javier tampak begitu syok ketika mendengar nama itu?"Felix, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Freya, masih bingung dengan situasi yang tidak ia pahami."Dylan dibawa orang jahat, Bu. Kami hampir dibawa bersama, tapi aku berhasil kabur," kata Felix dengan suara yang mulai terdengar bergetar ketakutan.Freya terdiam, masih tak sepenuhnya mengerti. Namun nalurinya menyuruhnya turun ke lantai dasar bersama Felix. Saat mereka tiba di bawah, Freya melihat Javier sudah pergi dengan mobilnya, meng
Eben duduk di kursinya dengan mata tertuju pada Dylan yang tertidur di sofa. Ia sengaja tidak mengikat bocah itu, membiarkannya berteriak dan menangis hingga kelelahan, sampai akhirnya terlelap sendiri."Jam berapa sekarang?" Eben bertanya pada salah satu anak buahnya tanpa menoleh."Pukul dua dini hari, Sir," jawab anak buahnya dengan tenang.Eben melipat kedua tangannya di depan dada, ekspresinya dingin namun penuh perhitungan apa yang akan terjadi beberapa saat lagi."Javier akan segera datang. Siapkan semuanya dan pastikan dia datang tanpa membawa siapa pun. Jangan biarkan ada celah," perintahnya dengan suara rendah tapi penuh otoritas.Lima anak buahnya langsung bergerak, patuh pada setiap kata yang diucapkannya. Eben, yang merasa semuanya berjalan sesuai rencana, ia bangkit dari kursinya ketika melihat lampu sorot mobil Javier menyinari halaman depan.Sebuah senyum miring terlukis di wajahnya, ini akan segera berakhir, tetapi Eben tidak boleh menunjukkan dirinya. Javier terlalu p
Pukul delapan pagi, suasana di ruang makan terasa tenang, hampir terlalu tenang. Javier duduk memperhatikan Viona yang sedang menyantap sarapan, sementara Dylan makan dengan damai, seolah tidak ada yang terjadi semalam."Dylan," ujar Javier dengan suara rendah, "setelah selesai sarapan, siapkan peralatan sekolahmu. Supir akan mengantarmu ke sekolah hari ini."Dylan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia menghabiskan sarapannya, kemudian bangkit menuju kamarnya untuk menyiapkan perlengkapan. Tak lama kemudian, Dylan turun dari tangga, membawa tas sekolahnya."Pastikan kali ini kamu tidak membuat masalah yang bisa membahayakan keselamatanmu," pesan Javier tegas.Dylan lagi-lagi hanya mengangguk, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan langkah ringan, ia keluar rumah menuju mobil yang sudah menunggu untuk mengantarkannya ke sekolah.Begitu Dylan pergi, Javier mengalihkan tatapannya ke Viona, yang kini sudah selesai menikmati sarapannya."Ada yang perlu kubicarakan denganmu," ucap Javier. Su
Viona semakin gelisah, otaknya berputar, mencari-cari alasan yang cukup kuat untuk menghadapi Javier. Ia tahu, jika jawabannya tidak memuaskan, Javier pasti akan terus mengejar kebenaran, dan semua rahasia yang selama ini ia sembunyikan bisa saja terbongkar.Setelah menghabiskan waktu lama termenung di kamarnya, Viona memutuskan turun ke taman belakang. Mungkin di sana, ia akan mendapat ketenangan untuk membantunya memikirkan jawaban yang tepat.Namun, baru saja kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia terkejut melihat Pamela berdiri di ruang tamu."Ibu? Kapan ibu datang?" Viona berusaha memasang senyum ramah, menyembunyikan rasa gugup di balik senyumannya.Pamela memandangnya dingin, matanya tajam menelisik wajah Viona, seolah menembus setiap lapisan tipu muslihat menantunya. Sebelum sempat berpikir panjang, Viona bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa meminta bantuan pada Pamela, seperti yang pernah dilakukan wanita itu sebelumnya.Pamela tahu Viona tak bisa hamil dan dulu menduk
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu
Suasana menjadi terasa ganjil bagi Eloise. Setelah menyadari pria di depannya adalah Dylan, bukan Felix seperti yang ia duga sebelumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan kesal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah kedua pria ini telah bersekongkol untuk mengujinya? Betapa menyebalkannya situasi seperti ini, seolah-olah ia sedang dipermainkan.“Tunggu,” Eloise menyipitkan matanya, menatap Dylan dengan curiga. “Bukankah kau tadi masih tidur saat aku keluar dari kamar? Bagaimana mungkin secepat ini kau sudah ada di luar?”Dylan tersenyum samar, sorot matanya lembut namun penuh arti. “Aku dan Felix sudah bertukar posisi sejak makan malam tadi,” ujarnya tenang. “Dan lihat, kau sama sekali tidak bisa membedakan aku dengan Felix. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih lega. Kau tetap setia padaku meskipun kami memiliki wajah yang sama. Itu cukup membuktikan segalanya.”Eloise tercengang mendengar pengakuan itu. Rasa marah dan kesal sempat berkecamuk dalam dirinya, tapi sebelum ia sempa
Dua hari sebelumnya...Setelah mereka tiba di tempat liburan, Felix memilih lebih banyak diam untuk berperang dengan pikirannya sendiri. Ia adalah orang yang cukup keras pada pilihannya, tapi untuk keinginan yang selalu mengganggu pikirannya terhadap mendekati Eloise, itu selalu ia tahan.Terkadang, sisi egoisnya menyuruh Felix untuk melakukan tindakan yang jahat. Tapi tidak, sekali lagi tidak. Dylan tumbuh dan besar bersamanya, seorang wanita tak boleh merusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak kecil. Kesalahan sepele saja bisa membuat benteng yang besar bisa rusak, dan Felix tak mau melakukan kesalahan itu. Sekitar pukul tiga sore, Felix mengirim pesan pada Dylan untuk menemuinya.“Hai, Dude. Ada apa?” Dylan bertanya santai, meski nada suaranya mengandung sedikit kekhawatiran.Felix menoleh perlahan, menatap saudara kembarnya dengan ekspresi serius. “Ada hal yang harus aku katakan padamu,” katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Dylan mengerutkan kening, tapi men
Tatapan dingin Felix berubah menjadi sesuatu yang lebih mengancam, seolah dia tahu bagaimana caranya membuat Eloise merasa terkunci di tempat itu. Eloise merasa tubuhnya menegang, udara di sekitarnya terasa berat. Setiap langkah mundur yang ia ambil, Felix maju setengah langkah lebih dekat, membuatnya semakin sulit menjaga jarak.“Aku ingin memberitahumu sesuatu,” suara Felix rendah, namun ada nada licik di dalamnya. “Sejak malam itu, kau sudah mengubah caraku melihat dirimu.”Eloise menggeleng pelan, hatinya penuh penyesalan atas kesalahan fatal yang terjadi malam itu. Sebuah malam yang terjadi di bawah pengaruh alkohol, ketika pikirannya kabur dan ia keliru mengira Felix adalah Dylan, kekasihnya. Itu adalah malam yang tak ingin ia kenang, apalagi dibahas oleh pria yang berdiri di depannya sekarang.“Kau tahu aku kekasih Dylan. Mengapa kau terus bersikeras melakukan ini?” tanyanya dengan nada bergetar, sebuah perpaduan antara takut dan marah.Felix menyeringai lebar, tatapan matanya
Freya menunggu di depan penginapan dengan raut wajah setengah cemas. Begitu melihat Avery muncul di kejauhan, Freya segera melangkah mendekat."Kau dari mana?" tanyanya, nadanya terdengar tajam namun penuh perhatian.Avery hanya melirik sekilas, menghela nafas panjang seperti menahan beban yang tak ingin ia ceritakan. "Bu, pulau ini tidak terlalu luas. Memangnya aku bisa pergi kemana?" jawabnya, nada suaranya datar dan tak bersemangat. Tanpa menunggu tanggapan, Avery melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Freya yang berdiri terpaku.Freya menggeleng pelan, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa putrinya bercerita. Sebaliknya, matanya beralih ke meja sarapan di luar penginapan, di mana Eloise duduk dengan tenang menikmati pagi. Eloise tampak anggun, sementara Dylan terlihat baru datang dari olahraga paginya. Melihat pemandangan itu, senyum kecil menghiasi wajah Freya. Ia memutuskan untuk mendekat."Kau menikmati liburanmu, Eloise
Matahari mulai menyapa dengan sinar keemasannya, menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Katie membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa hangat dari malam yang penuh gairah. Namun, ketika ia melirik ke samping, yang ia temui hanyalah tempat tidur kosong dan pakaian yang berantakan di lantai.Sebuah senyum kecil terukir di wajah Katie. Ia duduk sambil menarik selimut, membayangkan kembali malam yang penuh intensitas."Pria itu semakin menarik," gumamnya pada dirinya sendiri, nada suaranya mengandung kepuasan atas ingatan menyenangkan bersama Felix tadi malam.Di sisi lain, Felix berjalan kembali ke penginapannya dengan langkah yang cepat. Udara pagi yang segar tidak mampu meredam pikirannya yang penuh dengan kejadian semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa dari belakang."Hei, Dude. Kau membuatku kaget. Kenapa sepagi ini kau buru-buru sekali?" tanya Dylan, muncul entah dari mana.Felix sedikit tersentak, tapi ia cepat menguasai diri. "Aku? Bu
Perlahan Felix membuka matanya, tapi ia kaget karena ia sudah berbaring di atas kasur dengan kedua tangan teringat di setiap sisi tempat tidur, kedua kakinya pun bernasib sama sementara tubuhnya sudah tak memakai baju lagi.Tangannya mencoba melepaskan borgol yang mengikatnya, tapi Katie sangat licik, dia tidak hanya menggunakan satu borgol pada tangan Felix, melainkan menggunakan dua sekaligus pada masing-masing tangan."Sial, kau lebih liar dari dugaanku." ucap Felix, ia tak mengira kalau dirinya malah terperangkap oleh wanita yang baru ia temui beberapa kali, dan sekarang ia tengah berbaring di tempat tidur dalam kondisi tak berdaya.Katie mendekat, perempuan itu melihat jam di ponselnya. "Kau tidur lama sekali, sudah dua jam sejak kau memejamkan mata. Padahal aku sudah menunggu dirimu sadar, untuk memulai permainan.""Ternyata ini rencanamu setelah berhasil mengalahkanku, harusnya kau katakan saja kalau dirimu ingin tidur denganku. Bukan hal sulit untuk aku lakukan, aku hanya perlu
Katie menjauh dari Felix dengan senyum kemenangan, karena ia tau kalau Felix tidak akan melarikan diri untuk menghindari hukuman karena kekalahannya. Setelah Katie pergi, Dylan mendekat."Apa yang terjadi diantara kalian? Kau kalah dari seorang perempuan?" tanya Dylan, ekspresi wajah seakan mengejek sementara Felix mengabaikan Dylan dan menjauh dari area tempat penyewaan jetski.Melihat bahu Felix yang menjauh, Dylan cuman bisa menggelengkan kepalanya. Sementara Eloise muncul di belakang Dylan sambil melepaskan baju pelampungnya. "Kelihatannya mereka sangat dekat.""Aku harap juga begitu," kekeh Dylan, "Ayo ke penginapan, kita belum melihat kamar yang akan kita gunakan nanti." katanya sambil berjalan lebih dulu.Sejenak Eloise terdiam, memandangi bahu Dylan sebelum mengikuti pria itu. Sebenarnya, Eloise sedikit cemas kalau Felix benar-benar menunggunya pukul sembilan malam nanti. Apa yang harus ia lakukan agar Dylan tidak mencurigainya bertemu Felix diam-diam?Saat ini, ia hanya berha