Kolom review terlihat masih sepi ya, jadi pemenangnya belum diumumkan :D BTW komen dong, hampa banget nih gak ada yang komen hehe
Javier masih belum bisa percaya apa yang ia lihat, putranya ada dua. Dan salah satunya baru ia ketahui hari ini, sekarang Javier tengah duduk memperhatikan Dylan dan Felix bergantian. Tak ada perbedaan diantara mereka, benar-benar kembar identik yang sama persis.Frustasi, Javier mengusap wajahnya. "Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" tanyanya, mencoba memahami situasi yang dihadapinya.Dylan mengangkat bahu, menatap ayahnya dengan polos. "Kami bertemu di Flemington," jawabnya dengan tenang, sementara Felix tetap diam, takut berbicara di hadapan Javier yang terlihat serius.Javier menarik napas panjang, lalu berdiri. "Kalian berdua ikut denganku," perintahnya singkat, berjalan lebih dulu menuju pintu.Dylan segera berdiri, mengajak Felix ikut serta. Di sela-sela langkah mereka, Felix berbisik pelan, "Apa ayah akan marah kalau dia tahu kita pernah bertukar tempat?"Dylan melirik Felix sekilas, lalu menjawab pelan, "Selama kita tidak bicara, ayah tidak akan tahu."Keduanya bergegas
Kalimat Felix menggema di kepala Javier, membuatnya bergegas menuju mobilnya yang terparkir. Namun, saat tiba di sana, jantungnya serasa berhenti, Dylan sudah tidak ada. Matanya mencari ke segala arah, tetapi tak ada jejak putranya.Sementara Freya yang masih kebingungan, tersentak mendengar suara Felix. "Ibu, ayo kita cari Dylan," kata Felix, menarik-narik tangan Freya dengan penuh kegelisahan.Dalam benak Freya, muncul pertanyaan besar, siapa Dylan? Mengapa Felix begitu mengenalnya, dan mengapa Javier tampak begitu syok ketika mendengar nama itu?"Felix, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Freya, masih bingung dengan situasi yang tidak ia pahami."Dylan dibawa orang jahat, Bu. Kami hampir dibawa bersama, tapi aku berhasil kabur," kata Felix dengan suara yang mulai terdengar bergetar ketakutan.Freya terdiam, masih tak sepenuhnya mengerti. Namun nalurinya menyuruhnya turun ke lantai dasar bersama Felix. Saat mereka tiba di bawah, Freya melihat Javier sudah pergi dengan mobilnya, meng
Eben duduk di kursinya dengan mata tertuju pada Dylan yang tertidur di sofa. Ia sengaja tidak mengikat bocah itu, membiarkannya berteriak dan menangis hingga kelelahan, sampai akhirnya terlelap sendiri."Jam berapa sekarang?" Eben bertanya pada salah satu anak buahnya tanpa menoleh."Pukul dua dini hari, Sir," jawab anak buahnya dengan tenang.Eben melipat kedua tangannya di depan dada, ekspresinya dingin namun penuh perhitungan apa yang akan terjadi beberapa saat lagi."Javier akan segera datang. Siapkan semuanya dan pastikan dia datang tanpa membawa siapa pun. Jangan biarkan ada celah," perintahnya dengan suara rendah tapi penuh otoritas.Lima anak buahnya langsung bergerak, patuh pada setiap kata yang diucapkannya. Eben, yang merasa semuanya berjalan sesuai rencana, ia bangkit dari kursinya ketika melihat lampu sorot mobil Javier menyinari halaman depan.Sebuah senyum miring terlukis di wajahnya, ini akan segera berakhir, tetapi Eben tidak boleh menunjukkan dirinya. Javier terlalu p
Pukul delapan pagi, suasana di ruang makan terasa tenang, hampir terlalu tenang. Javier duduk memperhatikan Viona yang sedang menyantap sarapan, sementara Dylan makan dengan damai, seolah tidak ada yang terjadi semalam."Dylan," ujar Javier dengan suara rendah, "setelah selesai sarapan, siapkan peralatan sekolahmu. Supir akan mengantarmu ke sekolah hari ini."Dylan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia menghabiskan sarapannya, kemudian bangkit menuju kamarnya untuk menyiapkan perlengkapan. Tak lama kemudian, Dylan turun dari tangga, membawa tas sekolahnya."Pastikan kali ini kamu tidak membuat masalah yang bisa membahayakan keselamatanmu," pesan Javier tegas.Dylan lagi-lagi hanya mengangguk, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan langkah ringan, ia keluar rumah menuju mobil yang sudah menunggu untuk mengantarkannya ke sekolah.Begitu Dylan pergi, Javier mengalihkan tatapannya ke Viona, yang kini sudah selesai menikmati sarapannya."Ada yang perlu kubicarakan denganmu," ucap Javier. Su
Viona semakin gelisah, otaknya berputar, mencari-cari alasan yang cukup kuat untuk menghadapi Javier. Ia tahu, jika jawabannya tidak memuaskan, Javier pasti akan terus mengejar kebenaran, dan semua rahasia yang selama ini ia sembunyikan bisa saja terbongkar.Setelah menghabiskan waktu lama termenung di kamarnya, Viona memutuskan turun ke taman belakang. Mungkin di sana, ia akan mendapat ketenangan untuk membantunya memikirkan jawaban yang tepat.Namun, baru saja kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia terkejut melihat Pamela berdiri di ruang tamu."Ibu? Kapan ibu datang?" Viona berusaha memasang senyum ramah, menyembunyikan rasa gugup di balik senyumannya.Pamela memandangnya dingin, matanya tajam menelisik wajah Viona, seolah menembus setiap lapisan tipu muslihat menantunya. Sebelum sempat berpikir panjang, Viona bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa meminta bantuan pada Pamela, seperti yang pernah dilakukan wanita itu sebelumnya.Pamela tahu Viona tak bisa hamil dan dulu menduk
Javier masih diambang kebingungan, terlalu mendadak kalau dia menceraikan Viona. Sementara wanita itu kini masih berbaring di ranjang rumah sakit, namun setelah berpikir lama, Javier memutuskan untuk tidak segera mengambil kesimpulan menceraikan Viona.Istrinya memang bersalah, tapi Javier ingat saat ia dan Freya melakukan hubungan, Viona masih dengan baik hati memaafkannya. Sepertinya ia perlu memberikan Viona kesempatan terakhir untuk memperbaiki diri.Lamunannya mendadak terputus saat ponselnya berdering. Javier mengangkatnya, tanpa sadar langsung menjawab."Halo?""Tuan, kami menemukan alamat baru wanita yang Anda cari," suara anak buahnya melaporkan.Detik itu juga Javier bangkit dari kursinya, tak lama ada pesan masuk berisi alamat tempat tinggal Freya yang baru. Bergegas dia pergi ke alamat yang tertera, karena jarak tempat tinggal Freya cukup jauh dari pusat kota.Javier bertanya tanya mengapa Freya selalu melarikan diri, itu membuat Javier berpikir ia adalah pria yang begitu
Ancaman Javier membayangi pikiran Freya, menyulut kecemasan yang tak tertahankan. Jika Javier mengambil Felix darinya, ia akan benar-benar kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap bertahan.“Kau tidak boleh mengambil Felix dariku, Javier,” ucapnya dengan nada memohon.“Kalau begitu, buat kesepakatan denganku,” jawab Javier tanpa ragu, tatapan tajamnya membuat Freya merasa tak punya pilihan.Freya mendongak, menatap Javier dengan tatapan serius. Sekarang ia tak punya pilihan, kalau Freya menolak maka sudah pasti Javier akan lebih tegas. Jadi, selama Javier tidak mengambil Felix darinya, mungkin Freya dapat mengikuti kesepakatan yang Javier tawarkan.Alhasil, Freya mempersilahkan Javier masuk ke rumahnya. Tentu untuk membahas kesepakatan macam apa yang akan Javier berikan. Javier masuk dan memperhatikan rumah mungil itu dengan seksama. Ia menatap dinding dan perabotan sederhana yang tak sepadan dengan gaya hidup yang biasa ia bayangkan untuk putranya. Akhirnya, ia mengalihkan tatapann
Berpindah pindah rumah bukanlah hal yang mudah, itu cukup melelahkan bagi Freya yang berusaha untuk menghindari Javier. Tapi kali ini, ia menerima tawaran dari pria itu yang menyediakan tempat tinggal baru untuknya.Meskipun Freya tau, Javier melakukan semua ini juga karena Felix. Jika bukan karena Felix anaknya, Javier tak akan pernah mau peduli dengan kehidupan Freya. Mulai hari ini, Freya memutuskan untuk berhenti menghindar. Selama Javier tak berusaha merebut Felix darinya, ia bisa menjalani hari-hari tanpa terlalu khawatir.“Nyonya, ini rumah yang Tuan Javier siapkan untuk Anda,” ucap pria yang ditugaskan Javier untuk mengantar mereka.Freya terpana saat menatap apartemen dua lantai itu, luas dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Ketika pria itu membantu membawa barang-barangnya masuk, Felix langsung berteriak kegirangan, berlari kesana kemari di dalam apartemen, melompat dari sofa ke sofa dengan sukacita.“Bu, tempat ini besar sekali!” serunya antusias.Sementara pria yang me
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan