Hayoo apa yang Javier lihat coba :P
Pukul delapan pagi, suasana di ruang makan terasa tenang, hampir terlalu tenang. Javier duduk memperhatikan Viona yang sedang menyantap sarapan, sementara Dylan makan dengan damai, seolah tidak ada yang terjadi semalam."Dylan," ujar Javier dengan suara rendah, "setelah selesai sarapan, siapkan peralatan sekolahmu. Supir akan mengantarmu ke sekolah hari ini."Dylan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia menghabiskan sarapannya, kemudian bangkit menuju kamarnya untuk menyiapkan perlengkapan. Tak lama kemudian, Dylan turun dari tangga, membawa tas sekolahnya."Pastikan kali ini kamu tidak membuat masalah yang bisa membahayakan keselamatanmu," pesan Javier tegas.Dylan lagi-lagi hanya mengangguk, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan langkah ringan, ia keluar rumah menuju mobil yang sudah menunggu untuk mengantarkannya ke sekolah.Begitu Dylan pergi, Javier mengalihkan tatapannya ke Viona, yang kini sudah selesai menikmati sarapannya."Ada yang perlu kubicarakan denganmu," ucap Javier. Su
Viona semakin gelisah, otaknya berputar, mencari-cari alasan yang cukup kuat untuk menghadapi Javier. Ia tahu, jika jawabannya tidak memuaskan, Javier pasti akan terus mengejar kebenaran, dan semua rahasia yang selama ini ia sembunyikan bisa saja terbongkar.Setelah menghabiskan waktu lama termenung di kamarnya, Viona memutuskan turun ke taman belakang. Mungkin di sana, ia akan mendapat ketenangan untuk membantunya memikirkan jawaban yang tepat.Namun, baru saja kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia terkejut melihat Pamela berdiri di ruang tamu."Ibu? Kapan ibu datang?" Viona berusaha memasang senyum ramah, menyembunyikan rasa gugup di balik senyumannya.Pamela memandangnya dingin, matanya tajam menelisik wajah Viona, seolah menembus setiap lapisan tipu muslihat menantunya. Sebelum sempat berpikir panjang, Viona bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa meminta bantuan pada Pamela, seperti yang pernah dilakukan wanita itu sebelumnya.Pamela tahu Viona tak bisa hamil dan dulu menduk
Javier masih diambang kebingungan, terlalu mendadak kalau dia menceraikan Viona. Sementara wanita itu kini masih berbaring di ranjang rumah sakit, namun setelah berpikir lama, Javier memutuskan untuk tidak segera mengambil kesimpulan menceraikan Viona.Istrinya memang bersalah, tapi Javier ingat saat ia dan Freya melakukan hubungan, Viona masih dengan baik hati memaafkannya. Sepertinya ia perlu memberikan Viona kesempatan terakhir untuk memperbaiki diri.Lamunannya mendadak terputus saat ponselnya berdering. Javier mengangkatnya, tanpa sadar langsung menjawab."Halo?""Tuan, kami menemukan alamat baru wanita yang Anda cari," suara anak buahnya melaporkan.Detik itu juga Javier bangkit dari kursinya, tak lama ada pesan masuk berisi alamat tempat tinggal Freya yang baru. Bergegas dia pergi ke alamat yang tertera, karena jarak tempat tinggal Freya cukup jauh dari pusat kota.Javier bertanya tanya mengapa Freya selalu melarikan diri, itu membuat Javier berpikir ia adalah pria yang begitu
Ancaman Javier membayangi pikiran Freya, menyulut kecemasan yang tak tertahankan. Jika Javier mengambil Felix darinya, ia akan benar-benar kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap bertahan.“Kau tidak boleh mengambil Felix dariku, Javier,” ucapnya dengan nada memohon.“Kalau begitu, buat kesepakatan denganku,” jawab Javier tanpa ragu, tatapan tajamnya membuat Freya merasa tak punya pilihan.Freya mendongak, menatap Javier dengan tatapan serius. Sekarang ia tak punya pilihan, kalau Freya menolak maka sudah pasti Javier akan lebih tegas. Jadi, selama Javier tidak mengambil Felix darinya, mungkin Freya dapat mengikuti kesepakatan yang Javier tawarkan.Alhasil, Freya mempersilahkan Javier masuk ke rumahnya. Tentu untuk membahas kesepakatan macam apa yang akan Javier berikan. Javier masuk dan memperhatikan rumah mungil itu dengan seksama. Ia menatap dinding dan perabotan sederhana yang tak sepadan dengan gaya hidup yang biasa ia bayangkan untuk putranya. Akhirnya, ia mengalihkan tatapann
Berpindah pindah rumah bukanlah hal yang mudah, itu cukup melelahkan bagi Freya yang berusaha untuk menghindari Javier. Tapi kali ini, ia menerima tawaran dari pria itu yang menyediakan tempat tinggal baru untuknya.Meskipun Freya tau, Javier melakukan semua ini juga karena Felix. Jika bukan karena Felix anaknya, Javier tak akan pernah mau peduli dengan kehidupan Freya. Mulai hari ini, Freya memutuskan untuk berhenti menghindar. Selama Javier tak berusaha merebut Felix darinya, ia bisa menjalani hari-hari tanpa terlalu khawatir.“Nyonya, ini rumah yang Tuan Javier siapkan untuk Anda,” ucap pria yang ditugaskan Javier untuk mengantar mereka.Freya terpana saat menatap apartemen dua lantai itu, luas dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Ketika pria itu membantu membawa barang-barangnya masuk, Felix langsung berteriak kegirangan, berlari kesana kemari di dalam apartemen, melompat dari sofa ke sofa dengan sukacita.“Bu, tempat ini besar sekali!” serunya antusias.Sementara pria yang me
Pertanyaan Javier pada Pamela tidak mendapatkan jawaban karena Pamela memilih menghindari pertanyaan yang Javier lontarkan.Tapi, pada malam harinya Javier menepati janji untuk pergi menemui Freya. Tentu ia tidak lupa membawakan sesuatu, dan perjalanannya terasa lebih dekat setelah Freya tinggal di kediaman baru."Aku harap dia menyukai tempat tinggal barunya," gumam Javier pelan.Mobilnya berhenti, Javier membawa sebuket bunga dan juga wine dengan kualitas terbaik. Langkahnya menuju langsung di depan pintu apartemen Freya. Setelah mengatur emosinya sejenak, Javier menekan bell pintu.Tak lama, pintu terbuka dan Freya mempersilahkan Javier masuk. Pria itu memberikan buket bunga yang ia bawa pada Freya, "Bagaimana dengan tempat barumu ini? Aku harap kamu dan Felix bisa nyaman.""Felix menyukainya, masuklah, aku sudah menyiapkan makan malam." Javier melangkah masuk, matanya mengitari apartemen itu. Namun, ia tak melihat Felix di sana.“Di mana Felix?” tanyanya.Freya meletakkan bunga di
Freya merasakan detak jantungnya yang kian tak terkendali, Javier berdiri begitu dekat hingga nafasnya terasa hangat di wajahnya. Tubuhnya terkunci oleh kehadiran pria itu, membuat segala upaya mendorongnya terasa sia-sia.“Javier, kita harus hentikan ini,” ucap Freya pelan namun tegas menahan kegelisahannya.Alih-alih menjauh, Javier justru mendekat lebih intim, hingga jarak di antara mereka hampir tak ada lagi. “Berikan aku satu alasan yang bisa membuatku mundur sekarang,” bisiknya dengan nada lembut..Freya terdiam, berusaha mencari jawaban. Namun, tanpa Freya kira kata-kata terucap begitu saja dari bibirnya. “Kau punya istri, Javier.”Jawaban itu justru membuat Javier tertawa kecil dengan nada mengejek. “Dulu aku juga punya istri saat kita pertama kali terlibat dalam semua ini,” katanya, matanya menatap Freya tanpa gentar. “Dan saat itu, kau tak keberatan. Kenapa sekarang berbeda?”Freya terperangah, namun sebelum bisa membalas, Javier menariknya dalam ciuman, seolah tak ingin memb
Perasaan Freya jauh lebih baik saat ia bangun tidur, kamar yang semalam berantakan kini sudah rapi. Tidak ada pakaian yang berserakan, tidak ada bungkus pengaman yang Javier gunakan bercecer di lantai.Namun, tempat di sebelah Freya kosong. Apakah Javier pergi setelah pria itu mendapatkan kepuasan seksualnya semalam? Perlahan Freya bangun, membersihkan diri dan mengenakan pakaiannya. Tapi satu hal yang Freya rasakan, ia tidak pernah merasa bangun pagi dengan tubuh seringan ini."Aneh, padahal Javier semalam sangat liar tapi aku baik-baik saja." gumamnya.Freya keluar dari kamar, dan pemandangan pertama yang Freya lihat adalah kolaborasi Javier dan Felix di dapur yang sibuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi, Bu!" seru Felix.Anak itu turun dari dari meja dapur kemudian menarik salah satu kursi di meja makan mempersilahkan Freya duduk. "Aku dan ayah sedang membuat pancake, ibu duduklah sampai kami selesai."Javier tersenyum tipis, Felix yang belum genap enak tahun itu berhasil menunjukka
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu
Suasana menjadi terasa ganjil bagi Eloise. Setelah menyadari pria di depannya adalah Dylan, bukan Felix seperti yang ia duga sebelumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan kesal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah kedua pria ini telah bersekongkol untuk mengujinya? Betapa menyebalkannya situasi seperti ini, seolah-olah ia sedang dipermainkan.“Tunggu,” Eloise menyipitkan matanya, menatap Dylan dengan curiga. “Bukankah kau tadi masih tidur saat aku keluar dari kamar? Bagaimana mungkin secepat ini kau sudah ada di luar?”Dylan tersenyum samar, sorot matanya lembut namun penuh arti. “Aku dan Felix sudah bertukar posisi sejak makan malam tadi,” ujarnya tenang. “Dan lihat, kau sama sekali tidak bisa membedakan aku dengan Felix. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih lega. Kau tetap setia padaku meskipun kami memiliki wajah yang sama. Itu cukup membuktikan segalanya.”Eloise tercengang mendengar pengakuan itu. Rasa marah dan kesal sempat berkecamuk dalam dirinya, tapi sebelum ia sempa
Dua hari sebelumnya...Setelah mereka tiba di tempat liburan, Felix memilih lebih banyak diam untuk berperang dengan pikirannya sendiri. Ia adalah orang yang cukup keras pada pilihannya, tapi untuk keinginan yang selalu mengganggu pikirannya terhadap mendekati Eloise, itu selalu ia tahan.Terkadang, sisi egoisnya menyuruh Felix untuk melakukan tindakan yang jahat. Tapi tidak, sekali lagi tidak. Dylan tumbuh dan besar bersamanya, seorang wanita tak boleh merusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak kecil. Kesalahan sepele saja bisa membuat benteng yang besar bisa rusak, dan Felix tak mau melakukan kesalahan itu. Sekitar pukul tiga sore, Felix mengirim pesan pada Dylan untuk menemuinya.“Hai, Dude. Ada apa?” Dylan bertanya santai, meski nada suaranya mengandung sedikit kekhawatiran.Felix menoleh perlahan, menatap saudara kembarnya dengan ekspresi serius. “Ada hal yang harus aku katakan padamu,” katanya, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Dylan mengerutkan kening, tapi men
Tatapan dingin Felix berubah menjadi sesuatu yang lebih mengancam, seolah dia tahu bagaimana caranya membuat Eloise merasa terkunci di tempat itu. Eloise merasa tubuhnya menegang, udara di sekitarnya terasa berat. Setiap langkah mundur yang ia ambil, Felix maju setengah langkah lebih dekat, membuatnya semakin sulit menjaga jarak.“Aku ingin memberitahumu sesuatu,” suara Felix rendah, namun ada nada licik di dalamnya. “Sejak malam itu, kau sudah mengubah caraku melihat dirimu.”Eloise menggeleng pelan, hatinya penuh penyesalan atas kesalahan fatal yang terjadi malam itu. Sebuah malam yang terjadi di bawah pengaruh alkohol, ketika pikirannya kabur dan ia keliru mengira Felix adalah Dylan, kekasihnya. Itu adalah malam yang tak ingin ia kenang, apalagi dibahas oleh pria yang berdiri di depannya sekarang.“Kau tahu aku kekasih Dylan. Mengapa kau terus bersikeras melakukan ini?” tanyanya dengan nada bergetar, sebuah perpaduan antara takut dan marah.Felix menyeringai lebar, tatapan matanya
Freya menunggu di depan penginapan dengan raut wajah setengah cemas. Begitu melihat Avery muncul di kejauhan, Freya segera melangkah mendekat."Kau dari mana?" tanyanya, nadanya terdengar tajam namun penuh perhatian.Avery hanya melirik sekilas, menghela nafas panjang seperti menahan beban yang tak ingin ia ceritakan. "Bu, pulau ini tidak terlalu luas. Memangnya aku bisa pergi kemana?" jawabnya, nada suaranya datar dan tak bersemangat. Tanpa menunggu tanggapan, Avery melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, meninggalkan Freya yang berdiri terpaku.Freya menggeleng pelan, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa putrinya bercerita. Sebaliknya, matanya beralih ke meja sarapan di luar penginapan, di mana Eloise duduk dengan tenang menikmati pagi. Eloise tampak anggun, sementara Dylan terlihat baru datang dari olahraga paginya. Melihat pemandangan itu, senyum kecil menghiasi wajah Freya. Ia memutuskan untuk mendekat."Kau menikmati liburanmu, Eloise
Matahari mulai menyapa dengan sinar keemasannya, menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Katie membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa hangat dari malam yang penuh gairah. Namun, ketika ia melirik ke samping, yang ia temui hanyalah tempat tidur kosong dan pakaian yang berantakan di lantai.Sebuah senyum kecil terukir di wajah Katie. Ia duduk sambil menarik selimut, membayangkan kembali malam yang penuh intensitas."Pria itu semakin menarik," gumamnya pada dirinya sendiri, nada suaranya mengandung kepuasan atas ingatan menyenangkan bersama Felix tadi malam.Di sisi lain, Felix berjalan kembali ke penginapannya dengan langkah yang cepat. Udara pagi yang segar tidak mampu meredam pikirannya yang penuh dengan kejadian semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa dari belakang."Hei, Dude. Kau membuatku kaget. Kenapa sepagi ini kau buru-buru sekali?" tanya Dylan, muncul entah dari mana.Felix sedikit tersentak, tapi ia cepat menguasai diri. "Aku? Bu
Perlahan Felix membuka matanya, tapi ia kaget karena ia sudah berbaring di atas kasur dengan kedua tangan teringat di setiap sisi tempat tidur, kedua kakinya pun bernasib sama sementara tubuhnya sudah tak memakai baju lagi.Tangannya mencoba melepaskan borgol yang mengikatnya, tapi Katie sangat licik, dia tidak hanya menggunakan satu borgol pada tangan Felix, melainkan menggunakan dua sekaligus pada masing-masing tangan."Sial, kau lebih liar dari dugaanku." ucap Felix, ia tak mengira kalau dirinya malah terperangkap oleh wanita yang baru ia temui beberapa kali, dan sekarang ia tengah berbaring di tempat tidur dalam kondisi tak berdaya.Katie mendekat, perempuan itu melihat jam di ponselnya. "Kau tidur lama sekali, sudah dua jam sejak kau memejamkan mata. Padahal aku sudah menunggu dirimu sadar, untuk memulai permainan.""Ternyata ini rencanamu setelah berhasil mengalahkanku, harusnya kau katakan saja kalau dirimu ingin tidur denganku. Bukan hal sulit untuk aku lakukan, aku hanya perlu
Katie menjauh dari Felix dengan senyum kemenangan, karena ia tau kalau Felix tidak akan melarikan diri untuk menghindari hukuman karena kekalahannya. Setelah Katie pergi, Dylan mendekat."Apa yang terjadi diantara kalian? Kau kalah dari seorang perempuan?" tanya Dylan, ekspresi wajah seakan mengejek sementara Felix mengabaikan Dylan dan menjauh dari area tempat penyewaan jetski.Melihat bahu Felix yang menjauh, Dylan cuman bisa menggelengkan kepalanya. Sementara Eloise muncul di belakang Dylan sambil melepaskan baju pelampungnya. "Kelihatannya mereka sangat dekat.""Aku harap juga begitu," kekeh Dylan, "Ayo ke penginapan, kita belum melihat kamar yang akan kita gunakan nanti." katanya sambil berjalan lebih dulu.Sejenak Eloise terdiam, memandangi bahu Dylan sebelum mengikuti pria itu. Sebenarnya, Eloise sedikit cemas kalau Felix benar-benar menunggunya pukul sembilan malam nanti. Apa yang harus ia lakukan agar Dylan tidak mencurigainya bertemu Felix diam-diam?Saat ini, ia hanya berha